Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Selamat oleh Batu Karang

14 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi baru saja muncul. Angin bertiup lembut. Sayup-sayup terdengar debur ombak menyentuh pantai Pulau Derawan. Bersembilan, dengan speedboat pagi itu kami akan menyambangi pulau-pulau di seputar Derawan. Target pertama adalah Pulau Sangalaki.

Tak ada yang aneh selama perjalanan. Randy si kapten kapal berkonsentrasi mengatur kemudi speedboat. Laut tenang, ombak tidak terlalu besar. Tapi cuaca berubah 30 menit kemudian. Angin mendadak kencang, gelombang meninggi, keramahan laut tiba-tiba sirna.

Naluri Randy seperti menangkap tanda-tanda bahaya. Entah berapa kali dia menghentikan laju speedboat, memastikan para penumpang di belakangnya aman. Kami memang masih utuh, tapi semuanya basah kuyup. Seseorang kemudian memasang terpal pelindung dari cipratan air. Terkurung di tempat sempit di bawah terpal, kecemasan makin merebak. Ombak kian ganas, sebagian penumpang tak malu lagi membaca doa keras-keras.

Di tengah ombak yang terus membukit, speedboat terombang-ambing ke kiri dan kanan. Nasib kami kini sepenuhnya bergantung pada speedboat yang dinding fiberglass-nya seolah berderak menahan gelombang. Lalu, ya Tuhan, ombak besar itu datang. Sekali hantam, fiberglass tipis itu terkoyak. Seluruh isi perahu kecil terlempar ke laut berkedalaman 300 meter itu.

Terapung-apung di ayunan ombak, saya pasrah. Tapi Tuhan maha pengasih. Perahu kami pecah di dekat gugusan karang Mesimbung. Inilah penyelamat kami. Kaki kami menemukan pijakan karang tajam yang menusuk telapak dan betis. Perih, tapi inilah satu-satunya peluang. Alhamdulillah, kami semua berhasil menepi di karang-karang tajam itu.

Alam memang aneh. Begitu kami terdampar, ombak tiba-tiba menjadi jinak. Kami berpelukan, mengucap syukur. Tapi kami belum sepenuhnya selamat. Bagaimana caranya berenang ke daratan dari karang-karang ini?

Seolah menjawab kami, di kejauhan terlihat titik kecil yang makin lama makin nyata. Kapal…, terima kasih, Tuhan…, ada kapal kelotok melintas! Sekuat tenaga kami berteriak, melambai-lambaikan kain, lalu berteriak lagi meminta tolong. Tapi kapal itu terlalu jauh. Ia melaju dengan tenang, seolah tak mempedulikan kami.

Kami nyaris putus asa, sampai kemudian Marwan, salah satu anggota rombongan, punya rencana nekat. Dia berkeras berenang menyongsong kapal kelotok yang masih terlihat di kejauhan. Kami berdebat keras untuk ide nekatnya itu, tapi Marwan tak bisa ditahan. Akhirnya kami melepas Marwan dengan cemas. Dengan sigap, dia berenang menembus ombak.

Satu jam berlalu, dua jam, kami makin putus asa. Kami mencoba mengusir ketakutan dengan canda dan tawa yang tentu saja terasa hambar. Ketakutan makin menggumpal ketika air pasang tiba. Kini, air yang tadinya setinggi mata kaki sudah setinggi dada. Dingin, dan tumpahan solar speedboat yang dibawa ombak membuat kulit terasa panas.

Lalu, sayup-sayup terdengar suara indah itu, tok-tok-tok…. Ya, Tuhan, terima kasih, kapal kelotok itu mendekat dengan Marwan berdiri di haluan bersama Chaerun, pemilik kapal. Itulah momen paling indah bagi kami. Ya, kami selamat, berkat batu karang, Marwan, Chaerun, dan Tuhan. Terima kasih, Tuhanku.

Agus Hidayat, Mawar Kusuma (Derawan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus