Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tentang Mengatasi Tsunami Informasi

Kini siapa pun bisa mengirim berita atau informasi. Buku ini menawarkan resep untuk tetap waras, skeptis, dan berpikir jernih.

26 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload
Penulis: Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
Penerbit: Bloomsbury
Tahun: 2010
Tebal: 227 hlm.

Empat tahun yang lalu, duet Bill Kovach dan Tom Rosenstiel meraih ketenaran ketika menulis Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sembilan Elemen Jurnalisme. Kini duet yang sama meneruskan bahasan atas perkembangan terbaru dunia jurnalistik (dengan referensi utama pada praktek di Amerika Serikat), yang rasanya pembaca di berbagai belahan dunia lain juga cocok membacanya.

Judul awal buku ini sudah sangat jelas, Blur, merujuk pada leburnya batas-batas antara informasi, iklan, komodifikasi, sensasi, gosip, dan berita bohong. Dunia di sekitar kita kini penuh dengan banyak sekali hal "yang seolah-olah berita" dan kita dibombardir dengan segala informasi itu, baik dari media massa konvensional maupun jejaring social media, yang sering menghasilkan berita tersendiri (ada beberapa media yang sekarang rajin membicarakan aneka status atau komentar para selebritas lewat jejaring sosial mereka, lewat Facebook atau Twitter).

Dua penulis ini rupanya sangat gelisah atas fenomena "tsunami informasi" itu. Buku ini mereka tawarkan untuk tetap memelihara kewarasan, skeptisisme yang cukup, serta cara berpikir jernih untuk tetap survive dalam dunia penuh informasi. Sebenarnya kondisi ini ironis. Buku-buku standar ilmu komunikasi akan mengatakan salah satu fungsi media yang ada, selain fungsi informasi, hiburan, atau pendidikan, adalah membuat manusia survive dengan informasi yang ia miliki dalam menjalani kehidupan. Istilah Kovach dan Rosenstiel di buku Sembilan Elemen Jurnalisme adalah manusia cenderung ingin tahu atas apa yang terjadi di balik bukit. Dengan tahu perkembangan itu, informasi akan membuatnya tetap hidup, dan berkembang.

Tapi sekarang persoalannya justru terbalik. Kita sebagai konsumen media (konvensional ataupun jejaring media sosial) harus bisa survive di tengah kepungan informasi yang datang dari berbagai arah. Persis gambar tentang tsunami (banjir besar), yang mengingatkan kita bahwa air yang secukupnya akan memudahkan hidup manusia (untuk minum, mandi, makan, mencuci, dan lain-lain). Tapi, ketika datang dalam volume yang sangat besar (tsunami di Aceh pada akhir 2004, misalnya), air itu menjadi bencana tersendiri. Manusia harus bisa survive dalam kedua kondisi itu.

Kovach dan Rosenstiel mengajukan sejumlah problem agar konsumen media survive dalam kondisi saat ini. Pertama, bagaimana cara kita memverifikasi informasi yang datang pada kita? Problem lain, apakah berita yang kita terima itu telah komplet? Persoalan lain: dari mana sumber berita itu? Lalu persoalan lain lagi: apa bukti atas verifikasi yang kita lakukan?

Dalam dunia ketika pengirim berita tak lagi monopoli para juru warta, persoalan dasar yang menyangkut siapa yang membuat "berita" jadi diskusi menarik. Istilah citizen journalist juga masuk dalam kerangka ini: bagaimana kita bisa mempercayai berita yang datang pada kita, dari mana pun asalnya (baik itu wartawan profesional maupun orang yang kebetulan lewat dan membawa alat-alat komunikasi untuk menyampaikan citizen news)? Dunia jurnalistik mengenal metode verifikasi untuk memeriksa kebenaran berita. Tapi tak semua konsumen media paham metode ini, dan kerap ini justru jadi jebakan untuk menggulirkan berita yang sebenarnya belum terverifikasi.

Masih menyangkut masalah siapa yang membuat berita, kita juga akan bisa mempertimbangkan, jika ada berita yang muncul dari suatu sumber, apa motif yang ada di belakangnya? Kita menemukan contoh bagus belakangan ini di Indonesia ketika mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dalam masa pelariannya membombardir media di Indonesia (melalui telepon khusus, melakukan percakapan via Skype, mengirim pesan lewat BlackBerry Messenger) dengan aneka informasi yang membuat orang terkaget-kaget (sebagian orang Partai Demokrat malah belingsatan).

Kita pun diingatkan akan peran banyak pihak yang justru sengaja melakukan disinformasi, yaitu cara penyampaian data yang seolah-olah informasi kepada khalayak, padahal di dalamnya mengandung kebohongan. Menteri penerangan pemerintah Nazi Jerman, Joseph Goebbels, pernah mengatakan kebohongan yang diomongkan terus-menerus lama-lama akan dirasa sebagai suatu kebenaran. Kita ingat dengan istilah spin doctor atau "tukang pelintir informasi", yang banyak dilakukan sejumlah orang atau institusi atau menjadi suatu profesi tersendiri dalam dunia politik modern saat ini. Makna pelintir atau spin doctors itu sama saja. Mereka adalah tukang propaganda.

Persoalan lain, apakah berita yang datang pada kita sudah komplet? Panduan dasar aneka buku pegangan jurnalistik bertumpu pada pendekatan 5-W 1-H (who, what, when, where, why, dan how) untuk memeriksa kelengkapan berita. Tapi duo penulis yang terlibat dalam kelompok Project for Excellence in Journalism ini menambahkan satu elemen lagi: yaitu elemen "Q" (question raised—pertanyaan terkait). Maksudnya, memeriksa kelengkapan berita harus dilihat juga dalam konteks yang lebih besar: apakah ada pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul karena berita itu? Bagaimana menjawab pertanyaan yang bakal muncul. Itulah konsep baru yang ditawarkan dua penulis ini kepada kita.

Buku ini sangat relevan untuk dibaca kalangan luas, tak hanya para jurnalis penghasil berita—publik, konsumen media, juga para narasumber wartawan. Dunia ini telah banyak diisi dengan pelbagai spekulasi yang kerap makin sulit dibedakan antara mana informasi dan mana yang disinformasi. Buku ini mungkin bisa menjadi landasan untuk tetap memiliki kekritisan dalam mengarungi badai tsunami informasi.

Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan di Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus