Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tak peduli UU cagar alam

Pln mau merentangkan kabel dari kamojang, maka perhutani datang membabat. surat ppa dianggap sepi. ada konflik antara instansi, sementara pln terdesak jadwal. (ling)

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKELOMPOK penebang kayu bersorak di hutan Cagar Alml Kamojang, Jawa Barat, menyusul suara bergemuruh rubuhnya sebuah pohon Kihujan raksasa pekan lalu. Kicau dan celoteh penghuni hutan itu tiba-tiba senyap Para penebang itu sebentar saja, merubuhkan pohon berdiameter 135 cm setinggi 15 meter itu, yang ditaksir berumur ratusan tahun. Pohon itu menyusul nasib ratusan pohon lain, besar kecil, yang tumbang karena digergaji selama Maret. Sebagian besar berupa pohon jenis langka seperti Puspa, Tunggeureuk, Kihujan, Saninten atau Pasang. Semua pohon dalam satu jalur sepanjang 6 km yang menembus hutan Cagar Alam itu harus tumbang menurut Ir. Endang Supriadi, Administratur Perum Perhutani KKPH Bandun Selatan. Sebelumnya dia menandatangani Surat Keputusan Pelaksanaan Tebang Habis. Satu Bahasa SK itu memenuhi permintaan PLIN. Di jalur ini hendak direntangkan kabel Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) untuk menyalurkan listrik hasil Proyek Panas Bumi Kamojang ke Induk Jaringan Jawa Barat dan Jakarta Raya. Tapi pembuatan jalur itu--semula direncanakan selebar 29 m, belakangan diubah menjadi 40 m--mengakibatkan sekitar 12 hektar hutan Cagar Alam itu habis dibabat. Ternyata penebangan hutan Cagar Alam itu tindakan sepihak. Ahmad Siradjudin, Kepala Sub Seksi PPA (Pengawetan dan Pelestarian Alam) Bandung, dalam satu surat kepada Pimpinan Proyek PLN Kamojang, sudah menjelaskan bahwa hutan itu dilindungi sejak 13 Maret 1979. Siradjudin juga tak lupa mengutip UU Cagar Alam dan Suaka Margasatwa No. 17 tahun 1932 yang berbunyi: "Di areal Cagar Alam dilarang melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan perubahan dalam keadaan umum suatu Cagar Alam ataupun terhadap barang-barang yang termasuk dalam lingkungan cagar Alam itu seperti mengumpulkar tumbuh-tumbuhan atau bagian dar tumbuh-tumbuhan dan seterusnya." Siradjudin minta agar PLN memenuhi prosedur perizinan yang betul, sebelum melakukan kegiatan di area Cagar Alam dan Taman Wisata itu. Permintaan izin itu harus diajukan kepada Dirjen Kehutanan setelah mendapat rekomendasi dari Sub Balai PPA Jawa Barat. Izin Perhutani hanya berlaku di wilayah kerja Perum Perhutani, yang jelas tidak mencakup Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman Buru). Menurut Abdul Faridhan, Kepala PLN Proyek Transmisi Timur, surat teguran PPA itu datang ketika pembuatan jalur sudah berjalan beberapa hari. "Baru saat itu saya tahu bahwa hutan itu Cagar Alam dan di bawah PPA," ujar Faridhan kepada TEMPO pekan lalu. "Kalau saya tahu wewenang ada di PPA, tentu prosedur seperti yang dikemukakan PPA itu saya tempuh." Dia sendiri mengira kawasan hutan itu "di bawah Perum Perhutani". Kostaman, Kepala Resort PPA Kamojang, pernah mengusahakan penghentian penebangan pohon di hutan Cagar Alam itu. Namun Perhutani agaknya tak menyerah begitu saja. Bahkan Endang Supriadi sendiri memerlukan datang ke Kamojang (24 Maret) dan memerintahkan penebangan itu berjalan terus Adu mulut pun terjadi antara Administratur Perhutani itu dengan petugas PPA Kamojang. Tapi Kostaman mengalah dan melaporkan kejadian itu kepada atasannya. Di Bogor, Uu Hasan, Kepaa Seksi Perlindungan Balai Konservasi SumberDaya Alam 111, mengakui koordinasi di tingkat atas (Ditjen) memang sudah baik. "Tapi di tingkat bawah belum ada satu bahasa," ujarnya. Akibatnya sering terjadi konflik di lingkungan instansi sendiri "Tapi masalah ini hanya terjadi di Jawa Barat," ujar Hasan tanpa menjelaskan sebabnya "Di provinsi lain tidak pernah terjadi." Apa alasan Perhutani bersikeras "Perum Perhutani tetap bertahan pada belum adanya serah-terima penguasaan hutan di lapangan," ujar Siradjudin. Dalih yang sama juga dikemukakan pihak Perhutani ketika membabat puluhan hektar hutan lindung di Kecamatan Ciwdey dan Pasirjambu, Bandung Selatan (TEMPO, 13 Februari). "Serah-terima baru dilakukan secara administratif, sedangkan serah-terima di lapangan kepada PPA belum," ujar Syamsu, Asisten Perhuuni KBKPH Ciwedey waktu itu. "Karena itu kami masih punya tanggungjawab pada hutan ini," lanjut Syamsu. Waktu itu Siradjudin juga sudah membantah dalih ini. "Serah-terima di lapangan sudah tak perlu lagi, karena secara resmi cukup dilakukan di pusat," ujarnya kepada TEMPO. PLN sendiri tampaknya bersedia memenuhi prosedur perizinan seperti disarankan PPA, asalkan tidak mengganggu jadwal penyaluran panas bumi itu. Menurut jadwal, proyek itu harus selesai dalam April. Listrik 30 MW yang dihasilkan dengan panas bumi dari Kamojang itu akan disalurkan ke Garut, Banjaran dan Cigereleng. Proyek Panas Bumi itu sendiri terletak di luar kawasan Cagar Alam, sekitar 60 km sebelah selatan Kota Bandung. "Kalau harus tunggu keluarnya surat izin resmi, bisa tertunda berbulanbulan," ujar Faridhan. Sementara Siradjudin sendiri berpendapat kabel listrik itu sebenarnya tidak perlu melintasi kawasan Cagar Alam. "Tapi mungkin karena perhitungan ekonomis akhirnya kabel itu direntangkan ke arah Cagar Alam," ujarnya filosofis. "Akibatnya Cagar Alam jadi rusak."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus