Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Air libur di jatiluhur

Kekeringan tahun ini tidak segawat kemarau 1972 dan kita lebih siap menghadapinya. jatiluhur melakukan perawatan rutin pada jaringan saluran irigasi, untuk sementara pintu air di curug ditutup. (ling)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU Pusat Analisa dan Pengolahan Data BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) tidak keliru, anda tak perlu gusar. Sekitar pertenahan November, katanya, hujan mulai turun dan malah di beberapa tempat di Indonesia mulai Oktober akan berakhir musim kemarau. Bahkan dari Sumatera Utara terbetik berita bahwa pekan lalu curah hujan sudah mencapai 8,4 mm. Untuk berkualifikasi sebagai musim hujan diperlukan 10 hari dalam satu bulan dengan curah hujan sedikitnya 5 mm. Dibanding tahun lalu, musim kemarau kali ini memang datangnya lebih awal di banyak tempat. Misalnya sudah terasa kering di Jepara dan Jakarta menjelang akhir Maret, sedang tahun lalu di Lampung masih turun hujan dalam Juni. Agaknya ini yang menjadikan musim kemarau tahun ini dirasakan panjang. Betapapun keadaan masih jauh lebih bagus dari kemarau 1972, menurut para pejabat di BMG. Namun, seperti dikemukakan Menteri Muda Urusan Pangan, Ir. Achmad Affandi, pemerintah sudah lebih waspada. Sekarang jumlah waduk dan bendungan sudah banyak, katanya "hingga kita lebih siap menghadapi musim kekeringan ini." Awal Septernber ini, Waduk Karangkates masih menyimpan air sebanyak 202,7 juta m3 dengan elevasi permukaan air setinggi 264,45 m. Ini masih di atas elevasi yang direncanakan untuk akhir Agustus, yaitu setinggi 263,76 111. Karena itu September ini waduk Karangkates mengoperasikan air sebesar 45 m3 per detik --cukup untuk memenuhi keperluan irigasi, air minum, industri dan listrik. Menurut Ir. Soenarno, kepala staf perencanaan Badan Pelaksanaan Proyek Brantas, kalau pertengahan Desember nanti masih belum turun hujan, baru keadaan menjadi kritis. Pimpinan Perum Otorita Jatiluhur (POJ), Ir. Muhammad Ulama juga tidak khawatir. Reservoir Waduk Jatiluhur musim hujan November 1981 sampai Mei 1982, dapat diisi sesuai dengan kapasitas maksimal sebanyak 3 milyar m3 air. Sampai awal September, elevasi air di waduk serbaguna itu mencapai 91,8 m. Masih lebih 10 m di atas batas pengaman," tutur Ir. Sudarjo Wiryowardoyo direktur muda Direktorat Pelistrikan POJ pekan lalu. Minimum ketinggian air yang diperlukan untuk menggerakkan keenam turbin PLTA Jatiluhur ialah 75 m. POJ menetapkan "batas aman" pada ketinggian 80,95 m. Menurut keterangan pejabat POJ di Jakarta, jika hanya untuk keperluan irigasi saja ketinggian air 48 m masih bisa memenuhi kebutuhan. Elevasi terendah yang pernah dialami Jatiluhur ialah 78 m, yaitu ketika musim kemarau tahun 1972 yang memang gawat itu. Memang sejak 1 September Jatiluhur menutup pintu airnya di Curug, tempat air waduk raksasa itu dipompakan melalui saluran Tarum Barat dan Timur. Tapi ini karena Jatiluhur melakukan perawatan rutin pada jaringan saluran irigasi. "Inilah kesempatan memperbaiki dan meneliti kerusakan pada saluran, karena di musim hujan air akan penuh," ujar Muhammad Ulama. Ratusan petani di Kabupaten Karawang bakal menderita akibatnya. "Rupanya kali ini tidak ada lagi tawar-menawar," ujar Haji Maat, Ketua Mitra Cai (Organisasi Petani Pemakai Air di Desa) Desa Tanah Baru. Menurut Maat, tahun lalu mereka menikmati air sampai akhir September, dan baru awal Oktober saluran ditutup. Maat dan sekitar 40 petani lainnya mulai menanam padi "marekat" (gadu) awal Agustus. "Seharusnya kami mulai tanam bulan Juli berbarengan dengan petani yang sawahnya berada di dekat saluran," ujar Maat. Tapi mereka terlambat karena air yang mengalir dari sawah di depan, tertahan di sawah bagian belakang karena tak ada saluran pembuang. Begitulah setiap tahun Maat dan ratusan petani lainnya di 5 desa -- dengan luas areal sawah 1766 ha -- selalu menanam padi gadu bagian terakhir. Padi jenis Cisadane yang mereka tanam awal Agustus, diharapkan bisa dipanen bulan Desember. Itu kalau ada air sampai akhir September ini. "Sekarang kami menyerahkan nasib kepada Tuhan," ujar Maat. Areal sawah terancam puso seperti di Karawang, kata Affandi, karena ada petani yang tidak mematuhi jadwal waktu pola tanam. "Itu kan karena ugal-ugalan." Tapi menurut Affandi, mayoritas petani menanam mengikut pola tanam sehingga, "keadaan seperti 1972 tidak akan terjadi." Sebetulnya untuk semua daerah irigasi ada jadwal ketat antara pola tanam dan macam tanaman dengan penggunaan air irigasi, menurut Ir. Sarbini Ronodibroto, Direktur Bina Program Pengairan, "supaya pemanfaatan waktu setahun antara musim kemarau dan musim hujan bisa pas." Kalau suatu daerah ketinggalan jadwal, daerah itu yang mengalami kekeringan. "Biasanya yang bisa dijamin pengairannya pada musim kemarau sekitar 25-30%," kata Sarbini pada TEMPO pekan lalu. Petani cenderung menanam di luar pola. "Kalau musim baik, ia memang berhasil," ujar Sarbini, "tapi kalau kemarau panjang, ia bisa gagal." Umumnya 30% areal yang dijamin airnya menurut pola, tidak akan gagal. "Inilah yang sebenarnya perlu disadari para petani melalui P3A," ucap Sarbini lagi. UNTUK mencapai efisiensi pemakaian air irigasi di tingkat desa dibentuk P3A (Perhimpunan Petani Pemakai Air). Untuk daerah Bali dan sebagian Pulau Lombok, sudah lama dikenal subak hingga P3A di sana tak perlu. P3A dikenal dengan berbagai nama. Di Ja-Teng juga dikenal misalnya Dharma Tirto, di Ja-Bar Mitra Cai, sementara di Ja-Tim ada Hippa (Himpunan Petani Pernakai Air). Pada pokoknya organisasi P3A itu bertanggung jawab atas pengairan petak tersier dan kwarter. Setiap petak tersier meliputi 100-150 ha dan petak kwarter sekitar 10-15 ha. "Pengelolaan dan pemeliharaan tersier dan kwarter dilakukan petani pemakai," ujar Sarbini, agar mereka ikut bertanggung jawab terhadap kebaikan jaringan irigasi itu. Penggunaan air di pertanian sama saja dengan perilaku konsumen air ledeng di kota. Bila mendapat air ledeng, ia tak merasa perlu berhemat. Tapi ketika ia harus membeli air pikulan, pasti terasa bebannya. Di sawah juga ada perasaan semacam itu. Perlu ada kampanye "bahwa setetes air sangat besar artinya," ujar Sarbini. Untuk daerah pertanian, penghematan di hulu, menyebabkan air bisa sampai di ujung meski tak terlihat oleh mata. Perkelahian merebutkan air di musim kemarau sering terjadi di Kabupaten Sukoharjo, Sala, misalnya. "Tapi itu dulu, sekarang tidak," ucap Hardjosudarmo, Ketua Dharma Tirto di Desa Blimbing, Kecamatan Gatak di kabupaten itu. Sekarang perkumpulan yang mengurusi pembagian air di desa itu menjadi Dharma Tirto teladan untuk Ja-Teng dan sistem irigasi mereka dijadikan proyek percontohan provinsi itu. Desa itu sejak April tak lagi kebagian hujan. Memang air mesti diirit, tapi kesulitan bisa diatasi," ujar Hardjosudsrmo. Ia mengakui kemarau tahun ini memang mengakibatkan penurunan produksi. "Tapi tak ada padi di sawah yang puso," katanya. Air irigasi areal sawah desa itu diperoleh dari Dam Nyaen di Sungai Gindur. Air di sungai itu memang tinggal sedikit. "Air datang sedikit, yah dibagi sedikit," ujar Hardjosudarmo. Petani yang dapat giliran pembagian air, hari itu juga harus selesai menanam bibit. "Kalau tak rampung, risiko mereka, sebab air segera dialirkan ke sawah lain," ujar Hardjosudarmo menjelaskan cara mengatasi kesulitan air di musim kering sekarang. Contoh di desa itu agaknya mendukung pendapat Otto Soemarwoto di Bandung. "Kekhawatiran akan kekurangan air, sebenarnya tak perlu terjadi," ujar Soemarwoto, "kalau masyarakat berhati-hati dalam penggunaan dan pemanfaatan air." Sekarang terjadi gejala air hujan langsung mengalir ke sungai, tak lagi diserap ke dalam tanah. Ini akibat berkurangnya hutan di gunung-gunung. Sebab lain, menurut Soemarwoto, juga karena banyak pemukiman, jalan, tempat parkir dan tataguna lahan lain yang kedap air, mencegah air memasuki tanah. Akibatnya di musim hujan berkelebihan air di permukaan dan dimusim kemarau tak ada persediaan air. Obatnya hanya penghijauan dan reboisasi gunung-gunung. Selain itu pembuatan waduk-waduk kecil di hulu sungai juga sangat membantu. Atau anda mau memandikan kucing terus-menerus?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus