Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sesajen, kucing dan istisqa

Macam-macam upacara di beberapa daerah untuk meminta hujan. majelis ulama indonesia menghimbau umat islam melakukan sholat istisqa. (ling)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA sumur kering, sungai menyusut, dan sawah hanya tanah retak, apakah yang akan mereka lakukan? Mungkin mereka mengundang Dewa Wisnu seperti yang terjadi di Danau Gampingan, Bali. Akhir Agustus, mereka melangsungkan suatu upacara tradisional meminta hujan yang disebut neduh. Dipimpin oleh seorang pemuka agama (Hindu Bali), sejumlah krama subak (para petani) berdoa bersama sambil melabuh sesajen ke danau. Di daerah Cianjur, Jawa Barat, upacara meminta hujan lebih ramai. Terutama di Desa Puncakwangi, Kecamatan Sindangbarang, penduduk berjalan menuju Sungai Cisokan. Sejauh sekitar 3 km, arak-arakan itu tidak menghiraukan teriknya matahari. Mereka melagukan syair-syair Sunda Buhun (kuno), sementara bumbung bambu ditabuh oleh tujuh pemuda berpakaian hitam -- pakaian petani. Di baris terdepan, dua orang menari. Seorang di antaranya memikul keranjang berisikan seekor kucing berbulu belang tiga. Setibanya di tepi sungai yang berlubuk, arak-arakan berhenti. Kemudian Said, kepala adat, menjajarkan semua sesaji yang dibawa (seperangkat sirih-pinang, bubur merah-putih, rujak pisang, kelapa muda, kunyit, kopi, cerutu, bunga tujuh rupa, dan kemenyan) di pinggir sungai. Kemenyan pun dibakar, doa pun dibacakan. Selanjutnya? Kucing berbulu belang tiga itu digendong oleh Said. Tiba-tiba "meooong", kucing dilemparkan ke tengah sungai, diiringi sorak-sorai Tentu saja binatang ini berenang ke tepi. Tapi Said dengan sigap menangkapnya kembali, dan melemparkannya lagi ke tengah sungai. Demikian berulang-ulang. Ku cing itu diistirahatkan setelah ia tak mampu lagi mengeong. Sementara sang kucing dijemur, semua orang membuka bekal yang sengaja dibawa dari rumah. Upacara pun usai. "Erangan kucing, binatang kesayangan Nabi Muhammad, itulah yang diharapkan mengetuk Yang Maha Kuasa agar mendatangkan hujan," tutur seorang penduduk. Sebranan, upacara khas Kediri, Jawa Timur, biasanya dilangsungkan pula di pinggir sungai, tapi tidak melibatkan kucing. Hanya ada satu joli penuh dengan sesaji, yang diarak lewat pinggir sungai. Di Tuban, masih di Jawa Timur, upacara memanggil hujan disebut widaren, yang diselenggarakan di Telaga Petiarjo. Di telaga itu, menurut kepercayaan setempat, Joko Tarub mencuri pakaian Bidadari Nawangwulan. Dalam suatu musim kemarau, menurut cerita orang Banyumas, Sunan Amangkurat dari Mataram pernah lari dikejar Trunojoyo, kemudian bersamadi di pinggir Sungai Serayu beserta pengikutnya yang setia, memohon hujan. Maka begitu kini upacara di Banyumas. Tentu saja tanpa seorang sunan, upacara itu disebut kandegan (dari bahasa Jawa mandeg -- artinya berhenti). Di Gunung Kidul, Jawa Tengah, upacara minta hujan mirip di Cianjur. Tapi orang Gunung Kidul tidak melemparkan kucing ke sungai. Mereka hanya menikahkan dua ekor kucing, Satu berbulu putih mulus, satu lagi berbulu bintik-bintik. Dua sejoli itu diarak keliling desa, lantas kedua kepalanya disiram air kembang setaman, sambil sang pawang -- yang memimpin upacara -- membacakan doa. Baru kemudian tiga perawan menari. Disebut bedayan, tarian ini menggambarkan awan-awan yang terbang melayang, yang diharapkan menjelma menjadi hujan. Di daerah Trenggalek dan Ponorogo -- Jawa Timur -- ada pula sejenis tarian meminta hujan, disebut tiban. Di sini para pemuda desa menari -- saling melecut 'lawan' dengan cambuk dari lidi pohon enau. Ujungan, demikian cambuk itu disebut, konon menyimbolkan petir. Bila di Irian Jaya penduduk menebangi pohon hingga lelah, mereka pun sedang mengadakan upacara meminta hujan. Pohon itu mereka buat menjadi keping-kepingan kecil, lalu dibakar. Asap yang membumbung ke langit, kata mereka, akan memancing turunnya hujan. Upacara ini baru-baru ini berlangsung di Lembah Baliem, misalnya. Tanpa ini-itu, Majelis Ulama Indonesia menghimbau umat Islam agar melakukan salat istisqa (minta hujan). Dan Sabtu lalu, di lapangan terbuka kampus IKIP Bandung salat itu dilakukan. "Kemarau yang kering merupakan ujian dari Tuhan," kata khatib H. Muchsin di sana. "Kalau sudah begitu, kepada siapa lagi kita meminta pertolongan, selain kepadaNya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus