DEMONSTRASI antinuklir makin gencar dan terus meluas. Di suatu
tempat, di Jerman Barat, di negara yang paling banyak
melancarkan aksi protes itu, ternyata ada "kursus" khusus untuk
para demonstran. Mereka digodok di sana, beberapa saat sebelum
diterjunkan di kancah aksi - agar gerakan itu tetap merupakan
protes damai.
Namun, kekhawatiran masih tetap menghantui sebagian calon
demonstran. Berada di jalan untuk menentang pemakaian senjata
nuklir berarti berhadapan dengan petugas keamanan. Berbagai
risiko sudah siap menunggu: dipukuli polisi, ditangkap, dan
paling tidak, disemprot air.
Kekhawatiran serupa itu juga pada mulanya menghantui Erika. Guru
sekolah dan ibu dua anak ini, 14 Oktober lalu, memutuskan ambil
bagian dalam aksi duduk di jalan raya Kota Nordenham, Jerman
Barat.
Aksi itu merupakan bagian dari serangkaian protes terhadap
penempatan rudal AS. Nordenham adalah kota pelabuhan yang
digunakan tentara AS untuk mensuplai kebutuhan militernya di
Eropa Utara.
Berbagai pertanyaan muncul dalam diri Erika, sebelum berangkat
menggabungkan diri dengan para demonstran . Apa yang akan
dilakukan polisi Jerman Barat menghadapi aksi nanti? Mungkinkah
mereka menangkap dia? Bagaimana kalau tibatiba demonstrasi itu
berubah menjadi keras?
Pertanyaan yang sama juga menggoda Gert, kimiawan yang bekerja
pada sebuah perusahaan besar di Hanover. Gert ingin ikut unjuk
perasaan. Tapi, ia takut ditangkap, bahkan khawatir disemprot
air oleh polisi anti-huruhara. Satu hal lagi, bagaimana sikap
para atasannya? Kalau ia sampai ditangkap, misalnya beberapa
hari, apakah mereka tidak memecatnya?
Sebaliknya dengan Udo. Orang ini buta. Tapi, musim gugur lalu,
ia menggabungkan diri dalam demonstrasi antinuklirdi Jerman
Barat. Di bawah perlindungan belasan pejuang perdamaian dalam
grupnya, Udo termasuk di antara ribuan demonstran yang
melancarkan aksi duduk menentang pembangunan instalasi rudal AS
di Jerman Barat.
Untuk orang dengan cacat mata seperti Udo, aksi itu jelas sangat
riskan. "Coba, bayangkan, bila misalnya demonstran dari kelompok
keras melakukan aksi lempar batu sehingga polisi naik pitam dan
membalas dengan perlakuan kasar," tulis Jens Gundlach dalam
Hannoversche Allgemeine, Agustus lalu. Tapi Udo mengandalkan
keselamatan dirinya kepada kawan sekomplotannya. "la sangat
yakin terhadap mereka," kata Gundlach.
Regu Udo adalah grup kecil yang merupakan bagian dari suatu
organisasi besar para demonstran antikekerasan. Mereka inilah
yang mengorganisasikan aksi protes secara nasional di Jerman
Barat. Mereka membentuk sejumlah regu, yang masing-masing
terdiri dari sekitar 15 orang. Seluruh regu beraksi dalam waktu
bersamaan.
"Rancangan kelompok ini merupakan formula ajaib untuk
melancarkan aksi protes secara nasional," tulis Gundlach. "Cara
model itu sudah dipakai kelompok anarkis pada masa perang
saudara di Spanyol, 1930-an. Dengan jalan itu pula, Ho Chi Minh
mengorganisasikan para pejuangnya dalam perang Vietnam, untuk
melawan orang-orang Amerika."
Gerakan anarkis anti kekerasan sekarang - yang merupakan
revolusi kecil-kecilan dalam skala internasional - memanfaatkan
cara yang sama, memecah massa aktivis perdamaian menjadi
kelompok-kelompok kecil yang tidak saling tergantung. Selama
ini, para demonstran itu disatukan oleh sikap dan ideologi.
Sebagian demonstran itu telah mengalami pendidikan keterampilan,
atau"penataran" berdemonstrasi. Tempatnya di Fredelsloh, dekat
Gotingen, Jerman Barat. Di sini pula tiap-tiap regu berlatih,
dan berdiskusi, sebagai unit kecil dari seluruh kawanan
penentang senjata nuklir itu.
Separuh peserta program di Fredelsloh berasal dari Kelompok
Hijau. Sisanya dari kelompok-kelompok yang tidak jelas akar
politiknya. Setelah regu dibentuk, setiap anggota regu berhak
mengemukakan pendapatnya. "Dengan sistem regu ini, semua anggota
betah dalam kelompok dan merasa memiliki identitas," tulis
Gundlach.
Selama "penataran", hubungan antarregu dikembangkan. Aturan
mainnya antara lain dengan mengontrol dialog: setiap pembicara
harus mengulang ucapan pendahulunya, sebelum ia sendiri buka
suara mengemukakan pendapat. Dalam melaksanakan gerakan turun ke
jalan, mereka menghindari kekerasan. Mereka hanya diam, pasif
saja.
"Anda harus belajar bertindak tanpa kekerasan," kata Michael,
pelatih pejuang perdamaian yang sekali waktu di Hanover, dan
mengabdikan dirinya untuk gerakan-gerakan semacam itu. Salah
satu perbedaan besar kaum antinuklir yang pasif ini dengan
kelompok-kelompok semacamnya dalam sejarah adalah moto mereka:
"berjuang melawan kekerasan tanpa harus menggunakan cara yang
kasar".
Michael, seorang pekerja sosial dan "pejuang" antikekerasan
profesional, disewa oleh Greens (Partai Hijau). Demikian pula
Klara, mahasiswa dan pelatih para pendukung perdamaian dari
Munster. Di Fredelsloh, kedua orang sewaan itu mengajarkan
teknikteknik yang kemudian disebut selforganisation.
Michael dan Klara sama sekali tidak memiliki latar belakang
sebagai kader Marxis. Michael, yang logat bicaranya halus dan
tidak dogmatis, bahkan pengikut Mahatma Gandhi dan Francis
Assisi. Klara - yang lebih pragmatis - melibatkan dirinya dalam
gerakan semacam itu di Amerika Serikat dan Meksiko.
Oleh para peserta penataran, kedua orang itu dianggap sebagai
teamer. Arti kata ini sebenarnya ialah "para anggota yang
terlibat dalam grup". Berhubung tidak ada istilah lain, Michael
dan Klara sebagai pemegang kendali gerakan dipanggil sebagai
teamer. Sebab, prinsip mereka, dalam gerakan anti nuklir tidak
ada istilah ketua.
Dalam penggalangan dan latihan keterampilan di Fredelsloh itu,
para (calon) demonstran berlatih banyak hal, di samping
berdiskusi antargrup. Antara lain cara menghindari bentrokan
dengan polisi. Juga: mengatur sikap tubuh yang pas seandainya
diseret petugas keamanan.
Para teamer, yang dikontrol oleh pusat Training Collective for
Non Violent Action (Latihan Bersama untuk Aksi Anti-Kekerasan),
menciptakan sistem khusus untuk aksi musim gugur itu.
Dibentuklah regu-regu yang terdiri dari 10-15 orang. Setiap regu
memilih seorang anggotanya untuk tugas khusus mengurus konsumsi.
Selama aksi berlangsung, tak boleh ada gangguan urusan perut.
la juga mengawasi anggota yang terluka, atau tertangkap,
misalnya, serta membuka hubungan dengan pihak luar. "Dengan
begitu, ribuan demonstran yang berarak panjang itu bisa berjalan
sesuai dengan rencana," tutur Jens Gundlach. Dengan begitu pula,
ketakutan terhadap timbulnya bentrokan dengan polisi tak perlu
lagi.
Lebih dari urusan makanan, dan hubungan dengan kalangan luar,
setiap regu memilih kurir khusus. Tugasnya memberikan informasi
kepada para wartawan dan - ini yang penting - melakukan
kontakdengan polisi. Terbatas sebagai penerima informasi satu
arah, si kurir tidak berhak melakukan negosiasi dengan pihak
keamanan.
Jika terjadi penangkapan, orang itu tidak boleh sama sekali
membiarkan dirinya terjaring. Ia harus lolos. Ia juga harus
segera angkat kaki jika polisi mulai memerintahkan para
demonstran bubar. Dengan demikian, tugasnya sebagai penghubung
bisa tetap terlaksana.
Selama aksi protes berjalan, setiap regu merundingkan dan
mengatur gerakan mereka sendiri-sendiri. Juru bicara regu lalu
mengutarakan hasilnya kepada dewan, yang terdiri dari para juru
bicara. Dewan tidak memilih salah satu usul para juru bicara
regu itu, melainkan menampung semuanya dan menyebarkannya
kembali kepada setiap kelompok. Maka, setiap regu mengetahui
usul dari regu- regu lainnya.
Konsensus memang diperlukan. Ini mengharuskan seorang juru
bicara balik lagi ke hadapan dewan, melaporkan posisi terakhir
regunya, setelah berunding berdasarkan usul regu-regu lain.
Begitu keputusan diambil, dan konsensus tercapai, aksi boleh
dimulai . Mereka menyebut cara seperti itu sebagai "musyawarah
mufakat".
Dari berbagai diskusi, ada dua sikap dan pandangan yang sulit
didamaikan untuk mencapai konsensus. Menurut Michael, "setiap
aktivis harus berani menerima risiko untuk ditangkap dan, kalau
nasib jelek, masuk penjara lima tahun." Ini, rupanya, dianggap
terlalu riskan oleh sebagian anggota yang menghendaki gerakan
itu mengambil risiko sekecil-kecilnya. Rupanya, mereka masih
memikirkan nasib keluarga dan pekerjaan. "Pada dasarnya, para
demonstran itu takut juga," kata Gundlach.
Demi terlaksananya gerakan, akhirnya diambil kebi jaksanaan yang
luwes. Mereka memang tidak dibiasakan memilih suatu pandangan
dan menyingkirkan usul yang lain. Toh, pada kenyataannya, para
polisi sendiri tidak bertindak sebagai bullen, suatu kata cacian
yang amat kasar.
Para peserta pendidikan di Fredelsloh itu rata-rata
menggantungkan harapannya kepada kebaikan hati para perwira
polisi, yang mengawasi jalannya demonstrasi. Mereka sepakat
segera menyebar ke seluruh arena jika ada penyusup ikut
"nimbrung" dan melakukan tindakan kekerasan. Dan bahkan mesti
membuat pagar pelindung antara polisi dan perusuh. "Kita harus
kuat tanpa kehilangan kelembutan," kata Kalle, seorang karyawan
berbadan besar.
Dalam pendidikan di Fredelsloh, acara pagi sebelum sarapan
adalah santapan rohani yang dipimpin Michael. Yaitu berkumpul
melakukan meditasi di bawah pohon dan "melakukan dialog mistik
dengan tembok bata". Maksudnya, duduk menghadap tembok.
Gladi resik juga dilaksanakan di pusat pendidikan itu. Sesuai
dengan petunjuk para teamer, semua orang menyobek gulungan
kertas dinding lalu menaruhnya di tanah. Mereka rebahan di atas
kertas itu dan kemudian kontur badannya digambar. Martin dari
Duderstadt, misalnya, mengkontur badan Monika dengan pena.
Setelah bagan badan manusia tercetak di kertas dinding itu,
setiap anggota menunjukkan bagian mana yang paling ditakutinya
terkena ledakan nuklir. Bagian ini pun digambar. Selanjutnya,
kertasyang bergambar manusia seperti ditembus sinar X itu
dipakai oleh yang bersangkutan. Wajah mereka juga dicat gelap.
Begitu mereka berbaris dengan membungkus diri dengan kertas
bergambar itu, maka timbul kesan seolah-olah tulang-tulang
manusia sedang berarak.
Siapakah para "pejuang perdamaian" ini sebenarnya? Jawabannya,
paling tidak, bisa di lihat dari hasil studi Bundesamt fur
Verfassungsschutz (Lembaga untuk Perlindungan Konstitusi). Ini
memang potret resmi tentang mereka, yang kemudian dituliskan
kembali oleh Hans Josef Horchem dalam Hamburger Abendblatt,
Agustus lalu.
Menurut hasil penelitian, "gerakan pendukung perdamaian itu
adalah gerakan protes dari kelas menengah ke bawah." Mereka
terutama terdiri dari kelompok anak muda yang memiliki latar
pendidikan formal cukup tinggi: lulusan SLTA dan akademi
ilmu-ilmu politik, psikologi, dan sosiologi.
Jumlah orang, yang menempatkan diri secara politis di sayap kiri
itu, ada antara satu dan dua juta, kata hasil riset. Gerakan itu
menganggap partai partai demokratis di Jerman -CDU/ CSU, FDP,
dan SPD- sudah tidak sanggup menangani persoalan akut di negeri
itu masa kini.
Mereka memang tidak menghendaki Republik Federasi Jerman berubah
seperti Jerman Timur. Namun, mereka percaya bahwa Moskow serius
dalam soal detente, dan Amerika kini sedang ngotot menegakkan
supremasi militernya. Mereka bahkan menolak penggunaan energi
nuklir untuk maksud-maksud damai.
Menurut Hans Josef, bekas hakim itu, "gerakan penyokong
perdamaian ini bukan merupakan organisasi yang monolitis, tapi
gerakan massa yang dikompori oleh berbagai unsur." Belum ada
kesimpulan tegas apakah mereka memiliki hubungan dengan
organisasi komunis. Begitu kata hasil penelitian .
Satu hal sudah jelas, yaitu bahwa gerakan itu merupakan buntut
perkembangan situasi perguruan tinggi di Jerman, yang bermula
pada akhir 1960-an dan mencapai puncaknya pada 1970-an.
Hal lain yang tak kurang jelasnya, menurut Jens Gundlach,
"gerakan itu sungguh-sungguh berusaha menghindari bentrokan
dengan polisi. Mereka begitu luwes dan denganterampil
mengaturaksi-aksi mereka." Mereka ingin menunjukkan kepada pihak
keamanan bahwa keributan bisa menimbulkan suasana tak tertolong
lagi. Maka, dengan sikap seperti itu, seseorang yang cacat
seperti Udo tak perlu bimbang untuk ikut bergabung. Yang belum
jelas apakah "sekolah kaum demonstran" itu juga mengeluarkan
ijazah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini