Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Situs Purba Bernama Derawan

Jutaan tahun lalu, lautan itu terjebak dikurung pulau. Lahirlah ekosistem dan spesies mahalangka. Sayang, semuanya bakal tergerus pariwisata.

14 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di punggung Sungai Kelai yang airnya kecokelatan, sebuah perahu motor melaju pelan ke hilir. Di belakangnya, ibu kota Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, makin tertinggal jauh. Sesekali perahu itu zig-zag menghindari gubuk-gubuk kayu penambang pasir di sepanjang sungai. Di angkasa, elang liar dengan matanya yang tajam seolah mengawal perahu itu hingga menyentuh Laut Sulawesi.

Di laut itulah Derawan, sederetan pulau kecil, berada. Inilah gugusan 31 pulau tapi hanya dua di antaranya yang dihuni manusia, yaitu Derawan (1.350 jiwa) dan Maratua (2.687 jiwa). Pulau selebihnya yang tersisa hanyalah daratan kering yang hampir tak tersentuh manusia.

Tapi, jangan salah, di daratan tak tersentuh itulah berkembang karakteristik ekologi unik, langka, bahkan jarang terdapat di belahan dunia lain. Lihatlah misalnya apa yang bisa ditemukan di Pulau Kakaban.

Dari angkasa, bentuk pulau seluas 5 ki-lometer persegi ini mirip segi tiga raksasa dengan laguna di tengahnya. Konon, sekitar 1 juta-2 juta tahun lalu, pulau ini berbentuk sekumpulan atol yang mengelilingi pulau kecil di tengahnya. Karena bumi terus bergerak, dataran yang dikelilingi tadi tenggelam. Sebaliknya, atol terus-menerus muncul, bahkan menyambung. Maka terciptalah sebuah pulau mini dengan laguna yang seolah terjebak di tengahnya. Selain di Indonesia, proses geologis seperti ini hanya terjadi di Palau, Mikronesia, kira-kira 750 kilometer di sebelah tenggara Filipina.

Laguna yang seolah terjebak segi tiga raksasa itu perlahan-lahan membentuk ekosistem khas. Inilah biota endemis Kakaban yang melahirkan spesies unik dan langka. Di sini misalnya bisa ditemukan empat jenis ubur-ubur khas Kakaban, Mastigias papua, Aurelia aurita, Cassiopeia ornata, dan Tripedalia cystophora.

Dua jenis pertama telah kehilangan daya sengatnya, tak beracun. Jenis ketiga masih belum bisa diungkap para ahli. Sedangkan jenis keempat adalah spesies unik yang hobinya diam berjungkir balik dengan tentakel menghadap ke atas.

Biota Kakaban lain yang belum banyak terungkap adalah anemon laut (Actinaria) berwarna putih. Anemon ini memangsa ubur-ubur dengan perekat pada tentakelnya. Di danau ini juga hidup dominan sejenis algae, beberapa genera, dengan dominasi Halimeda. Jumlahnya yang berlimpah membuat laguna ini juga dijuluki Laguna Halimeda.

Di danau ini tak dijumpai vertebrata herbivora. Beberapa invertebrata ditemukan dalam jumlah sedikit, seperti moluska, gastropoda, spons, bivalvia, bintang laut, teripang, udang, dan kepiting. Sedangkan vertebrata karnivora didominasi ikan (baru ditemukan 8 jenis), ular yang tak berbisa, dan burung pemangsa. Lebih dari itu, danau ini begitu elok dengan hutan mangrove yang menjadi pagarnya.

Dalam sebuah publikasinya, peneliti dari Universitas Oxford, Inggris, Jonathan Kingdon, menyebut Danau Kakaban sebagai bentuk evolusi yang tidak dicampuri kehidupan tingkat tinggi. Inilah sebuah situs purba yang berkembang modern tanpa memiliki kehidupan masa kini. "Hanya dengan memasuki Danau Kakaban, dalam angan-angan ilmiah, saya dapat melintasi waktu, kembali ke satu periode dalam sejarah bumi ketika makhluk yang sudah dikenal, seperti ikan, reptilia, burung, apalagi manusia, belum berevolusi," tulisnya.

Andai Kingdon kini datang ke Kakaban, pasti dia akan bersedih. Daya tarik Kakaban yang begitu eksotis membuat turis berdatangan. Siapa yang tak tertarik menyelam menikmati begitu kayanya biota laut di sini? Wisatawan mana yang tak terpesona melihat kura-kura langka mendarat dan berjalan malas di pantai? Lalu, seperti biasa terjadi di mana pun, hukum uang berjalan: kedatangan turis memancing riuhnya industri pariwisata. Pengusaha pun ramai-ramai mengkapling lahan.

Lihatlah, di Pulau Derawan, Sangalaki, Pabahanan-Maratua, dan Maratua Bohebukut sekarang telah berdiri resor dengan fasilitas menyelam. Sedangkan Pulau Kakaban, yang dulu dipuji Kingdon setengah mati sebagai tempat yang nihil dari hiruk-pikuk kehidupan, kini telah menjadi pusat selancar jet dan menyelam. "Padahal kawasan ini sangat berarti bagi konservasi global," kata Yulia Kalmirah dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).

Ancaman tak semata datang dari wisatawan. Menurut Manajer Program Informasi, Riset, dan Pendidikan Kehati, Christine Ismuranty, kawasan ini rentan terhadap kegiatan yang dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian alam. Sebab, di sekeliling Kepulauan Derawan terdapat pulau-pulau berpenghuni nelayan. Tuntutan perut dengan minimnya pemahaman konservasi membuat mereka menangkap hasil laut tanpa pertimbangan ekologis. Mereka tentu saja tak peduli dengan segala urusan konservasi. Yang penting, perahu bisa mendarat penuh muatan ikan untuk dijual. Bahkan, kalau perlu, bom ikan, racun potasium, dan juga pukat harimau bisa digunakan.

Berbagai perkembangan mutakhir ini mengundang sejumlah organisasi lingkungan menjalin tangan mengembangkan kegiatan konservasi di kawasan Derawan. World Wide Fund for Nature dan Yayasan Kehati bergiat dalam konservasi penyu di Pulau Sangalaki. The Nature Conservancy dan Mitra Pesisir terdorong untuk membangun laboratorium riset kelautan di Pulau Derawan, yang diperluas hingga Pulau Maratua.

Untuk menyelamatkan kawasan ini, pada 31 Mei lalu dibuat nota kesepahaman antara Menteri Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Kabupaten Berau, dan empat lembaga swadaya masyarakat tadi. Dalam kesepakatan yang belum terinci dan terinstitusi ini, disebutkan adanya kemitraan untuk pengembangan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Skala Besar di Kabupaten Berau. Semuanya sepakat untuk memfasilitasi pembuatan rencana pengelolaan, membentuk komite (dewan) pengelola KKL, serta mengadakan pendidikan pengelolaan wilayah pesisir dan penguatan masyarakat lokal.

Belajar dari pengalaman di kawasan konservasi lain, aspek kesejahteraan masyarakat akan menjadi titik tolaknya. Sebab, selama ini, menurut Christine, seiring dengan berubahnya suatu kawasan menjadi wilayah konservasi, seolah selalu ada pembatasan terhadap aktivitas masyarakat lokal. Akibatnya, penduduk jadi jengkel dan memandang kawasan konservasi sebagai musuh yang harus dilawan. Padahal, "Pelestarian kawasan tidak hanya menuntut kesadaran, dukungan, dan partisipasi masyarakat, tapi juga harus ada transformasi pengetahuannya," kata Christine.

Pemikiran ini menggema jauh dan menjadi tugas besar komite pengelola KKL kelak. Hanya dengan pengawalan atas kawasan ini, keanekaragaman hayati, keindahan, dan proses evolusi di Kepulauan Derawan bisa tetap terpelihara. Pulau ini harus "tanpa terusik jamahan masyarakat setempat yang lapar secara ekonomi," ujar Christine.

Agus Hidayat, Mawar Kusuma (Kepulauan Derawan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus