SEKELOMPOK penebang kayu bersorak di hutan Cagar Alml Kamojang,
Jawa Barat, menyusul suara bergemuruh rubuhnya sebuah pohon
Kihujan raksasa pekan lalu. Kicau dan celoteh penghuni hutan itu
tiba-tiba senyap Para penebang itu sebentar saja, merubuhkan
pohon berdiameter 135 cm setinggi 15 meter itu, yang ditaksir
berumur ratusan tahun.
Pohon itu menyusul nasib ratusan pohon lain, besar kecil, yang
tumbang karena digergaji selama Maret. Sebagian besar berupa
pohon jenis langka seperti Puspa, Tunggeureuk, Kihujan, Saninten
atau Pasang. Semua pohon dalam satu jalur sepanjang 6 km yang
menembus hutan Cagar Alam itu harus tumbang menurut Ir. Endang
Supriadi, Administratur Perum Perhutani KKPH Bandun Selatan.
Sebelumnya dia menandatangani Surat Keputusan Pelaksanaan Tebang
Habis.
Satu Bahasa
SK itu memenuhi permintaan PLIN. Di jalur ini hendak
direntangkan kabel Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) untuk
menyalurkan listrik hasil Proyek Panas Bumi Kamojang ke Induk
Jaringan Jawa Barat dan Jakarta Raya. Tapi pembuatan jalur
itu--semula direncanakan selebar 29 m, belakangan diubah menjadi
40 m--mengakibatkan sekitar 12 hektar hutan Cagar Alam itu habis
dibabat.
Ternyata penebangan hutan Cagar Alam itu tindakan sepihak. Ahmad
Siradjudin, Kepala Sub Seksi PPA (Pengawetan dan Pelestarian
Alam) Bandung, dalam satu surat kepada Pimpinan Proyek PLN
Kamojang, sudah menjelaskan bahwa hutan itu dilindungi sejak 13
Maret 1979.
Siradjudin juga tak lupa mengutip UU Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa No. 17 tahun 1932 yang berbunyi: "Di areal Cagar Alam
dilarang melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan perubahan
dalam keadaan umum suatu Cagar Alam ataupun terhadap
barang-barang yang termasuk dalam lingkungan cagar Alam itu
seperti mengumpulkar tumbuh-tumbuhan atau bagian dar
tumbuh-tumbuhan dan seterusnya."
Siradjudin minta agar PLN memenuhi prosedur perizinan yang
betul, sebelum melakukan kegiatan di area Cagar Alam dan Taman
Wisata itu. Permintaan izin itu harus diajukan kepada Dirjen
Kehutanan setelah mendapat rekomendasi dari Sub Balai PPA Jawa
Barat. Izin Perhutani hanya berlaku di wilayah kerja Perum
Perhutani, yang jelas tidak mencakup Suaka Alam (Cagar Alam dan
Suaka Margasatwa) dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman
Buru).
Menurut Abdul Faridhan, Kepala PLN Proyek Transmisi Timur,
surat teguran PPA itu datang ketika pembuatan jalur sudah
berjalan beberapa hari. "Baru saat itu saya tahu bahwa hutan itu
Cagar Alam dan di bawah PPA," ujar Faridhan kepada TEMPO pekan
lalu. "Kalau saya tahu wewenang ada di PPA, tentu prosedur
seperti yang dikemukakan PPA itu saya tempuh." Dia sendiri
mengira kawasan hutan itu "di bawah Perum Perhutani".
Kostaman, Kepala Resort PPA Kamojang, pernah mengusahakan
penghentian penebangan pohon di hutan Cagar Alam itu. Namun
Perhutani agaknya tak menyerah begitu saja. Bahkan Endang
Supriadi sendiri memerlukan datang ke Kamojang (24 Maret) dan
memerintahkan penebangan itu berjalan terus Adu mulut pun
terjadi antara Administratur Perhutani itu dengan petugas PPA
Kamojang. Tapi Kostaman mengalah dan melaporkan kejadian itu
kepada atasannya.
Di Bogor, Uu Hasan, Kepaa Seksi Perlindungan Balai Konservasi
SumberDaya Alam 111, mengakui koordinasi di tingkat atas
(Ditjen) memang sudah baik. "Tapi di tingkat bawah belum ada
satu bahasa," ujarnya. Akibatnya sering terjadi konflik di
lingkungan instansi sendiri "Tapi masalah ini hanya terjadi di
Jawa Barat," ujar Hasan tanpa menjelaskan sebabnya "Di provinsi
lain tidak pernah terjadi."
Apa alasan Perhutani bersikeras "Perum Perhutani tetap bertahan
pada belum adanya serah-terima penguasaan hutan di lapangan,"
ujar Siradjudin. Dalih yang sama juga dikemukakan pihak
Perhutani ketika membabat puluhan hektar hutan lindung di
Kecamatan Ciwdey dan Pasirjambu, Bandung Selatan (TEMPO, 13
Februari). "Serah-terima baru dilakukan secara administratif,
sedangkan serah-terima di lapangan kepada PPA belum," ujar
Syamsu, Asisten Perhuuni KBKPH Ciwedey waktu itu. "Karena itu
kami masih punya tanggungjawab pada hutan ini," lanjut Syamsu.
Waktu itu Siradjudin juga sudah membantah dalih ini.
"Serah-terima di lapangan sudah tak perlu lagi, karena secara
resmi cukup dilakukan di pusat," ujarnya kepada TEMPO.
PLN sendiri tampaknya bersedia memenuhi prosedur perizinan
seperti disarankan PPA, asalkan tidak mengganggu jadwal
penyaluran panas bumi itu.
Menurut jadwal, proyek itu harus selesai dalam April. Listrik 30
MW yang dihasilkan dengan panas bumi dari Kamojang itu akan
disalurkan ke Garut, Banjaran dan Cigereleng. Proyek Panas Bumi
itu sendiri terletak di luar kawasan Cagar Alam, sekitar 60 km
sebelah selatan Kota Bandung.
"Kalau harus tunggu keluarnya surat izin resmi, bisa tertunda
berbulanbulan," ujar Faridhan. Sementara Siradjudin sendiri
berpendapat kabel listrik itu sebenarnya tidak perlu melintasi
kawasan Cagar Alam. "Tapi mungkin karena perhitungan ekonomis
akhirnya kabel itu direntangkan ke arah Cagar Alam," ujarnya
filosofis. "Akibatnya Cagar Alam jadi rusak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini