MENIRU memang tak selalu memalsu. Maka, 29 November-21 Desember
ini, di Balai Seni Rupa Jakarta dipamerkan sejumlah keramik
asli, tapi palsu. Misalnya, ada sebuah jambangan Cina yang
digambari pasukan perang. Melihat gayanya, ini berasal dan zaman
dinasti Qing. Tapi, bagi mata yang terlatih, memang ada hal-hal
yang janggal Putih keramik terlalu mulus, dan garis-garis gambar
terasa kurang spontan. Jangan kaget, keramik ini bikinan
Bandung, 1983.
Inilah pameran oleh dan untuk merayakan 10 tahun berdirinya
Himpunan Keramik Indonesia. Himpunan ini memang tak sekadar
bergiat mencari dan mengumpulkan keramik. Tapi juga mencoba
mencari ideide baru untuk menghidupkan perkeramikan kita.
Beberapa anggota Himpunan, melihat mahalnya keramik kuno dan
banyaknya peminat barang antik itu, punya usul: bagaimana
seandainya dibikin saja tiruan dari yang kuno itu.
Tak jelas siapa yang memulai. Tapi, 1977, Joop Ave, anggota
Himpunan - kini direktur jenderal pariwisata - memesan duplikat
jambangan anggur model Cina, lengkap dengan gambar rangkaian
bunga botan, kepada pusat keramik Dinoyo, Malang, Jawa Timur.
Hasilnya, yang bisa dilihat dalam pameran ini, tampaknya
memuaskan lingkungan perkeramikan. Tidak seperti di kalangan
cabang seni rupa yang lain, yang menabukan kegiatan tiru-meniru,
upaya meniru karya keramik ini justru mendapat penghargaan.
"Bagi awam tentu sulit membedakan yang asli dan asii tapi
palsu," tutur Nyonya Sumarah Adhyatman, wakil ketua Himpunan
Keramik. Tapi, asal pembuat atau penjual tidak bohong, dan
keramik tiruan memang dijual di bawah harga yang asli, kata
Nyonya Adhyatman, yang menekuni dunia keramik sejak 1969, itu
justru menggembirakan. "Pencipta keramik bisa memiliki yang
disukainya dengan murah, dan pengrajin keramik mendapat
keterampilan baru," kata penulis buku Keramik Kuna yang
ditemukan di Indonesia (1981) ini.
Sebenarnya, keiatan meniru keramik Cina sudah dilakukan pada
abad ke-9. Ini terlihat pada sejumlah gerabah kita yang meniru
bentuk jambangan, tempayan, dan teko Cina. Yang hingga kini
dibuat orang adalah teko atau poci, tempat membuat air teh.
Klampok, salah satu pusat keramik rakyat di Jawa Tengah,
terkenal dengan pocinya. Bahkan kini poci seperti sudah jadi
milik kita. Salah satu ciri warung nasi Tegal di Jakarta adalah
poci itu.
Tapi, memang, upaya peniruan tak menampakkan kreasi baru. Dulu,
ditirunya keramik Cina dengan teknik yang lebih murah, dengan
pembakaran rendah, adalah untuk konsumsi golongan bawah. Para
bangsawan dulu, konon, menggunakan keramik impor, tutur Nyonya
Adhyatman pula. Celakanya, seperti tak ada minat para pengrajin
keramik kita mempelajari teknik pembakaran tinggi, hingga bisa
bersaing dengan keramik impor. Boleh dikata, baru pada abad
ke-20 beberapa pusat keramik rakyat mencoba pembakaran tinggi.
Repotnya, begitu ada kesempatan meningkatkan teknik pembuatan
keramik, zaman pun berubah. Datanglah era industri, dan
alat-alat rumah tangga yang dulu dibuat dari keramik tersaingi
bahan baru. plastik dan melamin.
Beruntung, keramik Kasongan, Yogyakarta, mendapat sentuhan dari
Pelukis Saptohudojo, hingga keramik Kasongan menghasilkan
kreasi kramik hias baru yang lumayan pasarannya. Kini harapan
itu diletakkan Himpunan Keramik Indonesia, bagi keramik rakyat
di mana saja. "Ternyata, keramik kuno tiruan laku," kata Nyonya
Adhyatman. Tidak saja beberapa pecinta keramik di sini
membelinya, tapi beberapa toko di luar negeri konon menjual pula
keramik Cina tiruan dari Indonesia.
"Statistik memang susah dibikin, karena orang asing membeli
keramik tiruan cuma sebagai barang hadiah, mesk bukan mustahil
di negerinya sana lantas diperdagangkan," katanya.
Tapi apakah musim meniru ini suatu saat tak akan surut, dan
produksi pusat-pusat keramik rakyat yang membuatnya lantas ikut
pula anjlok?
Ada sesuatu yang lain yang diharapkan Nyonya Adhyatman,
kelahiran Tegal, Jawa Tengah, ini. Sejarah mencatat, katanya,
bahwa lahirnya keramik Jepang dan Persia juga berawal dari
kegiatan meniru keramik Cina. Singkat kata, dari kegiatan
tiru-meniru ini diharapkan lahir keramik dengan gaya Indonesia.
Sebab, dari segi teknis, kini sudah bisa dibuktikan bahwa
pengrajin kita punya kemampuan.
LIHAT misalnya, keramik gajah bikinan Klampok yang meniru
keramik . J Vietnam. Dengan glasir warna putih, nyaris susah
diketahui kalau im ditangani pengrajin yang dulunya cuma
membikin tempat bunga atau poci yang bentuknya sederhana. Lalu
piring porselen biru-putih yang meniru piring Cina abad XVII.
Tapi, coba amati, ternyata pemandangan alam yang dilukiskan di
situ bukan lagi alam Cina yang biasanya ditandai dengan gunung
berkabut. Yang digambarkan di situ adalah sebuah pemandangan
alam Indonesia.
Cuma, bagaimana keramik yang bergaya Indonesia? Seperti
keramik-keramik Majapahit yang banyak ditemukan di Trowulan?
Berbagai bentuk kendi dengan bermacam bentuk saluran airnya?
"Jambangan Cina, tapi gambarnya Rama dan Sinta seperti buatan
Dinoyo itu," kata Nyonya Adhyatman, "kan sudah sedikit berbau
Indonesia." Dan cepat-cepat, istri T.K. Adhyatman - salah
seorang staf Adam Malik ketika menjadi wakil presiden-
memperingatkan, dalam hal ini jangan tergesa-gesa menjatuhkan
penilaian estetikanya. "Biarkan dulu berkembang, dan soal indah
tak indah 'kan relatif," katanya.
Bagaimanapun lemparan ide Himpunan Keramik ada hasilnya. Sebuah
jambangan bikinan Dinoyo, Malang, bertahun 1982, yang ikut
dipamerkan, boleh dibanggakan. Jambangan ini berwarna putih
seluruhnya. Hiasan gambar tidak dilukis dengan cat, tapi
diukirkan di permukaan jambangan, mirip relief. Burung merak
yang tengah bersantai di antara tumbuhan-tumbuhan yang diukirkan
di situ. Dan, sepenuh permukaan jambangan terisi goresan, tak
ada yang lowong.
Di situ watak dekoratif motif batik, atau kekuatan bentuk
relief-relief candi di Indonesia, tercerminkan. Siapa bilang ada
jenis jambangan begini di negeri lain? Masalahnya, kemudian,
adalah cara mempromosikan industri keramik gaya baru ini, ketika
selera kolektor masih pada keramik kuno, meski tiruan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini