KONPERENSI Kependudukan Asia Pasifik (APPC) IV di Bali baru saja usai. Di akhir perhelatan akbar itu, para delegasi dari berbagai negara menghasilkan deklarasi yang diberi nama Bali Declaration on Population and Sustainable Development -- selanjutnya sebut saja Deklarasi Bali. Deklarasi tersebut berisi sepuluh pedoman dalam mengembangkan kebijaksanaan kependudukan di negaranegara kawasan Asia Pasifik. Di dalamnya tercakup masalah lingkungan dan pembangunan, urbanisasi, keluarga berencana, masalah kemiskinan, juga tingkat kelahiran dan kematian bayi. Kesepakatan konperensi tingkat menteri atau pejabat tinggi dari 36 negara ini kelak akan dibawa ke Konperensi Kependudukan Dunia 1994 di Kairo, Mesir. Kendati samasama disusun untuk mendukung pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sudut pandang Deklarasi Bali ini agak berbeda dengan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, Juni silam. Deklarasi Rio menekankan pembangunan berkelanjutan dilihat dari aspek kepentingan lingkungan, sedangkan Deklarasi Bali menyorotnya dari sudut kependudukan. Masalah penduduk yang akan terus meningkat, kata Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim selaku ketua sidang APPC, memang sangat mempengaruhi pembangunan di masa mendatang. Diperkirakan, pada awal abad ke21 nanti, kawasan Asia Pasifik akan dihuni oleh sekitar 4,2 milyar manusia atau 80% dari total penduduk dunia (lihat tabel proyeksi penduduk dunia tahun 2050). Indonesia yang saat ini berpenduduk 185 juta, pada 2020 akan memiliki 257 juta jiwa, dan pertengahan abad ke21 kirakira 320 juta. Itu kalau pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat ratarata kurang dari 2% per tahun. Artinya, bisa kurang, bisa juga lebih. Apalagi mengingat penurunan tingkat kematian (mortalitas) yang diperkirakan hanya 40 per 1.000 bayi pada abad ke21 nanti. Angka 257 juta manusia, bagi Emil Salim, sangat menakutkan. Jumlah penduduk yang seperempat milyar itu akan membawa berbagai masalah, misalnya bila dikaitkan dengan pengadaan makanan, ledakan penduduk di kotakota -- Jakarta diperkirakan akan dihuni 12 juta penduduk pada tahun 2000 -- dan juga ketahanan lingkungan. Belum lagi tuntutan untuk kebutuhan seperti perumahan, kesehatan, dan lapangan kerja. Emil mengharapkan, jumlah itu bisa ditekan serendahrendahnya dengan menurunkan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk. Sebab itu, delegasi Indonesia sependapat dengan para delegasi negara lain untuk memprioritaskan program Keluarga Berencana (KB), dan menargetkan tiap wanita hanya melahirkan 2,2 anak. Persoalannya, apakah upaya ini akan dapat dilakukan di Indonesia? Kalau melihat data dari tahun ke tahun, tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia masih turunnaik. Menurut data dari Biro Pusat Statistik, tingkat pertumbuhan pada dasawarsa 1961w1971, misalnya, mencapai 2,10 persen. Sedangkan dasawarsa 1971w1980 naik menjadi 2,32%. Saat ini, kata Masri Singarimbun, ahli kependudukan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tingkat pertumbuhan secara nasional memang hanya 1,98% per tahun. "Namun, angka itu harus tetap diwaspadai," ujar Masri. Alasannya, usaha menurunkan tingkat pertumbuhan saat ini belum mantap. Apalagi ia melihat adanya variasi pertumbuhan penduduk di berbagai daerah. Ada yang jauh di atas ratarata. Kalimantan Timur, misalnya, mencapai 4,4% per tahun, Pulau Sumatera 2,67, sementara daerahdaerah yang KBnya berhasil seperti Pulau Jawa hanya 1,6%. Tingginya tingkat pertumbuhan seperti di KalTim memang bukan sematamata diakibatkan oleh tingkat kelahiran atau gagalnya program KB, melainkan juga adanya faktor migrasi dari daerah lain. Namun, bagi Masri, secara keseluruhan angka 257 juta untuk tahun 2020 terbilang wajar, bahkan rendah. Ahli kependudukan ini berpendapat, yang penting bukan soal jumlah penduduk, melainkan sejumlah usaha untuk menanggulangi masalahmasalah yang akan dihadapi. Misalnya, bagaimana menekan kemiskinan, mencegah penumpukan penduduk di kota besar, menyediakan sandangpangan dan perumahan yang layak. Kata kunci untuk menyongsongnya adalah pembangunan yang tidak hanya melihat satu segi. Selama ini -- demikian Presiden Soeharto ketika membuka Konperensi APPC -- konsep pembangunan berkelanjutan hanya dikaitkan dengan persoalan lingkungan. Padahal, "Masalah sentral pembangunan adalah apakah manusia dapat hidup layak dengan kualitas hidup yang memadai, sejahtera dan berbahagia tanpa kemiskinan, hidup tenteram tanpa kecemasan," ujar Presiden. Berbagai sisi harus dilihat, sehingga, seperti kata Emil, ada keselarasan antara pembangunan, lingkungan, dan populasi penduduk. Maka, strategi yang sebaiknya ditempuh harus searah dengan usaha meningkatkan kualitas penduduk dalam arti fisik maupun mental. Secara fisik, misalnya dengan perbaikan gizi dan diversifikasi pangan. Untuk memenuhi tuntutantuntutan ini, semua usaha harus berpangkal dari upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dan agar penduduk tidak menumpuk di satu daerah, pembangunan ekonomi harus merata di seluruh daerah. Pemerataan penduduk -- hal yang dibicarakan juga dalam konperensi -- menurut Aris Ananta, ahli demografi dari Universitas Indonesia, tidak bisa hanya dilakukan dengan pola pendekatan transmigrasi seperti sekarang, yang hanya memindahkan penduduk daerah padat ke daerah kosong. "Kita harus menerapkan pendekatan pembangunan kependudukan regional, yakni dengan meningkatkan pembangunan fisik di berbagai daerah," kata Aris. Berbagai tuntutan fisik itu jelas membutuhkan dukungan kualitas mental, misalnya yang bisa diperoleh dari pendidikan. Inilah yang tampaknya paling perlu digalakkan, karena akan sangat berpengaruh pada mutu dan produktivitas tenaga kerja Indonesia. Dari data Biro Pusat Statistik peridoe 19801985, misalnya, tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya 0,3% dari total tenaga kerja yang ada. Dari angka ini, tampaknya masih terlalu dini untuk bisa memastikan bahwa Indonesia cukup berpotensi untuk meningkatkan kualitas penduduknya. Padahal, jumlah penduduk yang terus bertambah juga merupakan tantangan sendiri. Secara umum, tujuan peningkatan kualitas manusia selalu disejajarkan dengan peningkatan produktivitas masyarakatnya. Jika para macan Asia seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura berhasil mencetak sukses ekonomi yang mengatrol negaranegara itu keluar dari kelompok Dunia Ketiga, itu tak lain tak bukan karena mutu sumber daya manusianya. Apalagi nyata terlihat bahwa dalam sumber alam, mereka bukan apa-apa dibandingkan Indonesia. Jadi, pilihan Emil untuk meningkatkan kualitas manusia sudah sangat tepat. Masalahnya, siapkah Indonesia menunjang tiga jalur strategi yang menjamin tercapainya peningkatan kualitas itu. Adapun ketiga jalur itu semua berpangkal pada keberhasilan pembangunan. Jalur pertama adalah perbaikan gizi kedua, peningkatan mutu pendidikan dalam arti luas ketiga, meningkatkan partisipasi penduduk dalam lapangan kerja. Kalau diingatingat pertambahan penduduk yang masih tetap besar, sedangkan potensi untuk menambah lapangan kerja masih terbatas, tampaknya ketiga jalur strategi tersebut harus diperjuangkan matimatian. Bertolak dari Deklarasi Bali, peta kependudukan kita sudah nyata coraknya, sasaran pun telah dirumuskan, tinggal lagi komitmen dari seluruh bangsa ini untuk mencapainya. Priyono B. Sumbogo, Indrawan, Silawati (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini