TERIK mentari yang memanggang punggung Icar tidak membuat ibu empat anak itu mengendurkan kegiatannya di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di Cireundeu, Kabupaten Bandung. Dengan penuh semangat, Icar dan kesembilan temannya tetap membolak-balik sampah yang ada di hadapan mereka. Dari tangan-tangan pemulung yang bergumul dengan benda-benda yang "tak menyenangkan" itulah, Bandung mendapatkan penghargaan dari lembaga linkungan PBB, United Nations Environment Program (UNEP). Tidak hanya Bandung yang mendapatkan penghargaan. Surabaya juga mendapatkan penghargaan yang sama, bersama enam kota lain dari beberapa negara, antara lain Bremen (Jerman), Helsinki (Finlandia), dan Mexico City (Meksiko). Kedelapan kota tersebut dinilai telah berhasil menanggulangi masalah-masalah kebersihan dan lingkungan hidup masing-masing. Untuk keberhasilan itulah, Ateng Wahyudi, Wali Kota Bandung, dan Eddy Indrayana, Kepala Dinas Kebersihan Kodya Surabaya -- mewakili Wali Kota Surabaya Poernomo Kasidi -- berangkat ke New York, AS, awal bulan ini. Dalam acara The World Congress of Local Government for Sustainable Future itu, mereka menerima piagam penghargaan dari Noel Brown, Direktur UNEP untuk wilayah Amerika Utara. Bandung, menurut UNEP, telah berhasil menjadi pionir dalam meningkatkan kualitas lingkungannya. Terutama upaya yang dilakukan oleh pemda dalam program daur ulang sampah yang ditumpuk di TPA Cireundeu. Program daur ulang tersebut merupakan proyek yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Kebersihan, milik Dinas Kebersihan Kota Madya Bandung, satu-satunya perusahaan daerah yang khusus mengelola sampah di Indonesia. Perusahaan yang dibentuk pada 1972 itu didirikan karena tekad Pemda Bandung melakukan "perang sampah" ketika itu. Mereka juga mencanangkan slogan Berhiber -- bersih, hijau, dan berbunga -- untuk Kota Sejuk itu. Namun, sampai Ateng Wahyudi menjabat wali kota, ternyata "perang sampah" yang sudah dicanangkan itu belum juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari Kodya Bandung saja, setiap harinya ada 5.300 ton sampah yang menggunung di TPA. Ini yang menjadi masalah. "Membuang sampah memang gampang. Tapi bagaimana membuat sampah itu menjadi duit, itu yang harus dipecahkan," kata Ateng kepada Djembar Wiradisastra, Dirut PD Kebersihan. Untuk menjawab tantangan itu, Djembar kemudian menjalin kerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB, dan juga dengan Lembaga Penelitian Hortikultura, lembaga yang meneliti pemanfaatan sampah untuk pupuk. Dari kerja sama ini, lahir ide untuk melibatkan Icar dkk. dalam proyek mereka. Para pemulung ini ditingkatkan fungsinya menjadi "pemulung plus". Caranya, pemulung yang jumlahnya sekitar sepuluh orang itu diminta memproses sampah organik -- sampah yang mudah busuk dan hancur, misalnya sisa sayuran -- menjadi pupuk kompos. Pembuatan kompos itu tidak mengganggu kegiatan mereka selama ini. Mereka tetap mengumpulkan sampah an-organik, seperti kertas, kaca, plastik, yang mereka jadikan mata pencaharian. Jadi, selain dari memulung -- rata-rata memberikan penghasilan Rp 600 per hari -- mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari PD Kebersihan. Karena, dari pembuatan kompos, mereka dibayar Rp 1.800 per hari. Kompos itu sendiri dijual oleh PD Kebersihan, yang bisa mengurangi beban dana kebersihan Pemda. Lain lagi gaya Surabaya memerangi sampah. Mereka menggelar "pasukan kuning", yang tidak lain warga Surabaya sendiri yang diberi pakaian seragam kuning dan diajak ikut berperan dalam memerangi sampah. "Partisipasi masyarakatlah yang paling mendukung gerakan kebersihan kota," kata Poernomo Kasidi, Wali Kota Madya Surabaya. Surabaya, yang mencanangkan program Surabaya Berseri (bersih, sehat, rapi, indah) menerima Hadiah Adipura -- untuk kebersihan -- tiga kali berturut-turut, 1988, 1989, dan 1990. Hingga kini, pasukan kuning ini berjumlah 10.000 orang. Ini jelas bantuan yang besar sekali, mengingat tenaga kebersihan yang dimiliki oleh Pemda Kodya Surabaya hanya 1.500 orang. Pasukan kuning ini dikelola oleh RT masing-masing, dengan dana yang ditarik dari masyarakat. Mereka menetapkan iuran pembuangan sampah yang dilakukan dari rumah ke rumah. Meski keberhasilan sudah diraih, menurut Dr. Puruhito, seorang pengamat lingkungan, Pemda Surabaya masih perlu bekerja lebih keras, "Masih banyak tempat, terutama di jalan-jalan lingkungan, yang masih kotor," katanya. Rustam F. Mandayun, Hasan Syukur (Bandung), dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini