Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perahu kita dulu

Pengarang: adrian horridge resensi oleh: moh. amir sutaarga.(bk)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE PRAHU. TRADITIONAL SAILING BOAT OF INDONESIA Oleh: Adrian Horridge Penerbit: Oxford Universiy Press, 1981 TENTANG Borobudur lebih dari seratus buku telah diterbitkan. Sebaliknya tentang perahu, buku yang ada bisa dihitung dengan jari. Padahal perahu adalah unsur utama kebudayaan bahari Indonesia, warisan kejayaan maritim yang sudah lama lewat. Tidak heran bila di antara relief di Borobudur kita masih terlihat 4 pahatan perahu layar bercadik dengan gaya dan teknik abad ke-8. Adrian Horridge berusaha mengurangi kelangkaan itu dengan sebuah buku yang banyak membahas jenis perahu di Indonesia dan teknologi perhubungan laut di negeri ini dari masa ke masa. Dilengkapi dengan foto dan ilustrasi gambar, buku ini tak salah kalau dikatakan telah membawa kita lebih dekat dengan warisan bangsa sendiri. Lewat kacamata orang asing tentu saja. Dan kacamata itu memantulkan betapa ia terpukau melihat berbagai jenis perahu yang mengharungi samudra dari pulau ke pulau. Seraya terpukau Horridge kecewa karena tidak ada buku pegangan, bahkan tidak ada kamus khusus tentang perahu dan seluk-beluk teknologinya. Diingatkan oleh pengarang tiap bagian perahu sampai yang sekecil-kecilnya dikenal dengan istilah-istilah tertentu. Ketika pengarang melakukan studi lapangan di sekitar Anyer (Banten) ia segera mengetahui kemiskinan kepustakaan kita khususnya mengenai warisan bahari yang satu itu. Dan dia benar. Tapi adanya satu artikel tentang scheepvart pada Ensyclopaedia van Nederlandsch Indie sudah membuktikan adanya perhatian khusus di kalangan cendekiawan Belanda waktu itu. Yang menonjol bisa disebut disertasi Dr. C. Nooteboom: De Boomstamkano in Indonesia, terbitan Leiden 1932. Bila karya kedua penulis itu (Horridge dan Nooteboom) dibandingkan ternyata yang pertama melakukan pendekatan keserbanekaan perahu. Ini sangat menonjol di Indonesia dan Horridge pun mengemukakan pelbagai teknik konstruksi pembuatan badan perahu, perlengkapan dan bentuk layarnya. Ia mulai dengan suatu deretan contoh perahu besar, dari abad-abad silam, dari relief gambar perahu bercadik -- yang oleh Horridge diperkirakan mempunyai kemiripan dengan bentuk kora-kora dari perairan Maluku -- dari candi Borobudur, perahu jung yang banyak persamaan dengan perahu jung dari Cina dan perahu perang kora-kora. Disusul kemudian dengan pelbagai jenis perahu asal Bugis-Makasar, seperti perahu patorani, lambo, pinisi, sandeq, pangkur dan bago. Kemudian beralih ke pelbagai jenis perahu asal Madura, Jawa, Bali dan Sumatera. Perhatian khusus diberikan kepada jenis perahu Janggolan, perahu jaring, golekan, leti-leti dan perahu mayang. Setelah mengemukakan, bahwa di samping kenyataan terdapatnya banyak model perahu di pelbagai museum yang tersisihkan dari perhatian dan penalaran para kurator museum tersebut, kecuali yang dipamerkan di pelbagai museum etnologi -- maka penulis menganggap perlu memulai dengan koleksi perahu asli yang dikhawatirkan akan lenyap dan masuk kotak sejarah. Pertama ia menulis suatu deretan jenis perahu kecil, termasuk pelbagai jenis perahu lesung (dug-out canoes). Horridge memang konsisten dengan cara dan maksud penulisan bukunya yang barangkali dimaksudkan sebagai pedoman bagi peminat yang masih awam. Pada akhir buku akan kita jumpai uraian mengenai pelbagai istilah/kata tentang perahu dan bagian-bagiannya yang terdapat dalam pelbagai logat bahasa. Suatu glossary melengkapi buku ini dan suatu daftar kepustakaan serta suatu indeks mengakhiri karya tulis Horridge. Ia tidak berpretensi mencari bobot akademis atau ilmiah, namun tetap akan mendapat penghargaan dari para peminat kebudayaan maritim Indonesia, karena sifatnya yang informatif itu. Horridge bukan seorang antropolog yang menguasai penalaran teknologi tradisional, tetapi ia adalah seorang biolog, karenanya kita perlu memberikan penghargaan sepatutnya. Bagi seorang yang ingin memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam dan tidak puas dengan cara deskriptif saja, buku disertasi Nooteboom, masih tetap mempunyai nilai akademis. Nooteboom langsung terjun masuk sejarah dengan pandangannya yang evolusioner dan klasifikatoris. Ia menguraikan asal-usul perahu lesung dan pembagian wilayah penyebaran: perahu lesung bercadik ganda di bagian Barat dan yang bercadik tunggal di bagian Timur Kepulauan Nusantara. Justru perahu lesung bercadik itu penting artinya bagi sejarah maritim kita di masa lampau, sesuatu yang menyebabkan adanya daya terjang penyebaran ras dan kebudayaan rumpun Melayu-Polynesia sampai ke Madagaskar di barat dan Kepulauan Paskah di timur, di Sumudra Pasifik! Perahu layar Indonesia di masa lampau (ada yang diperkirakan sebesar 200 hingga 300 ton), seperti yang dikemukakan Horridge, dan yang pernah ditemukan bekas-bekasnya, pernah membuat orang Portugis terperanjat. Tapi satu hal penting telah dilupakan. Dengan jatuhnya kerajaan Goa dalam melawan Speelman dari VOC, maka VOC telah mengeluarkan larangan pembuatan perahu layar yang tonasenya lebih besar dari pada perahu VOC. Maka runtuhlah benteng maritim terakhir ketika itu. Juga, dilupakan, misalnya, kekuatan maritim kerajaan Aceh di zaman Iskandar Muda. Begitu hebatnya, sampai timbul tafsiran sementara pihak bahwa gundulnya banyak bukit di Aceh Utara dan Aceh Timur karena pohon kayunya habis ditebang untuk memperkuat armada Aceh. Dan hanya Aceh yang pernah mempunyai seorang laksamana armada wanita (Malahayati). Tetapi yang penting bagi kita ialah di samping kita sendiri harus segera memulai dengan penelitian segi kebudayaan maritim, kita pun harus segera menggalakkan kemampuan dan kegiatan mengumpulkan pelbagai jenis perahu tradisional. Kita sudah mulai -- atas jasa dan prakarsa bekas Gubernur DKI Ali Sadikin -- dengan suatu Museum Bahari di Pasar Ikan Jakarta, tetapi museum ini memerlukan lebih banyak perhatian kita. Tempatnya di bekas benteng tua VOC kebetulan mengalami kesulitan akibat lingkungan makro yang tidak menguntungkan bagi daya lestarinya, dan perlu perbaikan lingkungan mikronya. Karena baik udara dari laut yang mengandung garam, maupun sifat kelembaban yang berkadar tinggi, masih diperlukan pelbagai ikhtiar penanggulangan yang serius. Koleksinya sudah lumayan, tetapi masih perlu dikembangkan. Adalah nonsens bicara tentang Wawasan Nusantara dengan kebudayaa majemuk dan senyawa seperti istilah tanah-air bagi bangsa kita, bila kehadiran suatu Museum Bahari tidak dilanjutkan dengan usaha pengembangannya. Moh. Amir Sutaarga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus