BELUM lama berselang, masalah limbah rumah sakit ramai dibicarakan di Jakarta. Lain halnya di Surabaya. Kota yang pernah gempar gara-gara kasus AIDS itu, diamdiam mempersiapkan alat pengolah limbah rumah sakit yang benar-benar canggih. Pemiliknya adalah RS Dr. Soetomo. Alat ini sudah dapat dirasakan manfaatnya, sejak dua pekan silam. Selain berfungsi sebagai pengolah limbah, alat itu juga mampu mencegah berkembangbiaknya aneka jenis penyakit. Karena multiguna, manfaatnya tak hanya bagi pasien rumah sakit, tapi juga bagi masyarakat sekitarnya. Merupakan sebuah unit pengolah limbah cair, alat itu didirikan di atas tanah seluas 800 meter persegi. Kapasitasnya cukup besar sehingga penduduk, yang bertempat tinggal di sekitar rumah sakit milik pemda itu, tak perlu mengkhawatirkan limbah cair keluaran Dr. Soetomo. Menurut Direktur rumah sakit, Karijadi, pembangunan alat ini merupakan bukti bahwa mereka menomorsatukan kesehatan, baik di dalam maupun di lingkungan sekeliling rumah sakit. Sebelum pengolah itu berhasil diwujudkan, RS Dr.Soetomo harus melalui jalan panjang. Tak percaya? Pengelola rumah sakit dengan kapasitas 1.500 tempat tidur ini, harus bersabar hampir sepuluh tahun lamanya. Tak heran, kini, mereka begitu membanggakannya. Mahyaranto, kepala Bagian Instalasi Pemeliharaan Sarana RS Dr. Soetomo menyatakan bahwa pengolah limbah tersebut adalah yang termodern di Indonesia Bagian Timur. Biaya pembangunannya hampir Rp 830 juta, diambil dari dana APBN, APBD, dan dari rumah sakit sendiri. Dengan biaya sebesar itu, diharapkan limbah cair yang bersifat infeksius, misalnya dari sisa obat cair, tak lagi menjadi sarana penular penyakit. Dengan melalui tiga proses (mekanis, biologis, dan kimia), kadar BOD (Biological Oxygen Demand ) atau kadar organik terlarut dapat diturunkan sampai di bawah 30 miligram tiap liternya. Ini sesuai dengan standar Departemen Kesehatan. Alat ini, yang diresmikan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Harin Wasisto, membuat RS Dr. Soetomo masuk dalam jajaran rumah sakit di Indonesia, yang mengindahkan aspek lingkungan. Menurut Dirjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, Brotowasisto, dari sekitar 1.500 rumah sakit pemerintah dan swasta seluruh Indonesia, sekitar 18 buah (4 buah kelas A dan sisanya kelas B) yang sudah memikirkan masalah ini. Itu pun, tak semuanya sudah membangun unit pengolah limbah secanggih Dr. Soetomo. Yang diwajibkan oleh Departemen Kesehatan adalah pembuatan Amdal (Analisa mengenai Dampak Lingkungan) dan unit pengolah kotoran. Yang kemampuannya seperti Dr.Soetomo, hanya beberapa. Seperti RSU Tuntungan di Medan dan RS Harapan Kita di Jakarta. Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, yang sudah berdiri puluhan tahun saja, baru tahun lalu memiliki alat pengolah limbah. Sebelumnya, limbah cair hanya ditampung dalam septic tank, sebelum dibuang ke sungai. Kini, walau tak secanggih alat milik Dr. Soetomo, RSCM juga sudah memiliki unit pengolah limbah cair. Tahun lalu, rumah sakit ini juga memiliki incenerator (unit pembakar), hadiah dari gubernur DKI. Alat ini digunakan untuk membakar sampah padat rumah sakit seperti sisasisa dapur. Sayang, alat ini tak dapat menampung seluruh limbah padat rumah sakit. Terpaksa, sebagian harus diangkut dengan truk sampah Pemda pada pagi hari. Kalau siang, sampah menumpuk di bagian belakang rumah sakit dan menjadi tempat mencari nafkah para pemulung. Padahal, terlihat juga bekas suntikan dan bekas infus di selasela sampah dapur itu. Limbah yang lebih berbahaya adalah limbah padat infeksius. Termasuk dalam jenis ini potongan organ tubuh, perban, kapas, dan obat-obatan. Rumah sakit kelas C atau klinik kecil umumnya tak mempunyai tempat pembakaran limbah seperti ini. Limbah hanya dikubur di halaman. Padahal, limbah ini memungkinkan terjadinya penularan penyakit. Dalam perkara limbah, pengelola rumah sakit dan kalangan industri menghadapi kesulitan yang sama. Kesulitan itu namanya, uang. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur Soenarso, penanganan limbah harus dibangun serentak dengan pendirian rumah sakit. Untuk rumah sakit yang dibangun pada zaman Belanda, jelas memerlukan biaya pembenahan yang tak kecil. Walau mahal, tak berarti Departemen Kesehatan tinggal diam. Tahun ini, departemen ini mengalokasikan dana pembangunan unit pengolah limbah di 17 RSU di Sumatera Utara. "Kami prioritaskan bagi rumah sakit yang besar dan sudah lama berdiri," kata Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, Hadisantoso, pada Munawar Chalil dari TEMPO. Untuk mengatasi anggaran yang seret, Dinas Kesehatan Sumatera Utara mencoba membina beberapa rumah sakit swasta. Kini, ada sebuah perusahaan swasta yang bekerja sama dengan Okayama Institut (Jepang), untuk menangani dan merencanakan pembangunan sebuah secondary treatment untuk limbah padat dan cair. Dana pengelolaan dipungut dari iuran wajib tiap rumah sakit yang limbahnya diolah. Usaha seperti ini pantas dicontoh Dinas Kesehatan provinsi lain. Soalnya, limbah rumah sakit perlu mendapat perhatian serius. Tahun ini, rumah sakit menjadi salah satu obyek penanggulangan pencemaran lingkungan. Limbah tinjanya akan diamati dalam Program Kali Bersih (Prokasih). Untuk limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang berasal dari bekas-bekas obat dan bahan kimia tak terpakai, akan dikontrol melalui Program Pengendalian B3. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini