Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Satu Lakon, Sembilan Dekade

Ronald Reagan tutup usia. Walau mencatat berbagai kontroversi, dunia mengenangnya sebagai salah satu pemimpin Amerika yang paling berhasil di abad ke-20.

14 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahkan Alzheimer tak berdaya untuk merenggutnya dengan cepat dari latar kehidupan. Penyakit itu memupus seiris demi seiris ingatan, merusak bagian demi bagian otaknya. Tapi Ronald Wilson Reagan seakan bertahan dengan ketangguhan seorang pelari jarak jauh sejati. Dia masih menempuh sepuluh tahun yang panjang sebelum Alzheimer itu memungkaskan napasnya pada Sabtu, 5 Ju-ni silam—dalam usia 93 tahun.

Masa hidup Reagan bukan sekadar rentangan panjang di atas kalender. Bagi mantan Presiden Amerika Serikat ke-40 itu, sembilan dekade adalah rekaman beberapa zaman di satu negeri yang pernah memberinya kesempatan menjadi presiden dua periode, 1981-1989. Reagan menyaksikan peristiwa-peristiwa besar melanda dunia; dua Perang Dunia, Depresi Besar yang meluluh-lantakkan ekonomi seantero jagat—termasuk Ame-rika—pada 1930.

Dia tengah meniti kariernya di Hollywood ketika Amerika mengebom Nagasaki dan Hiroshima, yang membikin Jepang terbirit-birit mengakhiri impiannya membangun persekutuan Asia Timur Raya—termasuk di Indonesia. Bom atom yang mengakhiri Perang Dunia II itu sekaligus melahirkan identitas baru Amerika yang digadang secara terus-menerus sampai kini: negeri superpower, sang adikuasa yang ikut menentukan warna berbagai region di dunia.

Di masa-masa itulah Ronald Reagan terus bertahan untuk mengadu untung di Hollywood, kendati dunia film tak pernah melambungkannya. Film-filmnya praktis tak meledak—dan lupakan saja hadiah Oscar. Justru politik yang membawanya kepada ketenaran yang nyaris paripurna. Satu langkahnya yang fenomenal: dia berjasa mengakhiri Perang Dingin, yang telah merongsokkan hubungan Amerika-Soviet sejak era 1950-an.

Toh, tak ada yang mengira nasib akan membawa Reagan ke jalur yang sedemikian tersohor. Dia cuma anak tukang sepatu miskin dari Tampaco, Illinois—kota kecil di pedalaman Amerika yang jauh dari gemerlap New York atau elegansi Washington. Dia bukan lulusan universitas terbaik Amerika, cuma dari Eureka College, Illinois. Lalu, di masa dia menjadi aktor, film-filmnya pun—antara lain The Killer, The Young Doctor, atau Money and The Minister—tak pernah menjadi tambang uang.

Sampai-sampai, pelawak Johnny Carson dan Bob Hope meledeknya pada sebuah acara gala di Washington: "Jika film-film Anda dulu laris-manis menggaet penonton, mungkin Anda tak pernah terjun ke dunia politik."

Jadi, jangan heran tatkala sebagian aktor dan aktris tercengang bahwa aktor tanggung itu mampu mencapai puncak tangga hidupnya di Gedung Putih. Pada malam inaugurasinya sebagai presiden—ia dilantik pada 20 Januari 1981—hadir satu koleganya dari dunia perfilman, Brigadir Jenderal James Stewart. Tersenyum lebar, Stewart menyalami bekas temannya itu: "Ron, saya tak pernah mengira bisa memanggil Anda 'Tuan Presiden'."

Jangankan Stewart, bahkan dunia pun terperangah ketika Reagan memasuki Oval Room pada usia 70 tahun—umur ketika orang menikmati pensiun, bersantai sembari mengejar tabungan ibadah. Beberapa pengamat kepresidenan Amerika menyebutnya sebagai "orang beruntung yang masuk pada saat yang tepat". Reagan memikat publik Amerika dengan salah satu slogannya yang masyhur: "Kita jadikan Amerika besar kembali."

Sebagian dari kita mungkin masih ingat betapa babak-belurnya kepercayaan diri AS setelah kalah dalam Perang Vietnam. Amerika kalah setelah keluar ongkos tak terhingga dan kehilangan nyawa entah berapa ribu anak muda. Publik Amerika menjadi amat gusar pada komunis. Dalam diri Reagan, mereka seakan menemukan sosok pujaan yang dicari: "Mereka melihat saya adalah salah satu dari mereka." Ucapan lama Reagan tentang rahasia kemenangannya ini pernah dikutip oleh kantor berita BBC.

Dikenal amat antikomunis, Reagan mengumpulkan banyak relasi hartawan di California. Merekalah yang mendukungnya menjadi Gubernur California selama dua periode (1966-1974). Ini pijakan teramat penting sebelum memasuki Gedung Putih di Washington pada 20 Januari 1981. Dalam edisi 10 Juni lalu, mingguan The Economist menulis, Reagan "sama sekali bukan seorang intelektual".

Dia kerap gagal memahami soal-soal pelik yang bergulir di punggungnya. Dia ogah terlibat perdebatan sulit dengan para anak buahnya. Belum juga tiga tahun memerintah, enam pembantu dekatnya sudah hengkang dari kabinet. Salah satunya, bekas Menteri Luar Negeri Alexander Haig. Seorang analis politik mengatakan, Reagan lolos dua periode kepresidenan semata-mata karena "kebodohan" Amerika. Publik Amerika, menurut sang analis, gemar menikmati kemampuan Reagan bertonil ketimbang mengamati kelemahannya mengurus politik. Benar demikian?

Harus diakui bahwa Ronald Reagan naik takhta di masa yang susah, Perang Dingin melawan Uni Soviet. Dan itu tadi, kepercayaan diri yang melorot bak kolor putus akibat Perang Vietnam dan dampak Revolusi Iran 1979. Belum lagi ekonomi yang morat-morit. Maka, selepas pelantikannya, Reagan pun segera beraksi dengan menawarkan tiga kebijakan, yakni perbaikan ekonomi, perdamaian melalui kekuatan, dan optimisme masa depan Amerika.

Di bidang ekonomi, dia menyodorkan paket Reaganomics. Ampuh rupanya. Amerika mengalami boom ekonomi, antara lain terbukanya 19 juta lapangan kerja baru. Dia juga sukses menekan inflasi. Namun defisit anggaran membikin utang Amerika tetap membengkak. Reagan tutup buku di Gedung Putih pada 1989 dengan meninggalkan warisan defisit US$ 2,6 triliun kepada penggantinya, George Herbert Walker Bush—ayah Presiden Amerika yang sekarang, George W. Bush. Ini sama dengan tiga kali jumlah defisit dibandingkan dengan saat Reagan mulai memerintah.

Tapi bekas aktor itu tidak kehilangan pendukung. Rupanya, sebagian rakyat AS happy saja karena pendapatan per kapita mereka tetap melonjak dari tak sampai US$ 9.000 menjadi US$ 13.400 lebih pada 1983. Celaka bagi orang-orang kecil, karena Reaganomics membawa efek seperti yang kerap dilagukan oleh sebagian pedangdut di Indonesia: yang kaya makin kaya, yang miskin kian terpuruk.

Josen Takahashi, seorang ekonom yang pernah bekerja pada Institut Riset Mitsubishi, menulis, "Kemakmuran Amerika di masa Reagan adalah semu karena ditunjang oleh utang." Lebih keras lagi kata-kata kolumnis Robert Samuelson: "Kemakmuran yang dihasilkan Reagan sejatinya dipinjam dari masa depan AS." Para pengkritiknya memang sudah mencibirnya sejak dia masuk Washington menggantikan Presiden Jimmy Carter.

Kemampuannya diragukan sejak masa sekolah. Latar belakang keluarganya yang carut-marut jauh dari sepadan dengan ningrat politik Amerika macam dinasti Kennedy. Tapi, siapa peduli? Amerika masih trauma dengan sepak terjang Nixon. Mereka bosan dengan Jimmy Carter yang pemurung, dingin, dan kurang mahir menjual "sisi adikuasa" ke kancah politik internasional. Sementara Reagan?

Bakat aktornya saja sudah membantu. Dikenal hangat dan humoristis, dia mampu meladeni kegalakan Muammar Qadhafi yang mencaci-maki Amerika setelah tentara kiriman Reagan menghajar Tripoli. Kasus Iran-Contra, yang memicu kemarahan dunia gara-gara Amerika menembak pesawat sipil Iran dan menewaskan 290 penumpang, sanggup pula ia hadapi secara tenang. Dia menghajar Grenada, negeri kecil di Karibia yang ia pandang terlalu hangat bermain mata dengan dua musuh Amerika: Kuba dan Uni Soviet.

Tapi, lagi-lagi, siapa peduli? Rakyat Amerika malah mempersilakan sang koboi kembali naik takhta. Dalam pidato resminya, 20 Januari 1984, Reagan menyerukan pembaharuan Amerika di hadapan 140 ribu tamu. Salah satu prestasinya yang dianggap amat mengobati cedera citra Amerika adalah menciptakan Perang Bintang, Star Wars, yang dianggap menguburkan tiga hal raksasa: mengakhiri Perang Dingin, Federasi Uni Soviet, dan komunisme (lihat, Satu Tepukan, Tiga Terkubur). Hasilnya?

"Dia dianggap sebagai salah satu presiden paling sukses dari abad ke-20," tulis The Economist. Fisik dan mentalnya kuat. Dia tidak pula kehilangan para pencintanya, walau telah bertahun-tahun menghilang dari publik. Empat kepala negara hadir dalam Katedral Nasional di Washington untuk mendoakannya. Tamu-tamu dari berbagai belahan bumi datang untuk memberi hormat. Anak negeri Amerika, orang-orang biasa, mengantre sampai sepuluh saf selama berjam-jam di Washington untuk melayatnya. Dia diterbangkan kembali ke Los Angeles pada Jumat silam. Di kota itu, di halaman Perpustakaan Reagan, jenazah bekas Presiden Amerika itu akan dimakamkan di bawah sebatang pohon oak yang rimbun.

Dalam kolom yang ia tuliskan di mingguan Time beberapa saat sebelum kematian suaminya, Nancy Reagan seolah menyiarkan sebuah rahasia lama mengapa Reagan tetap menjadi kekasih, a true darling, bagi Amerika: dia pribadi tanpa ego, kuat pada prinsip, nyaman dengan apa pun yang ia miliki. "Ronnie," tulis Nancy, "seakan diciptakan dengan sebuah cetakan khusus."

Hermien Y. Kleden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus