Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ujian di tengah musim

Kemarau tahun ini diwarnai dengan berbagai musibah kekeringan, lahan persawahan mengalami puso, hutan terbakar, dan air bersih makin sulit. (ling)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARAU '82 mungkin tidak seganas seperti gambaran Iwan Simatupang dalam novelnya yang berjudul Kering. Tetapi di Lombok Selatan yang luasnya sekitar 2.000 km2, alam pernah ramah. Setiap musim kemarau, lahan pertanian merekah dengan garis pecahannya yang meliuk-liuk macam lukisan abstrak. Di seantero pandangan, cuma ada warna kuning pertanda kekeringan. Sungai-sungai yang berpusat di utara Gunung Rinjani, bagaikan enggan berbagi air ke selatan. Kelaparan di musim paceklik ini menjadi begitu rutin. Meskipun tidak separah kemarau '76 di kawasan situ, bendungan Batujai yang sedianya mengairi sawah tadah hujan seluas 3.350 ha seakan percuma. "Jangankan melihat air," keluh seorang petani, "dasar dam itu malah sudah tampak dan sudah retak." Batujai di Lombok bukan satu-satunya bendungan korban kemarau '82. Bendungan Sempor, salah satu dari 5 bendungan di Kedu Selatan, Jawa Tengah, sudah ditutup akhir-akhir ini. Airnya tinggal sepertiga saja, dan sekitar 3.000 ha sawah tanahnya sudah sekeras batu. "Sudah 4 bulan ini, sawah kami tidak dapat air," keluh Pak Marto. Sepanjang 6 km dari Gombong menuju Sempor, tak tampak batang padi yang hidup. "Penjaga pintu airnya sekarang sudah kami pindahkan ke bagian administrasi," kata Bambang Sugeng SH, Asisten Umum Proyek Irigasi Kedu Selatan. Walaupun begitu musim kemarau kali ini diperkirakan tak akan berlangsung lama. Juga tidak lebih ganas dari tahun sebelumnya. Diramalkan, dalam November hujan akan turun. "Dan keadaannya masih jauh lebih bagus dari kemarau '72," ujar seorang pejabat Pusat Analisa dan Pengolahan Data, Badan Meteorologi dan Geofisika di Jakarta. Bagi yarlg masih ingat, kemarau '72 (awal April sampai akhir Desember) listrik di Jakarta menjadi byar-pet. Demikian panasnya cuaca, sampai rel kereta-api di Jawa Tengah waktu itu melengkung. Sementara temperatur di Medan mencapai angka yang cukup spektakuler 42øC. Kemarau tahun ini, "temperatur maksimal untuk Jakarta: 33,5øC," ujar pejabat Meteorologi tersebut. Itu cuma terjadi pada tanggal 19 Agustus. "Kalau temperatur sudah di atas 37øC, baru menjadi masalah," tambahnya. Banyak pejabat di Jakarta berpendapat bahwa pengaruh kemarau kali ini tidak begitu besar. Mungkin dalam arti besar kecilnya produksi pangan, sukses atau gagalnya panen. Kecuali Sempor dan Batujai, menurut Menteri Pekerjaan Umum Purnomosidi Hadjisarosa, semua bendungan air masih bisa menyediakan air irigasi persawahan. Kalau toh ada sawah yang puso atau rusak akibat kekeringan, "itu dikarenakan tidak disiplinnya petani akan pola tanam," ujar Menteri Muda Urusan Pangan Ir. Achmad Affandi kepada Saur Hutabarat dari TEMPO. Affandi berpendapat bahwa kekeringan kali ini cuma siklus kering 10 tahunan. Petani sebetulnya sudah mendapat instruksi untuk tidak menggenjot sawahnya dengan 3 kali tanam padi setahun. Terutama untuk lahan yang sangat tergantung pada irigasi atau sawah tadah hujan. Lahan persawahan lainnya yang kena musibah ialah di Jawa Barat. Seluas 53.351 ha kini mengalami kekeringan dan 35.000 ha mengalami puso. Baik Poernomosidi maupun Affandi, keduanya menyatakan bahwa di luar bencana alam (Gunung Galunggung), sebagian besar petani tidak efisien dalam penggunaan air irigasi. Lain halnya kalau memang kawasan itu belum mendapat bagian bendungan air yang sepadan. Di kawasan Jawa Tengah yang paling menderita kali ini, misalnya, diperkirakan ada 51.000 ha lahan pertanian mengalami kekeringan. Hampir 50% dari jumlah tersebut pasti puso. Di Pati, bahkan tanaman kapas 610 ha (lewat Intensifikasi Kapas Rakyat dan tebu menjadi ludas. KESELURUHANNYA untuk Pulau Jawa, Menteri Pertanian Soedarsono memperkirakan ada 125.000 ha yang menderita kekeringan. Separuh dari jumlah tersebut diduga akan puso. Kawasan pertanian di luar Jawa yang tertimpa paling parah ialah di Sulawesi Selatan. Daerah gudang beras (dan berasnya terkenal enak) ini kemungkinan besar tidak bisa memenuhi target pengadaan pangan sebanyak 250.000 ton. Sungai-sungai seperti Saddang, Jeneberang yang ada di Kabupaten Sindrap dan Wajo, terkena erosi. Hulu sungai yang dahulu menjadi sumber air, kini kering. Di samping itu, muncul pula situasi puso akibat pemilihan lokasi yang tidak layak huni bagi transmigran yang ada di Delta Upang, Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir), Sumatera Selatan. Untuk yang pertama, sudah 88% dari 420 ha padi jadi puso, dan yang kedua, 75% dari 1.500 ha puso karena kekeringan. Terbukti, anak Sungai Musi pun kekeringan. "Tetapi kegagalan itu tidak merusak produksi secara keseluruhan," kata Affandi. Menurut dia, semua angka kegagalan -- karena perkiraan kemarau '82 ini -- sudah dimasukkan dalam proyeksi. Salah seorang staf Bagian Statistik Tanaman Pangan dari Biro Pusat Statistik menyatakan bahwa angka normal untuk mencapai kekeringan sawah ada 55.000 ha. Pemerintah telah memperhitungkan hal itu secara regresi, sehingga puso sekitar 26% untuk seluruh kawasan persawahan di Indonesia, cuma mengurangi tingkat produksi 7% saja. "Itu lumrah," ujar pejabat Statistik tadi. Pemerintah tampak masih optimistis produksi beras tahun ini masih menyamai tahun sebelumnya --sekitar 23 juta ton. Meskipun begitu, model musibah dalam kemarau ini cukup banyak. Misalnya di Irian Jaya. Enam kampung di Kecamatan Kurima Barat, Kabupaten Jayawijaya, sejak Mei lalu tidak dapat hujan. Dari 31 juta ha areal hutan di Irian Jaya, 200.000 ha dianggap kawasan kritis. Dari jumlah 200.000 ha tersebut, 90.000 ha ada di Jayawijaya. Sebutan kritis di sini diartikan bahwa bukan saja tanah yang tidak subur, tetapi karena rendahnya daya intensifikasi penduduk terhadap tanaman pangan. Sehingga kematian karena kelaparan, menjadi rutin. Cuma karena kemarau panjang kali ini, jumlah kematian melonjak. Tempat pemukiman di Jayawijaya cuma bisa dicapai oleh helikopter, menurut catatan resmi (per 3 September), di sana 112 orang meninggal dan 367 orang jadi penderita rumahsakit karena kurang gizi. Kemarau, telah mendatangkan neraka di perkampungan terpencil tersebut. Di sebelah baratnya, di Kecamatan Tiom, Kabupaten Paniai, dalam bulan Juli malah mendapat hadiah hujan es sebanyak 4 kali, dalam masa kering. Akibatnya, sekitar 3.000 penduduk kelaparan dan 7 orang meninggal. Tetapi rupanya neraka tak sampai di Sumatera Utara. Paling tidak dalam hal yang menyangkut masalah air. Lebih-lebih dalam September ini kawasan itu memasuki musim hujan. Sepanjang tahun untuk jangka waktu paling tidak dalam 10 tahun terakhir, "curah hujan uk penah di bawah nol," ujar Y.S. Suharsono, Kepala Stasiun Meteorologi, Medan. Ketepatan data sudah mulai tercapai dalam mengukur iklim, prasarana bendungan memadai, bahkan ada kemajuan di bidang teknologi agronomi. Toh semua itu belum memperkecil kekhawatiran akan kesulitan air bersih. Kekhawatiran ini pun telah disebutkan dalam sidang kabinet terbatas terakhir. Mulai dari Jawa Timur (Surabaya), Jawa Tengah (Semarang, Pati, Wonogiri) sampai Jakarta, terdengar adanya sumur yang kering, mahalnya harga air minum per pikul. Di daerah Gunung Kidul, Ja-Teng, setiap KK kini cuma mendapat jatah air minimum 20 liter untuk seminggu. Kegawatan air minum ini begitu memuncak di Pontianak, sesudah lebih dari 2 bulan hujan tak turun. Akibatnya, penduduk bermandi air asin, karena kalau di hulu tak ada hujan, Sungai Kapuas dalam waktu dua minggu saja sudah bergaram. Tahun 1981, kadar garamnya cuma 1.659 ppm, kini per 1 September melonjak jadi 3.390,80 ppm PAM (Proyek Air Minum) kontan menyetop instalasinya, kalau kadar garam sudah di atas 440 ppm. Mulai antre di instalasi air, atau membuka baut sambungan pipa, sampai mengebor pipa sekunder PAM, sejumlah 304.000 jiwa menguber air bersih. Terakhir antrean semakin panjang kalau ada tangki air dari Anjungan (40 km dari Pontianak) datang menjual air Rp 400 untuk 20 liter. Tetapi di musim kerontang ini bahaya lebih besar ialah kebakaran. Benar saja: hutan di Nanga Pinoh, Kabpaten Sintang, Kal-Bar, telah terbakar. Areal reboisasi seluas 1.000 ha ini punah. Kebakaran karena salah membuka ladang ini juga terjadi di Suban Jerigi, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, awal pekan ini. Area seluas 100 ha habis, "padahal kawasan reboisasi," ujar Ir. Victor Sinaga, Kepala Dinas Kehutanan di sana. Di Jawa Tengah, dalam jangka waktu 2 minggu, telah terjadi dua kali kebakaran besar. Setelah 500 ha hutan di Gunung Slamet terbakar (1 September) akibat ulah para pelajar SMAN II yang sedang berkemah, lereng Gunung Merbabu juga terbakar. Begitu besar api di lereng Merbabu tersebut, sehingga bisa ditonton dari Boyolali atau Magelang. Diduga 300 ha lebih hutan menjadi gundul. Belum lagi kebakaran hutan yang berukuran kecil. Untuk kemarau ini, hutan pinus di Tawangmangu, hutan di d-kat Baturaden daerah "Puncak"nya Purwokerto, juga terbakar. Musim kemarau memang identik dengan meningkatnya kebakaran. Di Jakarta selalu dianjurkan kewaspadaan tehadap api di musim kemarau. Tapi api tetap saja menjilat kampung-kampung, seperti terjadi Sabtu lalu di Jalan Periintis Kemerdekaan, Pulogadung. Kebakaran dinihari itu meminta korbanynya tiga orang. Harian Kompas mencatat dari Januari sampai pertengahan Agustus tahun ini, telah terjadi 544 kali kebakaran. Yang menyedihkan ialah bahwa setelah api dan kemarau habis, akan datang banjir. Alam belum juga dijinakkan dan manusia tetap direpotkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus