Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kursus untuk demonstran anti-nuklir kursus untuk demonstrasi anti-nuklir

Kursus untuk para demonstran anti-nuklir, di fredelsloh, jerman barat. para demonstran digodok, sebelum diterjunkan di kancah aksi. agar gerakan itu tetap merupakan protes damai.(sel)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMONSTRASI antinuklir makin gencar dan terus meluas. Di suatu tempat, di Jerman Barat, di negara yang paling banyak melancarkan aksi protes itu, ternyata ada "kursus" khusus untuk para demonstran. Mereka digodok di sana, beberapa saat sebelum diterjunkan di kancah aksi - agar gerakan itu tetap merupakan protes damai. Namun, kekhawatiran masih tetap menghantui sebagian calon demonstran. Berada di jalan untuk menentang pemakaian senjata nuklir berarti berhadapan dengan petugas keamanan. Berbagai risiko sudah siap menunggu: dipukuli polisi, ditangkap, dan paling tidak, disemprot air. Kekhawatiran serupa itu juga pada mulanya menghantui Erika. Guru sekolah dan ibu dua anak ini, 14 Oktober lalu, memutuskan ambil bagian dalam aksi duduk di jalan raya Kota Nordenham, Jerman Barat. Aksi itu merupakan bagian dari serangkaian protes terhadap penempatan rudal AS. Nordenham adalah kota pelabuhan yang digunakan tentara AS untuk mensuplai kebutuhan militernya di Eropa Utara. Berbagai pertanyaan muncul dalam diri Erika, sebelum berangkat menggabungkan diri dengan para demonstran . Apa yang akan dilakukan polisi Jerman Barat menghadapi aksi nanti? Mungkinkah mereka menangkap dia? Bagaimana kalau tibatiba demonstrasi itu berubah menjadi keras? Pertanyaan yang sama juga menggoda Gert, kimiawan yang bekerja pada sebuah perusahaan besar di Hanover. Gert ingin ikut unjuk perasaan. Tapi, ia takut ditangkap, bahkan khawatir disemprot air oleh polisi anti-huruhara. Satu hal lagi, bagaimana sikap para atasannya? Kalau ia sampai ditangkap, misalnya beberapa hari, apakah mereka tidak memecatnya? Sebaliknya dengan Udo. Orang ini buta. Tapi, musim gugur lalu, ia menggabungkan diri dalam demonstrasi antinuklirdi Jerman Barat. Di bawah perlindungan belasan pejuang perdamaian dalam grupnya, Udo termasuk di antara ribuan demonstran yang melancarkan aksi duduk menentang pembangunan instalasi rudal AS di Jerman Barat. Untuk orang dengan cacat mata seperti Udo, aksi itu jelas sangat riskan. "Coba, bayangkan, bila misalnya demonstran dari kelompok keras melakukan aksi lempar batu sehingga polisi naik pitam dan membalas dengan perlakuan kasar," tulis Jens Gundlach dalam Hannoversche Allgemeine, Agustus lalu. Tapi Udo mengandalkan keselamatan dirinya kepada kawan sekomplotannya. "la sangat yakin terhadap mereka," kata Gundlach. Regu Udo adalah grup kecil yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar para demonstran antikekerasan. Mereka inilah yang mengorganisasikan aksi protes secara nasional di Jerman Barat. Mereka membentuk sejumlah regu, yang masing-masing terdiri dari sekitar 15 orang. Seluruh regu beraksi dalam waktu bersamaan. "Rancangan kelompok ini merupakan formula ajaib untuk melancarkan aksi protes secara nasional," tulis Gundlach. "Cara model itu sudah dipakai kelompok anarkis pada masa perang saudara di Spanyol, 1930-an. Dengan jalan itu pula, Ho Chi Minh mengorganisasikan para pejuangnya dalam perang Vietnam, untuk melawan orang-orang Amerika." Gerakan anarkis anti kekerasan sekarang - yang merupakan revolusi kecil-kecilan dalam skala internasional - memanfaatkan cara yang sama, memecah massa aktivis perdamaian menjadi kelompok-kelompok kecil yang tidak saling tergantung. Selama ini, para demonstran itu disatukan oleh sikap dan ideologi. Sebagian demonstran itu telah mengalami pendidikan keterampilan, atau"penataran" berdemonstrasi. Tempatnya di Fredelsloh, dekat Gotingen, Jerman Barat. Di sini pula tiap-tiap regu berlatih, dan berdiskusi, sebagai unit kecil dari seluruh kawanan penentang senjata nuklir itu. Separuh peserta program di Fredelsloh berasal dari Kelompok Hijau. Sisanya dari kelompok-kelompok yang tidak jelas akar politiknya. Setelah regu dibentuk, setiap anggota regu berhak mengemukakan pendapatnya. "Dengan sistem regu ini, semua anggota betah dalam kelompok dan merasa memiliki identitas," tulis Gundlach. Selama "penataran", hubungan antarregu dikembangkan. Aturan mainnya antara lain dengan mengontrol dialog: setiap pembicara harus mengulang ucapan pendahulunya, sebelum ia sendiri buka suara mengemukakan pendapat. Dalam melaksanakan gerakan turun ke jalan, mereka menghindari kekerasan. Mereka hanya diam, pasif saja. "Anda harus belajar bertindak tanpa kekerasan," kata Michael, pelatih pejuang perdamaian yang sekali waktu di Hanover, dan mengabdikan dirinya untuk gerakan-gerakan semacam itu. Salah satu perbedaan besar kaum antinuklir yang pasif ini dengan kelompok-kelompok semacamnya dalam sejarah adalah moto mereka: "berjuang melawan kekerasan tanpa harus menggunakan cara yang kasar". Michael, seorang pekerja sosial dan "pejuang" antikekerasan profesional, disewa oleh Greens (Partai Hijau). Demikian pula Klara, mahasiswa dan pelatih para pendukung perdamaian dari Munster. Di Fredelsloh, kedua orang sewaan itu mengajarkan teknikteknik yang kemudian disebut selforganisation. Michael dan Klara sama sekali tidak memiliki latar belakang sebagai kader Marxis. Michael, yang logat bicaranya halus dan tidak dogmatis, bahkan pengikut Mahatma Gandhi dan Francis Assisi. Klara - yang lebih pragmatis - melibatkan dirinya dalam gerakan semacam itu di Amerika Serikat dan Meksiko. Oleh para peserta penataran, kedua orang itu dianggap sebagai teamer. Arti kata ini sebenarnya ialah "para anggota yang terlibat dalam grup". Berhubung tidak ada istilah lain, Michael dan Klara sebagai pemegang kendali gerakan dipanggil sebagai teamer. Sebab, prinsip mereka, dalam gerakan anti nuklir tidak ada istilah ketua. Dalam penggalangan dan latihan keterampilan di Fredelsloh itu, para (calon) demonstran berlatih banyak hal, di samping berdiskusi antargrup. Antara lain cara menghindari bentrokan dengan polisi. Juga: mengatur sikap tubuh yang pas seandainya diseret petugas keamanan. Para teamer, yang dikontrol oleh pusat Training Collective for Non Violent Action (Latihan Bersama untuk Aksi Anti-Kekerasan), menciptakan sistem khusus untuk aksi musim gugur itu. Dibentuklah regu-regu yang terdiri dari 10-15 orang. Setiap regu memilih seorang anggotanya untuk tugas khusus mengurus konsumsi. Selama aksi berlangsung, tak boleh ada gangguan urusan perut. la juga mengawasi anggota yang terluka, atau tertangkap, misalnya, serta membuka hubungan dengan pihak luar. "Dengan begitu, ribuan demonstran yang berarak panjang itu bisa berjalan sesuai dengan rencana," tutur Jens Gundlach. Dengan begitu pula, ketakutan terhadap timbulnya bentrokan dengan polisi tak perlu lagi. Lebih dari urusan makanan, dan hubungan dengan kalangan luar, setiap regu memilih kurir khusus. Tugasnya memberikan informasi kepada para wartawan dan - ini yang penting - melakukan kontakdengan polisi. Terbatas sebagai penerima informasi satu arah, si kurir tidak berhak melakukan negosiasi dengan pihak keamanan. Jika terjadi penangkapan, orang itu tidak boleh sama sekali membiarkan dirinya terjaring. Ia harus lolos. Ia juga harus segera angkat kaki jika polisi mulai memerintahkan para demonstran bubar. Dengan demikian, tugasnya sebagai penghubung bisa tetap terlaksana. Selama aksi protes berjalan, setiap regu merundingkan dan mengatur gerakan mereka sendiri-sendiri. Juru bicara regu lalu mengutarakan hasilnya kepada dewan, yang terdiri dari para juru bicara. Dewan tidak memilih salah satu usul para juru bicara regu itu, melainkan menampung semuanya dan menyebarkannya kembali kepada setiap kelompok. Maka, setiap regu mengetahui usul dari regu- regu lainnya. Konsensus memang diperlukan. Ini mengharuskan seorang juru bicara balik lagi ke hadapan dewan, melaporkan posisi terakhir regunya, setelah berunding berdasarkan usul regu-regu lain. Begitu keputusan diambil, dan konsensus tercapai, aksi boleh dimulai . Mereka menyebut cara seperti itu sebagai "musyawarah mufakat". Dari berbagai diskusi, ada dua sikap dan pandangan yang sulit didamaikan untuk mencapai konsensus. Menurut Michael, "setiap aktivis harus berani menerima risiko untuk ditangkap dan, kalau nasib jelek, masuk penjara lima tahun." Ini, rupanya, dianggap terlalu riskan oleh sebagian anggota yang menghendaki gerakan itu mengambil risiko sekecil-kecilnya. Rupanya, mereka masih memikirkan nasib keluarga dan pekerjaan. "Pada dasarnya, para demonstran itu takut juga," kata Gundlach. Demi terlaksananya gerakan, akhirnya diambil kebi jaksanaan yang luwes. Mereka memang tidak dibiasakan memilih suatu pandangan dan menyingkirkan usul yang lain. Toh, pada kenyataannya, para polisi sendiri tidak bertindak sebagai bullen, suatu kata cacian yang amat kasar. Para peserta pendidikan di Fredelsloh itu rata-rata menggantungkan harapannya kepada kebaikan hati para perwira polisi, yang mengawasi jalannya demonstrasi. Mereka sepakat segera menyebar ke seluruh arena jika ada penyusup ikut "nimbrung" dan melakukan tindakan kekerasan. Dan bahkan mesti membuat pagar pelindung antara polisi dan perusuh. "Kita harus kuat tanpa kehilangan kelembutan," kata Kalle, seorang karyawan berbadan besar. Dalam pendidikan di Fredelsloh, acara pagi sebelum sarapan adalah santapan rohani yang dipimpin Michael. Yaitu berkumpul melakukan meditasi di bawah pohon dan "melakukan dialog mistik dengan tembok bata". Maksudnya, duduk menghadap tembok. Gladi resik juga dilaksanakan di pusat pendidikan itu. Sesuai dengan petunjuk para teamer, semua orang menyobek gulungan kertas dinding lalu menaruhnya di tanah. Mereka rebahan di atas kertas itu dan kemudian kontur badannya digambar. Martin dari Duderstadt, misalnya, mengkontur badan Monika dengan pena. Setelah bagan badan manusia tercetak di kertas dinding itu, setiap anggota menunjukkan bagian mana yang paling ditakutinya terkena ledakan nuklir. Bagian ini pun digambar. Selanjutnya, kertasyang bergambar manusia seperti ditembus sinar X itu dipakai oleh yang bersangkutan. Wajah mereka juga dicat gelap. Begitu mereka berbaris dengan membungkus diri dengan kertas bergambar itu, maka timbul kesan seolah-olah tulang-tulang manusia sedang berarak. Siapakah para "pejuang perdamaian" ini sebenarnya? Jawabannya, paling tidak, bisa di lihat dari hasil studi Bundesamt fur Verfassungsschutz (Lembaga untuk Perlindungan Konstitusi). Ini memang potret resmi tentang mereka, yang kemudian dituliskan kembali oleh Hans Josef Horchem dalam Hamburger Abendblatt, Agustus lalu. Menurut hasil penelitian, "gerakan pendukung perdamaian itu adalah gerakan protes dari kelas menengah ke bawah." Mereka terutama terdiri dari kelompok anak muda yang memiliki latar pendidikan formal cukup tinggi: lulusan SLTA dan akademi ilmu-ilmu politik, psikologi, dan sosiologi. Jumlah orang, yang menempatkan diri secara politis di sayap kiri itu, ada antara satu dan dua juta, kata hasil riset. Gerakan itu menganggap partai partai demokratis di Jerman -CDU/ CSU, FDP, dan SPD- sudah tidak sanggup menangani persoalan akut di negeri itu masa kini. Mereka memang tidak menghendaki Republik Federasi Jerman berubah seperti Jerman Timur. Namun, mereka percaya bahwa Moskow serius dalam soal detente, dan Amerika kini sedang ngotot menegakkan supremasi militernya. Mereka bahkan menolak penggunaan energi nuklir untuk maksud-maksud damai. Menurut Hans Josef, bekas hakim itu, "gerakan penyokong perdamaian ini bukan merupakan organisasi yang monolitis, tapi gerakan massa yang dikompori oleh berbagai unsur." Belum ada kesimpulan tegas apakah mereka memiliki hubungan dengan organisasi komunis. Begitu kata hasil penelitian . Satu hal sudah jelas, yaitu bahwa gerakan itu merupakan buntut perkembangan situasi perguruan tinggi di Jerman, yang bermula pada akhir 1960-an dan mencapai puncaknya pada 1970-an. Hal lain yang tak kurang jelasnya, menurut Jens Gundlach, "gerakan itu sungguh-sungguh berusaha menghindari bentrokan dengan polisi. Mereka begitu luwes dan denganterampil mengaturaksi-aksi mereka." Mereka ingin menunjukkan kepada pihak keamanan bahwa keributan bisa menimbulkan suasana tak tertolong lagi. Maka, dengan sikap seperti itu, seseorang yang cacat seperti Udo tak perlu bimbang untuk ikut bergabung. Yang belum jelas apakah "sekolah kaum demonstran" itu juga mengeluarkan ijazah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus