Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bintang yang tak lagi gemerlap

Pemilihan bintang radio dan tvri 1981-1982, diikuti oleh 36 peserta. keluar sebagai juara bintang pria seriosa: e. hutapea, jenis keroncong: tato salmon, jenis hiburan: andy raphon. (ms)

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BABAK final Pemilihan Bintang Radio & TVRI (PBRT) 1981-1982 berjalan lancar. Dua malam berturut-turut, 24 & 25 Maret yang lalu di Studio V RRI Jakarta, 36 calon bintang beradu suara di bidang masing-masing. Meskipun dalam babak semifinal, 20 & 21 Maret sebelumnya, terdengar berbagai keluhan dari mereka yang tak masuk final, akhirnya terpilih juga para bintangnya. DKI Jakarta memang unggul. Bintang pria dari ketiga jenis yang diperlombakan dimenangkan pemegang KTP Ibukota: E. Huupea untuk jenis seriosa, Toto Salmon untuk keroncongj dan Andy Raphon untuk hiburan. Adapun bintang wanita, terbagi rata bagi provinsi di Jawa Seriosa wanita: Atty Sudaryanto da ri Jawa Barat keroncong wanita: Mini Satria dari Jawa Tengah, dan hiburan wanita: Rita Monica dari Jawa Timur. Bukan Jaminan Tapi seperti sudah digariskan, peranan PBRT yang dulu tanpa "T" televisi), makin lama seperti makin memudar. Bintang-bintang itu memang nampak gemerlap di malam final. Sesudahnya, entah apa yang terjadi, suara senandung mereka tak lagi terdengar. Pasaran musik -- di toko kaset, di Radio Swasta Niaga, bahkan di RRI dan TVRI sendiri - tetap dirajai para jagoan tarik suara yang datang dari jalur lain. "Para pemenang bintang radio & tv itu dari segi komersial belum tentu memenuhi syarat," kata pihak Jackson Record, perusahaan rekaman kaset yang antara lain pernah mengorbitkan Ebiet G. Ade. Bagi Jackson Record dan juga perusahaan sejenis yang lain, agaknya bagusnya vokal seorang penyanyi tak cukup menjadi jaminan digemari banyak orang. Dituntut juga adanya kekhasan lagu yang dibawakannya, dan juga "tampang" yang meyakinkan buat menjadi populer--entah yang bagaimana itu. Di tahun 50-an, Pemilihan Bintang Radio dianggap peristiwa penting bagi para penggemar seni suara. Dan sang bintang pun menjadi ukuran baik-buruknya seorang penyanyi. Konon di kala itu sewaktu babak final, hampir semua orang Indonesia menempelkan kuping nva ke radio. Kepopuleran acara ini memang ta bisa dilepaskan samasekali dari peranan RRI. r. Gitamartaja, 62 tahun, bekas orang RRI Jakarta yang mengikuti acara ini sejak pertama-- dia selalu menjadi salah seorang panitia pelaksana atau juri --bisa bercerita banyak. Dalam pengembangan seni-budaya di masyarakat dulu RRI berperanan besar, tutur Gitamartaja. Bahkan tak terbatas pada seni auditif, yang didengarkan, tapi juga seni pertunjukan. "Karena dari segi prasarananya, RRI memiliki lengkap. Ada studio, peralatan dan orang-orangnya," kata Gita pula. Dan studio RRI ada di hampir semua kota penting di Indonesia. Komunikasi dengan masyarakat lewat RRI pun cepat dan dekat. Mengetahui posisi RRI yang demikian itulah, muncul ide Pemilihan Bintang Radio. "Idenya waktu itu, pemilihan bintang radio itu untuk umum, maka harus menampung aspirasi di bidang solis vokal sesuai dengan yang hidup di masyarakat," kata Gita. Maka ditentukan tiga jenis lagu, seriosa, hiburan dan keroncong, yang dianggap bisa dinyanyikan tanpa pendidikan khusus. Yang menarik, sejak awal diadakan PBR (T) itu, selalu diawali sayembara penciptaan lagu ketiga jenis tersebut Tapi memang tak selamanya berhasil Kadang tak seorang pemenang pun muncul. Naskah yang masuk tidak memenuhi syarat minimal. "Maka saya juga menugaskan beberapa komponis yang sudah mantap untuk mencipta lagu baru dengan imbalan tertentu," kenang Gita. Itulah mengapa dulu lagu wajib dalam babak final selalu lagu baru Dan karena itu pula Gita menilai acara ini tak hanya mencari bakat tarik suara, tapi juga menumbuhkan penciptaan lagu yang baik. "Secara rak langsung itu semua memberikan apresiasi kepada masyarakat di bidang musik," katanya. Tapi zaman berubah, muncul pesawat televisi yang kemudian ternyata lebih menarik daripada radio. Yang lebih menentukan lagi: muncul rekaman lagu dalam kaset yang diproduksi besar-besaran, hingga bisa dijual relatif murah. Yang terakhir inilah agaknya, yang kemudian mengendalikan selera masyarakat--bukan lagi RRI. Dan, lebih-lebih lagi, seperti kata pihak Jackson Record produser rekaman kaset mempunyai pilihan sendiri. Apalagi PBR(T) yang sejak 1951 diadakan rutin setiap tahun, dikaitkan dengan peringatan Hari Radio 11 September, kemudian terputus. Setelah 1968, diadakan lagi pada 1974, 1975, kemudian 1980, dan 1982 kini. Sementara orang pun telah berpaling ke tv dan tape recorder. Namun PBRT diam-diam oleh beberapa musikus masih diharap memerankan peranan yang lama. Mus Mualim misalnya, melihat pentingnya PBRT dalam menunjang perkembangan sejarah musik kita. "Tanpa PBRT? Wo, apa jadinya dengan keroncong dan seriosa?" katanya. Ia agaknya melihat PBRT sebagai wadah pengembangan jenis musik yang "susah laku." Yang jelas merasa optimistis adalah Direktur RRI, M. Sani. Ia yakin sejak sekarang penyelenggaraan PBRT tak akan terhenti lagi. "Kini tiap tahun pemerintah telah menyediakan anggarannya. Misalnya untuk tahun 1981-82 ini disediakan Rp 71 juta," tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus