KALAU Pusat Analisa dan Pengolahan Data BMG (Badan Meteorologi
dan Geofisika) tidak keliru, anda tak perlu gusar. Sekitar
pertenahan November, katanya, hujan mulai turun dan malah di
beberapa tempat di Indonesia mulai Oktober akan berakhir musim
kemarau. Bahkan dari Sumatera Utara terbetik berita bahwa pekan
lalu curah hujan sudah mencapai 8,4 mm. Untuk berkualifikasi
sebagai musim hujan diperlukan 10 hari dalam satu bulan dengan
curah hujan sedikitnya 5 mm.
Dibanding tahun lalu, musim kemarau kali ini memang datangnya
lebih awal di banyak tempat. Misalnya sudah terasa kering di
Jepara dan Jakarta menjelang akhir Maret, sedang tahun lalu di
Lampung masih turun hujan dalam Juni. Agaknya ini yang
menjadikan musim kemarau tahun ini dirasakan panjang.
Betapapun keadaan masih jauh lebih bagus dari kemarau 1972,
menurut para pejabat di BMG. Namun, seperti dikemukakan Menteri
Muda Urusan Pangan, Ir. Achmad Affandi, pemerintah sudah lebih
waspada. Sekarang jumlah waduk dan bendungan sudah banyak,
katanya "hingga kita lebih siap menghadapi musim kekeringan
ini."
Awal Septernber ini, Waduk Karangkates masih menyimpan air
sebanyak 202,7 juta m3 dengan elevasi permukaan air setinggi
264,45 m. Ini masih di atas elevasi yang direncanakan untuk
akhir Agustus, yaitu setinggi 263,76 111. Karena itu September
ini waduk Karangkates mengoperasikan air sebesar 45 m3 per detik
--cukup untuk memenuhi keperluan irigasi, air minum, industri
dan listrik. Menurut Ir. Soenarno, kepala staf perencanaan Badan
Pelaksanaan Proyek Brantas, kalau pertengahan Desember nanti
masih belum turun hujan, baru keadaan menjadi kritis.
Pimpinan Perum Otorita Jatiluhur (POJ), Ir. Muhammad Ulama juga
tidak khawatir. Reservoir Waduk Jatiluhur musim hujan November
1981 sampai Mei 1982, dapat diisi sesuai dengan kapasitas
maksimal sebanyak 3 milyar m3 air.
Sampai awal September, elevasi air di waduk serbaguna itu
mencapai 91,8 m. Masih lebih 10 m di atas batas pengaman,"
tutur Ir. Sudarjo Wiryowardoyo direktur muda Direktorat
Pelistrikan POJ pekan lalu. Minimum ketinggian air yang
diperlukan untuk menggerakkan keenam turbin PLTA Jatiluhur ialah
75 m. POJ menetapkan "batas aman" pada ketinggian 80,95 m.
Menurut keterangan pejabat POJ di Jakarta, jika hanya untuk
keperluan irigasi saja ketinggian air 48 m masih bisa memenuhi
kebutuhan. Elevasi terendah yang pernah dialami Jatiluhur ialah
78 m, yaitu ketika musim kemarau tahun 1972 yang memang gawat
itu.
Memang sejak 1 September Jatiluhur menutup pintu airnya di
Curug, tempat air waduk raksasa itu dipompakan melalui saluran
Tarum Barat dan Timur. Tapi ini karena Jatiluhur melakukan
perawatan rutin pada jaringan saluran irigasi. "Inilah
kesempatan memperbaiki dan meneliti kerusakan pada saluran,
karena di musim hujan air akan penuh," ujar Muhammad Ulama.
Ratusan petani di Kabupaten Karawang bakal menderita akibatnya.
"Rupanya kali ini tidak ada lagi tawar-menawar," ujar Haji Maat,
Ketua Mitra Cai (Organisasi Petani Pemakai Air di Desa) Desa
Tanah Baru. Menurut Maat, tahun lalu mereka menikmati air sampai
akhir September, dan baru awal Oktober saluran ditutup.
Maat dan sekitar 40 petani lainnya mulai menanam padi "marekat"
(gadu) awal Agustus. "Seharusnya kami mulai tanam bulan Juli
berbarengan dengan petani yang sawahnya berada di dekat
saluran," ujar Maat. Tapi mereka terlambat karena air yang
mengalir dari sawah di depan, tertahan di sawah bagian belakang
karena tak ada saluran pembuang.
Begitulah setiap tahun Maat dan ratusan petani lainnya di 5 desa
-- dengan luas areal sawah 1766 ha -- selalu menanam padi gadu
bagian terakhir. Padi jenis Cisadane yang mereka tanam awal
Agustus, diharapkan bisa dipanen bulan Desember. Itu kalau ada
air sampai akhir September ini. "Sekarang kami menyerahkan nasib
kepada Tuhan," ujar Maat.
Areal sawah terancam puso seperti di Karawang, kata Affandi,
karena ada petani yang tidak mematuhi jadwal waktu pola tanam.
"Itu kan karena ugal-ugalan." Tapi menurut Affandi, mayoritas
petani menanam mengikut pola tanam sehingga, "keadaan seperti
1972 tidak akan terjadi."
Sebetulnya untuk semua daerah irigasi ada jadwal ketat antara
pola tanam dan macam tanaman dengan penggunaan air irigasi,
menurut Ir. Sarbini Ronodibroto, Direktur Bina Program
Pengairan, "supaya pemanfaatan waktu setahun antara musim
kemarau dan musim hujan bisa pas." Kalau suatu daerah
ketinggalan jadwal, daerah itu yang mengalami kekeringan.
"Biasanya yang bisa dijamin pengairannya pada musim kemarau
sekitar 25-30%," kata Sarbini pada TEMPO pekan lalu.
Petani cenderung menanam di luar pola. "Kalau musim baik, ia
memang berhasil," ujar Sarbini, "tapi kalau kemarau panjang, ia
bisa gagal." Umumnya 30% areal yang dijamin airnya menurut pola,
tidak akan gagal. "Inilah yang sebenarnya perlu disadari para
petani melalui P3A," ucap Sarbini lagi.
UNTUK mencapai efisiensi pemakaian air irigasi di tingkat desa
dibentuk P3A (Perhimpunan Petani Pemakai Air). Untuk daerah Bali
dan sebagian Pulau Lombok, sudah lama dikenal subak hingga P3A
di sana tak perlu. P3A dikenal dengan berbagai nama. Di Ja-Teng
juga dikenal misalnya Dharma Tirto, di Ja-Bar Mitra Cai,
sementara di Ja-Tim ada Hippa (Himpunan Petani Pernakai Air).
Pada pokoknya organisasi P3A itu bertanggung jawab atas
pengairan petak tersier dan kwarter. Setiap petak tersier
meliputi 100-150 ha dan petak kwarter sekitar 10-15 ha.
"Pengelolaan dan pemeliharaan tersier dan kwarter dilakukan
petani pemakai," ujar Sarbini, agar mereka ikut bertanggung
jawab terhadap kebaikan jaringan irigasi itu.
Penggunaan air di pertanian sama saja dengan perilaku konsumen
air ledeng di kota. Bila mendapat air ledeng, ia tak merasa
perlu berhemat. Tapi ketika ia harus membeli air pikulan, pasti
terasa bebannya. Di sawah juga ada perasaan semacam itu. Perlu
ada kampanye "bahwa setetes air sangat besar artinya," ujar
Sarbini. Untuk daerah pertanian, penghematan di hulu,
menyebabkan air bisa sampai di ujung meski tak terlihat oleh
mata.
Perkelahian merebutkan air di musim kemarau sering terjadi di
Kabupaten Sukoharjo, Sala, misalnya. "Tapi itu dulu, sekarang
tidak," ucap Hardjosudarmo, Ketua Dharma Tirto di Desa Blimbing,
Kecamatan Gatak di kabupaten itu. Sekarang perkumpulan yang
mengurusi pembagian air di desa itu menjadi Dharma Tirto teladan
untuk Ja-Teng dan sistem irigasi mereka dijadikan proyek
percontohan provinsi itu.
Desa itu sejak April tak lagi kebagian hujan. Memang air mesti
diirit, tapi kesulitan bisa diatasi," ujar Hardjosudsrmo. Ia
mengakui kemarau tahun ini memang mengakibatkan penurunan
produksi. "Tapi tak ada padi di sawah yang puso," katanya. Air
irigasi areal sawah desa itu diperoleh dari Dam Nyaen di Sungai
Gindur. Air di sungai itu memang tinggal sedikit. "Air datang
sedikit, yah dibagi sedikit," ujar Hardjosudarmo.
Petani yang dapat giliran pembagian air, hari itu juga harus
selesai menanam bibit. "Kalau tak rampung, risiko mereka, sebab
air segera dialirkan ke sawah lain," ujar Hardjosudarmo
menjelaskan cara mengatasi kesulitan air di musim kering
sekarang.
Contoh di desa itu agaknya mendukung pendapat Otto Soemarwoto di
Bandung. "Kekhawatiran akan kekurangan air, sebenarnya tak perlu
terjadi," ujar Soemarwoto, "kalau masyarakat berhati-hati dalam
penggunaan dan pemanfaatan air."
Sekarang terjadi gejala air hujan langsung mengalir ke sungai,
tak lagi diserap ke dalam tanah. Ini akibat berkurangnya hutan
di gunung-gunung. Sebab lain, menurut Soemarwoto, juga karena
banyak pemukiman, jalan, tempat parkir dan tataguna lahan lain
yang kedap air, mencegah air memasuki tanah. Akibatnya di musim
hujan berkelebihan air di permukaan dan dimusim kemarau tak ada
persediaan air.
Obatnya hanya penghijauan dan reboisasi gunung-gunung. Selain
itu pembuatan waduk-waduk kecil di hulu sungai juga sangat
membantu. Atau anda mau memandikan kucing terus-menerus?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini