Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Sengkarut Pengelolaan di Tapak

Pengelolaan hutan di tingkat tapak berubah sejak berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Kegiatan KPH menanam tumbuhan pada kawasan Hutan Lindung Damarwulan, Ambungan, Kalimantan Selatan, September 2021. kmisfip2.menlhk.go.id
Perbesar
Kegiatan KPH menanam tumbuhan pada kawasan Hutan Lindung Damarwulan, Ambungan, Kalimantan Selatan, September 2021. kmisfip2.menlhk.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan mengalami reduksi peran hanya sebagai fasilitator.

  • Penerbitan Perpu Cipta Kerja dianggap tak memperkuat tata kelola karena berwatak sama dengan UU Cipta Kerja.

  • Ada berbagai pasal yang dianggap rawan untuk lingkungan.

BERLAKUNYA Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja membuat semangat Salim Jundan menurun. Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Wilayah II Lalan Mangsang Mendis di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Bayuasin, Sumatera Selatan, itu merasa tak relevan lagi berbicara mengenai berbagai program kerja yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Parahnya lagi, Presiden Joko Widodo malah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 atau Perpu Cipta Kerja yang tak membawa perubahan.

Kewenangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) kini, ujar Salim, hanya sebagai fasilitator dan administrator. “KPH saat ini hanya unit pelaksana tugas daerah yang secara administratif berada di bawah dinas kehutanan provinsi. Kemandirian KPH sebagai sebuah entitas untuk mengelola hutan sudah tak ada,” ucapnya. Padahal, menurut Salim, berbekal kemandirian itu, KPH mampu berkontribusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Landasan pembentukan KPH adalah Undang-Undang Kehutanan Tahun 1999.

Reduksi kewenangan KPH ini berpangkal dari Undang-Undang Cipta Kerja yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Di dalam peraturan itu, meski disebutkan KPH bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi perencanaan, pengelolaan, hingga pengendalian dan pengawasan, wewenangnya dalam pengelolaan atau pemanfaatan hutan dibatasi sekadar melaksanakan fasilitasi.

Pasal 123 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 menjabarkan tugas dan fungsi organisasi KPH yang sebagian besar adalah melakukan fasilitasi. Hal itu dari pemfasilitasan inventarisasi hutan, perlindungan dan pengamanan hutan, fasilitasi untuk mendukung perhutanan sosial, melaksanakan fasilitasi pemantauan dan evaluasi atas kegiatan pengelolaan hutan, hingga melaksanakan fasilitasi kegiatan dalam rangka ketahanan pangan dan energi. Tak ada satu pun yang menyatakan KPH bisa secara mandiri melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. 

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 itu membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, organisasi KPH memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta rehabilitasi dan perlindungan konservasi alam. Selain itu, KPH bertugas menjabarkan kebijakan kehutanan nasional hingga kabupaten/kota untuk diimplementasikan dan melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.

Tugas KPH lain yang dibatalkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 adalah melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya dan membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Tugas pemantauan dan penilaian itu menjadi pemantauan dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian. Namun, menurut Salim, tugas dan fungsi tersebut tak dapat dijalankan secara maksimal oleh KPH. 

Ia menjabarkan saat ini pengelolaan dan pemanfaatan hutan hanya dapat dilakukan melalui perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan perhutanan sosial. “Sementara semua kewenangan diresentralisasi atau ditarik lagi ke pusat, semua proses yang ditempuh oleh pemilik izin PBPH dilakukan melalui self assessment,” tutur Salim. “Ketika KPH melakukan pemantauan, format dan mekanisme penyampaian hasil pemantauan itu belum diformulasikan hingga saat ini,” katanya. Walhasil, fungsi pemantauan tak bisa berjalan.

Secara prosedural, dia menerangkan, hasil pemantauan dapat disampaikan kepada dinas kehutanan tingkat provinsi. Persoalan lain, dinas kehutanan tak memiliki wewenang bertindak apabila terdapat temuan indikasi penyimpangan pada pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemilik izin. “Catatan dari KPH pada akhirnya hanya menjadi sebatas catatan. Kami tak pernah tahu seberapa besar pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pusat,” ujar Salim. 
 
Selain Salim, Kepala KPHP Barito Hulu Unit V Rudy Candra Utama menyinggung tentang beberapa rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang telah dirancang pada 2017 tapi tak dapat dilaksanakan setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya menyiapkan lahan seluas 20 ribu hektare untuk kepentingan stok karbon nasional. “Tutupan hutannya masih sangat bagus dan belum ada beban izin di atasnya. Ini selaras dengan agenda-agenda besar Indonesia di sektor kehutanan untuk mencegah krisis iklim. Selaras dengan FOLU Net Sink 2030,” katanya.

Namun rencana itu bubar jalan karena KPH tak lagi memiliki kuasa untuk mengelola hutan. Selain menyiapkan area penyimpanan karbon, KPHP Barito Hulu Unit V bersama pemerintah daerah sedang menggodok peraturan daerah yang memungkinkan adanya peningkatan kontribusi pendapatan asli daerah dari sektor kehutanan. Upaya ini pun terpaksa berhenti.

Guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Agus Setyarso, menyebutkan tata kelola hutan saat ini seolah-olah menghilangkan fungsi KPH sebagai wali negara di tingkat tapak. Ia mengatakan ada dua “roh” yang melekat pada KPH. Yang pertama, tutur dia, adalah menjadi wali negara di tingkat tapak dan yang kedua adalah entitas yang bertanggung gugat terhadap aksi di lapangan untuk mengelola hutan.

Agus menjelaskan, di tingkat tapak, tak ada satu pun entitas yang menjalankan fungsi pengelolaan hutan kecuali KPH. “Sudah lama dinas kehutanan tidak mengelola hutan, sementara pemegang izin usaha pemanfaatan hanya mengusahakan hasil hutan, bukan mengelola hutan,” ujarnya. Menurut dia, mengelola hutan berarti bertanggung gugat mengelola daerah aliran sungai, memaksimalkan potensi kelola hasil hutan bukan kayu, melindungi keanekaragaman hayati, dan menjamin setiap pohon yang ditebang ditanami lagi.

Sebagai wali negara di tingkat tapak, kata Agus, KPH juga menjadi pintu pertama yang dapat didatangi oleh warga ataupun pelaku usaha ketika terjadi persoalan dalam pengelolaan hutan. Dengan begitu, para pihak yang berkepentingan tak perlu datang ke Jakarta hanya untuk mengadukan persoalan. “Karena itu, pemegang izin wajib tunduk dan menghormati KPH. Jika ditemukan pengelolaan yang tidak lestari, KPH bisa menentukan tindakan atas temuan-temuan pelanggaran itu,” ucapnya. 

Agus menjabarkan, kebutuhan tata kelola di tingkat tapak bukan sekadar kemudahan prosedur berinvestasi dan memanfaatkan hasil hutan. “Prinsip sebuah kebijakan adalah melayani kebutuhan dan harus ada instrumen pelaksana yang kuat, mencakup kewenangan, kelembagaan, pendelegasian, dan pengembangan kapasitas,” ujarnya. Ia mengatakan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, pemegang perizinan diberi kewenangan multiusaha tanpa mempertimbangkan risiko besar di sektor hulu yang harus dikelola.

Selain itu, dia menerangkan, ada aspek pengendalian rantai nilai yang juga mesti dikelola. “Misalnya kayu, si penanam kayu mendapatkan nilai 10-15 persen, pabrik mengambil 20-30 persen, industri hilir mengambil 50-100 persen, eksportir mengambil 100-200 persen. Dengan beban di hulu yang besar, dari deforestasi, pelepasan karbon, sampai pembalakan ilegal, nilai yang besar justru dinikmati oleh sektor hilir,” ucapnya. Karena itu, kata Agus, KPH harus dapat berperan optimal untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus