Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Seruan Restorasi dari Kali Code

Kali Code yang dulu kumuh dan kotor kini lebih bersih dan tertata. Kalangan akademikus dan aktivis sungai mengkampanyekan Gerakan Restorasi Sungai Indonesia.

3 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPUNG Code di bawah Jembatan Gondolayu, Yogyakarta, seperti labirin di bantaran sungai. Gang sempit berliku diselingi undakan beton curam seakan-akan membelit rumah-rumah yang berimpitan. Di tengah sesaknya permukiman, Ariyanto masih bisa menikmati pemandangan Kali Code yang resik dari teras rumahnya sembari menyesap teh hangat setiap pagi.

Dari beranda rumahnya yang terletak di ketinggian sekitar tujuh meter, aliran air sungai yang membelah Kota Yogyakarta dari utara ke selatan itu terlihat jelas. "Dulu tak seperti ini karena sungai sangat kotor dipenuhi sampah," kata Ariyanto saat ditemui Tempo di rumahnya, Selasa pekan lalu.

Ariyanto tahu betul perubahan Kali Code. Dia tinggal di bantaran sungai tersebut bersama keluarganya sejak 1979. Sebagian besar penghuni di sana, kata pria 43 tahun itu, adalah gelandangan dan pemulung. Rumah-rumah dari kardus dan kayu memenuhi bantaran sempit dan curam. Permukiman yang semrawut dan ketidakpedulian para penghuni terhadap kebersihan membuat Kali Code kotor. Kondisi itu berlangsung selama bertahun-tahun.

"Orang mau buang sampah tinggal lempar saja ke sungai," kata ayah dua anak itu.

Air Kali Code yang hitam dan penuh sampah itu juga membuat miris Agus Maryono, 51 tahun. Kala itu, 14 tahun lalu, Agus baru saja pulang dari Jerman setelah merampungkan program doktoral bidang hidrologi, khususnya restorasi sungai, di Universitas Karlsruhe (kini Karlsruhe Institute of Technology). Dia melihat masyarakat sekitar sungai tidak peduli dan membuang apa saja ke badan sungai. Beragam limbah domestik, dari sisa sayuran, kantong plastik, hingga rongsokan perabotan rumah tangga, berenang di sungai itu.

"Saya iba sekali melihat Code. Padahal dulu pada 1970-an orang bisa menyelam di Kali Code. Tapi sejak 1980-an tidak bisa lagi. Tidak ada orang yang mau bermain di Kali Code karena sampah yang menggunung," kata pakar ekohidrologi sungai dari Universitas Gadjah Mada ini.

Gerakan memperbaiki pola hidup masyarakat bantaran Kali Code dirintis Romo Y.B. Mangunwijaya pada awal 1980-an. Budayawan yang juga seorang pastor itu mengajar dan mendampingi para penghuni bantaran sungai. Permukiman dan lingkungan bantaran mulai ditata. "Dia membantu menyelesaikan isu-isu sosial, termasuk kumpul kebo, yang dulu marak di sini," kata Ariyanto, yang merupakan anak didik Romo Mangun.

Setelah Romo Mangun meninggal pada 1999, gerakan merehabilitasi kampung di bantaran sungai itu terus berjalan. Tapi tak mudah meyakinkan para penghuni untuk tetap menjaga kebersihan sungai. Kemiskinan dan minimnya pendidikan, kata Ariyanto, membuat para penghuni tak peduli terhadap masalah Kali Code yang kotor. "Perlu tiga tahun untuk meyakinkan mereka agar menjaga kebersihan," katanya.

Agus juga melakukan pendekatan perlahan-lahan ke penghuni bantaran Kali Code. Mulai 2001 ia kerap mendatangi satu per satu ketua rukun tetangga untuk melakukan sosialisasi dan penjelasan tentang perlunya menjaga sungai. Setahun berjalan, upaya Agus bersama Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Lingkungan Hidup Daerah itu mulai membuahkan hasil. Warga mulai bisa diajak bekerja bakti membersihkan sungai.

Pada 2004, berkat kegigihan Agus dan koleganya merestorasi sungai, bermunculan komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran kali, seperti Gerakan Cinta Code, Forum Masyarakat Code Utara, dan Forum Masyarakat Code Selatan. Ketiga organisasi ini kemudian melebur menjadi Pemerti Code pada 2008. Kemudian berdiri pula Forum Kali Winongo Asri (FKWA) dan Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Gajah Wong (Forsidas Gajah Wong) pada 2009.

Gerakan restorasi sungai menyebar ke seantero Yogyakarta. Gerakan yang tadinya hanya berpusar di sekitar tempat tinggal penghuni bantaran kini mulai terkait satu sama lain. Ariyanto mengatakan para komunitas tengah mengembangkan kerja sama restorasi sungai dari hulu ke hilir. "Cara paling efektif membujuk warga merawat sungai adalah dengan contoh langsung, kitalah dulu yang harus memulainya sebelum mengajak mereka," kata Ariyanto, yang kini menjadi Bendahara Pemerti Code.

Wakil Ketua Komunitas Pelestari Sungai Kuning, Agustinus Irawan, mengatakan sungai yang bersih menggambarkan kesehatan ekosistem di sekitarnya. "Indikator sungai bagus itu bisa dilihat dari keberadaan capung, serangga, ikan-ikan kecil yang menunjukkan kualitas udara dan air yang bersih," kata Irawan di sela acara Temu Gerakan Komunitas Sungai Indonesia di Yogyakarta, yang bertepatan dengan Hari Sungai Nasional, Senin pekan lalu.

Menurut Irawan, komunitas sungai juga punya peran menjadi pengawas proyek pembangunan yang berpotensi mengancam kelestarian sungai. "Mulai dari rumah sampai bangunan besar seperti kampus dan rumah sakit kalau tidak hati-hati limbahnya bisa masuk jalur air dan berujung ke sungai," kata Irawan, yang ikut merintis Komunitas Kali Kuning hingga akhirnya diresmikan di depan notaris pada Juni lalu.

Merawat sungai di Yogyakarta, kata Irawan, juga membantu meminimalkan risiko bencana. Sungai-sungai yang membelah kota itu berhulu di Gunung Merapi dan merupakan jalur aliran lahar dingin. Perubahan sempadan dan adanya bangunan yang menjorok ke sungai bisa berdampak buruk jika terjadi bencana. Warga di sekitar Sungai Kuning menggagalkan usaha pengembang proyek yang ingin meluruskan kelokan sungai agar bangunannya tak tergerus air. "Sungai memang seharusnya berkelok karena bisa meredam kekuatan arus air dan juga aliran lahar dingin dari Merapi," katanya.

Gerakan mengajak masyarakat menjaga sungai tak berhenti di Yogyakarta. Pada awal 2015, Agus menggagas Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (Gerakan RSI). Gerakan ini menempatkan masyarakat yang butuh sungai agar peduli terhadap masa depan sungai. "Ini murni gerakan masyarakat. Karena, kalau diprogramkan pemerintah, biasanya tidak jalan," ujarnya.

Agus meyakini, dengan atau tanpa bantuan pemerintah, masyarakat bisa menjaga dan melestarikan sungai dengan baik. Hal itu bisa dilihat dari jumlah sampah yang terus berkurang dan perubahan citra sungai dari menjijikkan menjadi ramah lingkungan. "Dulu mana mau orang main air di sungai. Sekarang, di Winongo, sudah sering main air pakai ban itu dijadikan hiburan," kata Agus.

Tokoh Kali Code, Totok Pratopo, mendukung Gerakan Restorasi Sungai Indonesia yang digulirkan Agus. "Karena gerakan ini sangat berperan menjaga Code," kata pria yang ikut menginisiasi Komunitas Pemerti Code sejak 2008 ini. Menurut Totok, pertemuan berbagai komunitas sungai di Yogyakarta pada Senin pekan lalu juga bertujuan merumuskan gerakan baru pelestarian sungai. "Semuanya akan dimatangkan di Kongres Sungai Nasional di Banjarnegara, Jawa Tengah, Agustus nanti," ujarnya.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta Joko Wuryantoro menyatakan Gerakan RSI membantu kerja pemerintah memperbaiki kondisi sungai. "Kalau tidak ada mereka, kami juga kesulitan," katanya. Menurut dia, perawatan dan perbaikan sungai sulit dilakukan pemerintah daerah karena wewenang dan kebijakan pengelolaan sungai dilakukan pemerintah pusat. "Kami di daerah fungsinya hanya mengawasi dan memberikan rekomendasi tindakan."

Permasalahan sungai di Indonesia, kata Joko, bukan sekadar membersihkan sungai. "Ada banyak aspek dari hulu sampai hilir. Misalnya lebar sungai, lebar palung, tebing, dan lainnya, sampai sekarang master plan-nya belum ada," ujarnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan kondisi sejumlah daerah aliran sungai di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Ada 15 daerah aliran sungai, di antaranya kawasan Ciliwung, Cisadane, Citarum, Serayu, dan Solo Brantas, yang menjadi prioritas kementerian untuk segera dipulihkan. "Kami membutuhkan masyarakat di sekitar sungai untuk membantu merestorasi sungai," kata Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung KLHK.

Penataan wilayah bantaran sungai dan pemberdayaan masyarakat, kata Hilman, menjadi kunci penting gerakan restorasi. Konsep sungai sebagai pekarangan seperti yang dilakukan komunitas di Kali Code membuat masyarakat sadar akan pentingnya kebersihan. "Rumah itu seharusnya memang menghadap ke sungai, bukan memunggunginya. Jadi, ketika sungainya kotor, pasti tidak enak dilihat dan segera dibersihkan," katanya.

Menurut Hilman, pemerintah terus mengawasi kawasan sepanjang daerah aliran sungai. Restorasi sungai tidak akan sempurna jika hanya bagian tertentu yang diperhatikan. Pemerintah juga telah bekerja sama dengan 179 perguruan tinggi negeri. "Dari hulu sampai hilir harus diperhatikan, karena sungai adalah aset, bukan beban manusia," katanya.

Koordinator Forum Kali Winongo Asri, Endang Rohjiani, menyatakan gerakan menjaga sungai sulit dilakukan tanpa dukungan masyarakat, pemerintah, dan kalangan kampus. Dia mengaku komunitasnya mendapat dukungan dari Universitas Gadjah Mada dan kampus lain di Yogyakarta dalam menjalankan kegiatannya.

Salah satu gagasan yang diperjuangkan komunitas adalah terwujudnya ruang terbuka hijau. Kawasan ini bisa dijadikan sebagai tempat bersosialisasi berbagai kegiatan masyarakat. "Di sini bantaran sungai masih alami, jadi bentuknya belum seperti kanal," kata Endang. Ibu rumah tangga ini mengaku ikut menggagas Gerakan Restorasi Sungai Indonesia. "Gerakan dari Yogyakarta ini diharapkan bisa menjalar ke seluruh Indonesia," ujarnya.

Gabriel Wahyu Titiyoga, Ali Nur Yasin, Muhammad Rifqy Fadil, Pribadi Wicaksono


Petuah Budaya Sungai Bersih

TAK mudah meyakinkan masyarakat untuk ikut menjaga dan merawat sungai. Hal itu dialami Agus Maryono ketika mendatangi satu per satu ketua rukun tetangga melakukan sosialisasi tentang perlunya menjaga kebersihan sungai. Agus mencari trik agar usahanya yang dimulai pada 2001 itu tidak gagal di tengah jalan.

Untuk menarik perhatian warga yang didatangi, Agus kerap menjadi dalang wayang punakawan yang bercerita tentang sungai. "Saya jadi dalang amatiran. Wayangnya juga tanpa gamelan. Saya jadi Petruk dan Gareng yang menyampaikan pesan Semar tentang pentingnya menjaga sungai. Ini sebagai pengantar biar menarik," ujar pakar ekohidrologi sungai dari Universitas Gadjah Mada itu saat dihubungi Tempo, Kamis dua pekan lalu.

Kegiatan budaya, menurut Agus, ternyata bisa mengikat masyarakat di sekitar Kali Code untuk menjaga sungai tetap bersih. Sejak 2004, masyarakat dan komunitas sungai menggelar acara tahunan Merti Code. Mereka melakukan kirab budaya di sepanjang Kali Code. Ada juga ritual adat pengambilan air dari tujuh sumber mata air di Kali Code. Selanjutnya, air itu didoakan oleh masyarakat.

Ariyanto mengatakan acara tahunan Merti Code adalah ajakan agar masyarakat tetap ingat merawat sungai. Selain mengadakan kirab, mereka menggelar pertunjukan wayang dan gunungan. "Masyarakat bersemangat memelihara sungai karena mereka tinggal di sekitarnya dan merasa memiliki," kata Ariyanto, yang tinggal di bantaran Kali Code sejak 1979.

Masyarakat di bantaran Kali Code semakin bersemangat karena pemerintah dan Kesultanan Yogyakarta mendukung usaha mereka merawat sungai. "Ada tombak yang diberikan Sultan sebagai tanda kampung di Kali Code diakui," kata Ariyanto, yang tergabung dalam Komunitas Pemerti Code. "Tombak itu juga kami arak pada saat kirab."

Pada 2008, Agus dan komunitas Pemerti Code menggagas Sumpah Nol Sampah Sungai Code 2010. Sumpah yang dilakukan oleh tujuh pemuka masyarakat sungai itu mengajak warga bantaran Kali Code mengkampanyekan Code bebas sampah dengan melakukan kerja bakti secara terus-menerus sejak 2008 hingga 2010. Sayangnya, aksi ini tersendat lantaran letusan Merapi disertai banjir lahar dingin. Butuh dua tahun untuk mengembalikan kondisi sungai akibat lahar dingin.

Sri Yekti Sadarmi, warga Kampung Code, mengatakan kondisi bantaran dan sungai saat ini jauh lebih baik. "Dulu itu kotor dan penghuni kampung sebagian besar gelandangan," kata Sri, yang menetap di bantaran Kali Code sejak 1987. Kini perumahan padat di Kampung Code tampak resik. Dinding bangunan dicat beragam warna mencolok serta dihiasi mural berisi pesan moral untuk belajar dan menjaga sungai.

Kampung yang dihuni 67 keluarga itu kini memiliki masjid, kamar mandi umum, balai pertemuan, perpustakaan, septic tank komunal, sistem pengairan, dan listrik. Beberapa penghuni juga membangun kolam untuk beternak ikan mas dan lele di tepi sungai. Menurut Sri, masyarakat kampung itu sudah paham untuk selalu menjaga kebersihan sungai yang mereka anggap sebagai teras rumahnya. "Kalau sungainya kotor, rumah kami jadi jelek," ujarnya.

Gabriel Wahyu Titiyoga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus