PENDUDUK lima RW di Kelurahan Gading, Surabaya Timur, menderita
sesak napas. Bahkan sudah 13 orang yang meninggal karenanya
selama dua bulan terakhir ini. Dan pabrik pengecoran timah di
lingkungan mereka menjadi kambing hitam. "Karena ayam milik
penduduk juga mati semua," ujar Bambang Purwanto, 48 tahun,
penduduk di desa itu.
Bambang sendiri sudah harus meninggalkan kegiatan dagangnya di
pasar Pabean. Ia mengeluh bahwa besar pengeluarannya untuk
berobat. Banyak lagi tetangga Bambang yang menderita seperti
dia.
Penderitaan masyarakat Gading itu memuncak kalau malam sudah
tiba, ketika pabrik yang tidak ada namanya itu mulai menyalakan
tungkunya. Industri kecil yang punya enam tenaga kerja ini
bekerja pukul 22.00 sampai 06.00.
Kalau kebetulan udara malam lembab atau hujan gerimis tak ada
yang berani membuka pintu," ujar Mohamad Nur, Ketua RT 1 RW 12.
"Baunya busuk dan pernapasan kita bisa sesak tiba-tiba,"
tambahnya.
Asap hitam dari pabrik itu menerobos masuk rumah yang tidak
pakai plafon. "Tidak jarang pula saya memilih lari ke sawah
depan itu kalau dada saya sudah terasa akan pecah," ujar
Bambang.
Sebuah tim beranggotakan lima Ketua RW sudah berkali-kali sejak
1979 mengadu pada Walikota Surabaya. Ada sedikit tanggapannya.
Walikota Drs. Muadji Widjaja menjanjikan bahwa pabrik itu sudah
harus dipindahkan dalam waktu satu tahun ini. Sementara
pemindailan belum dilakukan pengusahanya diwajibkan merendam
bahan baku industri itu ke dalam larutan kapur sebelum diolah.
Perendaman itu dimaksudkan untuk mengurangi kadar asam sulfat
(H2 S04).
Tapi hanva dengan cara itu masih belum aman. Cerobong asapnya,
setinggi hanya lima meteran, begitu sederhana tanpa peralatan
pengaman seperti filter.
Imam Slamet, pemilik pabrik itu menyangsikan bahwa bencana itu
datang dari cerobong pabriknya. "Pabrik saya ini sudah berdiri
tahun 1960. Kok baru sekarang kejadiannya," ujar Slamet. Tapi
Slamet sudah bersedia memindahkan pabriknya ke Lokasi Industri
Kecil di Sidoarjo. Sementara ini tiap hari ia harus membeli
kapur 200 sampai 300 kilogram sehari untuk merendam bahan baku
pabrik itu.
Pabrik ini hanya menggunakan bahan baku berupa sel-sel bekas
aki. Sehari bisa ia menghasilkan sekitar 1000 lantakan timah
hitam, yang dijualnya kembali kpada pabrik aki dengan harga Rp
550/ kg. Hampir 100% lebih murah daripada harga timah impor.
Sel-sel bekas aki itu di pabrik milik Slamet dibakar hingga
mencair untuk kemudian dituang jadi lantakan. Semula ada lima
pabrik sejenis di Gading tapi tiga sudah tutup. Satu pabrik lagi
sudah pindah ke daerah Pogot.
Waktu Imam Slamet mendirikan pabriknya di sana lingkungan
sekitarnya masih berupa sawah. Tapi saat ini sudah banyak rumah
penduduk. Master plan Surabaya tahun 2000 sendiri menyebutkan
kawasan itu sebagai daerah pemukiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini