THE PRAHU. TRADITIONAL SAILING BOAT OF INDONESIA
Oleh: Adrian Horridge
Penerbit: Oxford Universiy Press, 1981
TENTANG Borobudur lebih dari seratus buku telah diterbitkan.
Sebaliknya tentang perahu, buku yang ada bisa dihitung dengan
jari. Padahal perahu adalah unsur utama kebudayaan bahari
Indonesia, warisan kejayaan maritim yang sudah lama lewat. Tidak
heran bila di antara relief di Borobudur kita masih terlihat 4
pahatan perahu layar bercadik dengan gaya dan teknik abad ke-8.
Adrian Horridge berusaha mengurangi kelangkaan itu dengan
sebuah buku yang banyak membahas jenis perahu di Indonesia dan
teknologi perhubungan laut di negeri ini dari masa ke masa.
Dilengkapi dengan foto dan ilustrasi gambar, buku ini tak salah
kalau dikatakan telah membawa kita lebih dekat dengan warisan
bangsa sendiri. Lewat kacamata orang asing tentu saja. Dan
kacamata itu memantulkan betapa ia terpukau melihat berbagai
jenis perahu yang mengharungi samudra dari pulau ke pulau.
Seraya terpukau Horridge kecewa karena tidak ada buku pegangan,
bahkan tidak ada kamus khusus tentang perahu dan seluk-beluk
teknologinya.
Diingatkan oleh pengarang tiap bagian perahu sampai yang
sekecil-kecilnya dikenal dengan istilah-istilah tertentu. Ketika
pengarang melakukan studi lapangan di sekitar Anyer (Banten) ia
segera mengetahui kemiskinan kepustakaan kita khususnya mengenai
warisan bahari yang satu itu. Dan dia benar. Tapi adanya satu
artikel tentang scheepvart pada Ensyclopaedia van Nederlandsch
Indie sudah membuktikan adanya perhatian khusus di kalangan
cendekiawan Belanda waktu itu. Yang menonjol bisa disebut
disertasi Dr. C. Nooteboom: De Boomstamkano in Indonesia,
terbitan Leiden 1932.
Bila karya kedua penulis itu (Horridge dan Nooteboom)
dibandingkan ternyata yang pertama melakukan pendekatan
keserbanekaan perahu. Ini sangat menonjol di Indonesia dan
Horridge pun mengemukakan pelbagai teknik konstruksi pembuatan
badan perahu, perlengkapan dan bentuk layarnya. Ia mulai dengan
suatu deretan contoh perahu besar, dari abad-abad silam, dari
relief gambar perahu bercadik -- yang oleh Horridge diperkirakan
mempunyai kemiripan dengan bentuk kora-kora dari perairan Maluku
-- dari candi Borobudur, perahu jung yang banyak persamaan
dengan perahu jung dari Cina dan perahu perang kora-kora.
Disusul kemudian dengan pelbagai jenis perahu asal
Bugis-Makasar, seperti perahu patorani, lambo, pinisi, sandeq,
pangkur dan bago. Kemudian beralih ke pelbagai jenis perahu asal
Madura, Jawa, Bali dan Sumatera. Perhatian khusus diberikan
kepada jenis perahu Janggolan, perahu jaring, golekan, leti-leti
dan perahu mayang.
Setelah mengemukakan, bahwa di samping kenyataan terdapatnya
banyak model perahu di pelbagai museum yang tersisihkan dari
perhatian dan penalaran para kurator museum tersebut, kecuali
yang dipamerkan di pelbagai museum etnologi -- maka penulis
menganggap perlu memulai dengan koleksi perahu asli yang
dikhawatirkan akan lenyap dan masuk kotak sejarah. Pertama ia
menulis suatu deretan jenis perahu kecil, termasuk pelbagai
jenis perahu lesung (dug-out canoes).
Horridge memang konsisten dengan cara dan maksud penulisan
bukunya yang barangkali dimaksudkan sebagai pedoman bagi peminat
yang masih awam. Pada akhir buku akan kita jumpai uraian
mengenai pelbagai istilah/kata tentang perahu dan
bagian-bagiannya yang terdapat dalam pelbagai logat bahasa.
Suatu glossary melengkapi buku ini dan suatu daftar kepustakaan
serta suatu indeks mengakhiri karya tulis Horridge.
Ia tidak berpretensi mencari bobot akademis atau ilmiah, namun
tetap akan mendapat penghargaan dari para peminat kebudayaan
maritim Indonesia, karena sifatnya yang informatif itu. Horridge
bukan seorang antropolog yang menguasai penalaran teknologi
tradisional, tetapi ia adalah seorang biolog, karenanya kita
perlu memberikan penghargaan sepatutnya.
Bagi seorang yang ingin memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam dan tidak puas dengan cara deskriptif saja, buku
disertasi Nooteboom, masih tetap mempunyai nilai akademis.
Nooteboom langsung terjun masuk sejarah dengan pandangannya yang
evolusioner dan klasifikatoris. Ia menguraikan asal-usul perahu
lesung dan pembagian wilayah penyebaran: perahu lesung bercadik
ganda di bagian Barat dan yang bercadik tunggal di bagian Timur
Kepulauan Nusantara. Justru perahu lesung bercadik itu penting
artinya bagi sejarah maritim kita di masa lampau, sesuatu yang
menyebabkan adanya daya terjang penyebaran ras dan kebudayaan
rumpun Melayu-Polynesia sampai ke Madagaskar di barat dan
Kepulauan Paskah di timur, di Sumudra Pasifik!
Perahu layar Indonesia di masa lampau (ada yang diperkirakan
sebesar 200 hingga 300 ton), seperti yang dikemukakan Horridge,
dan yang pernah ditemukan bekas-bekasnya, pernah membuat orang
Portugis terperanjat. Tapi satu hal penting telah dilupakan.
Dengan jatuhnya kerajaan Goa dalam melawan Speelman dari VOC,
maka VOC telah mengeluarkan larangan pembuatan perahu layar yang
tonasenya lebih besar dari pada perahu VOC. Maka runtuhlah
benteng maritim terakhir ketika itu. Juga, dilupakan, misalnya,
kekuatan maritim kerajaan Aceh di zaman Iskandar Muda. Begitu
hebatnya, sampai timbul tafsiran sementara pihak bahwa gundulnya
banyak bukit di Aceh Utara dan Aceh Timur karena pohon kayunya
habis ditebang untuk memperkuat armada Aceh. Dan hanya Aceh yang
pernah mempunyai seorang laksamana armada wanita (Malahayati).
Tetapi yang penting bagi kita ialah di samping kita sendiri
harus segera memulai dengan penelitian segi kebudayaan maritim,
kita pun harus segera menggalakkan kemampuan dan kegiatan
mengumpulkan pelbagai jenis perahu tradisional. Kita sudah mulai
-- atas jasa dan prakarsa bekas Gubernur DKI Ali Sadikin --
dengan suatu Museum Bahari di Pasar Ikan Jakarta, tetapi museum
ini memerlukan lebih banyak perhatian kita.
Tempatnya di bekas benteng tua VOC kebetulan mengalami kesulitan
akibat lingkungan makro yang tidak menguntungkan bagi daya
lestarinya, dan perlu perbaikan lingkungan mikronya. Karena baik
udara dari laut yang mengandung garam, maupun sifat kelembaban
yang berkadar tinggi, masih diperlukan pelbagai ikhtiar
penanggulangan yang serius. Koleksinya sudah lumayan, tetapi
masih perlu dikembangkan.
Adalah nonsens bicara tentang Wawasan Nusantara dengan
kebudayaa majemuk dan senyawa seperti istilah tanah-air bagi
bangsa kita, bila kehadiran suatu Museum Bahari tidak
dilanjutkan dengan usaha pengembangannya.
Moh. Amir Sutaarga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini