Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam ratus burung menghambur ke langit Surabaya, Sabtu pekan lalu. Ada tekukur jawa (Streptopelia), gelatik jawa (Estrildidae), dan prenjak (Sylviidae). Hari itu jadi awal kehidupan baru mereka. Tak lagi terkungkung di kandang, tapi bebas terbang ke rumah baru mereka seluas 180 hektare di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Sukolilo yang hijau. Pada hari pembebasan itu mereka terbang berputar, menclok di pohon-pohon rindang, atau terbang lurus hingga hilang dari pandangan. "Mereka pasti bisa bertahan hidup karena di sini banyak pohon," kata Rektor ITS Triyogi Yuwono.
Pelepasan burung yang dilakukan Wali Kota Tri Rismaharini itu bagian dari peresmian ITS sebagai eco campus alias kampus berwawasan lingkungan. Bukan cuma ingin membuat suasana alami dengan kicauan burung, program ini mengajak seluruh sivitas akademika menerapkan budaya ramah lingkungan di dalam kampus, dari mendaur ulang sampah, menanam pohon, sampai menggunakan ruang kuliah tanpa penyejuk udara.
Kurang dari sepekan sebelumnya, Risma—panggilan sang wali kota—juga meluncurkan Surabaya Eco School, yang melibatkan 120 sekolah di sana. Lebih dari 500 siswa dan guru sekolah dijejali materi oleh aktivis lingkungan hidup dari Tunas Hijau, yang pelatihannya berlangsung di kantor Pemerintah Kota Surabaya di Jalan Taman Surya sepanjang pekan.
Dalam kegiatan itu, setiap perwakilan sekolah kudu memaparkan program pelestarian lingkungan di sekolahnya masing-masing dan saling tukar ide. Misalnya SMP Negeri 38, yang mengusung "Ijo Royo-Royo" dengan isi "Dumen" atau dua menit setiap hari berburu sampah di kelas, "Jumasih" alias bebersih saban Jumat, dan mendaur ulang plastik plus kertas. "Kami sudah menjalankan program ini," ujar Ni Made Mutia, 13 tahun, pelajar kelas VIII. Tidak aneh kalau sekolahnya dinobatkan sebagai sekolah kedua paling bersih di Surabaya.
Ada juga peserta yang mengusulkan agar sekolah membuat warung nasi pecel supaya siswa mendapat asupan yang lebih bergizi dan bersih ketimbang jajanan kaki lima.
Risma memang getol mengkampanyekan pelestarian lingkungan di kota berpenduduk tiga juta itu, bahkan jauh sebelum dia dilantik sebagai wali kota perempuan pertama Surabaya, September tahun lalu. Maklum, lima tahun sebelumnya, perempuan 49 tahun ini menjabat Kepala Dinas Pertamanan dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya.
Sebutlah nama Taman Bungkul. Warga pasti masih ingat masa lalu petak tanah seluas separuh lapangan bola itu yang kumuh dan gelap. Risma, lulusan arsitektur ITS, menyulapnya jadi ruang terbuka hijau tempat kongko warga, lengkap dengan jaringan Internet, arena bermain anak, serta ketangkasan sepeda. Makam Mbah Bungkul, ulama yang diyakini menyebarkan Islam di Jawa Timur bersama Sunan Ampel, tetap dirawat. Semuanya bisa dinikmati pengunjung sonder fulus. Polisi pun ikut memanfaatkan taman di Jalan Darmo itu untuk sosialisasi lalu lintas, seperti membagikan helm gratis dan pembuatan surat izin mengemudi.
Di sudut Jalan Biliton ada Taman Lansia. Dulu lahan 2.000 meter persegi ini dipakai untuk pompa bensin. Kini menyembur air mancur yang dikelilingi bunga dengan perpaduan hijau dan merah. Dinamakan lansia atau lanjut usia karena taman ini memiliki lintasan beton halus untuk memudahkan jalan kursi roda.
Masih ada seabrek taman lain seperti Taman Prestasi (6.000 meter persegi) dan Taman Apsari (5.300 meter persegi) di tengah kota, juga Taman Mundu di Tambaksari. Surabaya pun semakin hijau, seperti warna kebesaran klub kesayangan mereka, Persebaya.
Semangat hijau menyebar ke luar taman. Jalan-jalan protokol kota terbesar kedua setelah Jakarta itu ditanami bunga aneka rupa. Jalur pejalan kaki ikut kena pugar, dari geradakan jadi mirip pipi ratu sejagat. Trotoar kuning cerah terbentang selebar lima meter di koridor utama, seperti di Jalan Basuki Rahmat, Tunjungan, dan Panglima Sudirman, lengkap dengan jejeran pot bunga.
Di tepi laut, Risma meremajakan hutan bakau. Luas kawasan mangrove di pantai timur Surabaya sekitar 871 hektare, memanjang dari utara ke selatan melintasi empat kecamatan. Perempuan kelahiran Kediri ini mengajak berbagai pihak menanam 50 ribu batang bakau di kawasan konservasi itu. Selain menahan laju pengikisan dan penyusupan air laut, hutan bakau menjadi rumah bagi 84 spesies burung, termasuk 12 spesies dilindungi, seperti kuntul perak (Egretta garzetta) dan pecuk hitam (Phalacrocorax sulcirostris). Jumlah itu masih ditambah 44 spesies burung migran yang singgah di sana saban tahun, plus berbagai jenis kera. "Dengan adanya hutan mangrove, ekosistem hewan di pantai ikut terselamatkan," kata Risma. Sejak tahun lalu, hutan itu dilengkapi pematang dan jadi tempat wisata.
Di kota, Risma juga menyiapkan lahan sepuluh hektare untuk membuat hutan di bilangan Laskarsantri, lima kilometer sebelah barat jalan tol Surabaya-Gempol.
Tak lupa, Risma mengajak warga memerangi sampah dan banjir. Satu di antara strateginya adalah lewat lomba kampung bersih dengan tema "Merdeka dari Sampah". Sebagai panglima, dia tak segan terjun langsung ke medan laga. Suatu siang bulan lalu, misalnya, Tempo mendapati ibu dua anak itu turun dari mobil dinasnya yang berhenti di depan Royal Plaza. Pandangannya tertuju ke got yang mampet karena penuh sampah di tepi Jalan Ahmad Yani. Bersenjatakan galah bambu yang ditemukan di tepi jalan, dia menyorongkan penyumbat itu. Ajudannya terlihat gelagapan dan berbicara, entah dengan siapa, di telepon.
Tindakan spontan Risma yang selalu memungut sampah di dekatnya merupakan bahan perbincangan sehari-hari. Hari Mursito, Ketua Rukun Warga VI Kelurahan Banyu Urip, satu pemenang lomba kampung bersih, mengatakan warga termotivasi membersihkan lingkungan karena menggugu Ibu Wali Kota. "Tanpa disuruh, langsung bergerak," ujar pria 45 tahun ini.
Dipuji seperti itu, Risma merendah. Menurut dia, justru warga yang lebih banyak berperan membersihkan lingkungan. "Kelebihan Surabaya adalah semua elemen masyarakat peduli pada lingkungan," katanya. Dia membandingkan kotanya dengan Singapura, yang menurut dia bisa bersih karena dukungan dana yang jumbo. Surabaya memiliki anggaran kebersihan jauh lebih rendah karena besarnya partisipasi masyarakat. Sayang, sampai tulisan ini diturunkan, Tempo belum berhasil mengetahui anggaran pengelolaan lingkungan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya.
Berkat semua itu, negara-negara tetangga mulai melirik hijaunya Surabaya. ASEAN menunjuk Kota Pahlawan sebagai kota dengan penataan lingkungan berkelanjutan terbaik se-Asia Tenggara. Penghargaan ini didasarkan atas penghijauan yang tak sebatas menanam, melainkan juga menyejukkan kota. Penilaian lain adalah sungai dan udara yang relatif lebih bersih daripada kota-kota lain. Penghargaan akan diserahkan pada November mendatang.
Pada bulan yang sama, kata Risma, kota seluas 33 ribu hektare itu juga akan kedatangan serombongan tamu, wali kota se-Asia-Pasifik, yang tertarik dengan partisipasi warga dalam kebersihan lingkungan. Dia berniat mengajak rombongan tamunya berkeliling ke beberapa rukun warga yang menang di lomba kampung bersih. Bulan depan, wali kota dari negara-negara Asia Tenggara yang lebih dulu mengunjungi Surabaya dengan tema yang sama.
Pencapaian itu tetap tak lepas dari kritik. Agus Santoso, anggota Komisi Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Surabaya, menganggap Risma hanya memoles daerah pusat kota, yang dia akui semakin rapi, tapi mengabaikan pinggiran. "Tengok ke pinggir kota, banyak sampah di sungai, tidak terurus," kata politikus Partai Demokrat ini.
Menurut Agus, sungai kotor karena kebiasaan warga membuang sampah seenaknya. Sungai Tambak Asri, misalnya, ibarat keberatan nama. Lupakan kesan asri, karena airnya hitam dan penuh limbah. Dari alat rumah tangga sampai bangkai binatang bisa ditemukan dalam satu sapuan mata. Dampaknya, pintu air Morokrembangan sering tersumbat.
Selain penuh sampah, sungai punya musuh lain, yaitu eceng gondok (Eichhornia crassipes). Tanaman terapung ini tergolong gulma atau pengganggu karena menutup permukaan air sungai. Penetrasi cahaya matahari jadi terhalang sehingga mengurangi kadar oksigen air. Eceng gondok menyebar di banyak sungai, terutama di bagian utara dan timur kota.
Penanganan banjir juga dianggap masih bolong-bolong. Perbaikan sungai di daerah langganan banjir tidak membawa perubahan, terutama di musim hujan. Agus mencontohkan kawasan Banyu Urip, yang sungainya tertutup blok beton untuk menambah ruas jalan. Kampung Petemon, yang jaraknya cuma dua kilometer dari sungai itu, masih kebanjiran.
Karena itulah Agus berharap Wali Kota tak terlena oleh penghargaan. "Perhatikan juga kondisi di pinggiran," katanya.
Reza Maulana, Kukuh Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo