Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Nasib penerima kalpataru

Warga banjar cenggiling, jimbaran, badung, penerima kalpataru protes karena penggalian batu kapur di desa sebelahnya, ungasan, merusak lingkungan hijau, jalan, dan tanah longsor. bupati meninjau lokasi.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM sampai satu dasawarsa Banjar Cenggiling di Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, menikmati penghargaan Kalpataru, kini kegembiraan itu diganti kecemasan. Kehijauan tanaman kapuk dan jati terancam tertimbun warna putih dari batu kapur. Bahkan, yang lebih seram lagi, sebagian banjar bisa tertimbun tanah longsor. Kecemasan ini bermula pada 1 September lalu. Masyarakat Cenggiling yang hidup tenang tiba-tiba diusik dengan berseliwerannya truk dan buldoser. Memang, bukan Cenggiling yang dituju, melainkan Desa Ungasan di sebelahnya. Tapi kendaraan itu mondar-mandir lewat Cenggiling. Yang pertama menjadi korban adalah jalan desa. Jalan satu-satunya yang menghubungkan Cenggiling dengan dunia luar itu hanya bertahan empat hari. Padahal, jalan aspal itu dihadiahkan oleh Pemda Badung dua tahun lalu karena keberhasilan Cenggiling mempertahankan penghijauan di banjarnya. Protes masyarakat pada bupati datang menyusul. Aktivitas penggalian galian C untuk batu kapur di Desa Ungasan amat membahayakan ketenteraman penduduk Cenggiling. Penggalian itu dilakukan pada bukit kapur, sedang sebagian warga Cenggiling hidup di bagian lembah. Kalau musim hujan tiba, bukit yang sudah digerogoti itu bisa ambruk dan menimbun kekayaan banjar, bahkan bisa menimbun penduduk. Kekayaan utama dan satu-satunya kebanggaan banjar itu adalah kebunnya. Karena kebun inilah nama banjar tersebut sempat terangkat secara nasional ketika Kepala Banjar Cenggiling, I Ketut Karma, memperoleh penghargaan Kalpataru pada 1981 untuk kategori perintis lingkungan. Padahal, kepala banjar dan penduduk Cenggiling membutuhkan waktu 14 tahun sampai hasil keringat mereka dihargai. Tanpa usaha itu, nasib Cenggiling tak akan berbeda dengan Dusun Ungasan, yang hanya bisa digali batu kapurnya. Cenggiling di tahun 1967 adalah tanah kering dan tandus yang tidak bisa ditanami apa-apa. I Ketut Karma baru tercambuk semangatnya ketika melihat keberhasilan Gunung Kidul menghijaukan daerahnya. Sembilan tahun kemudian, Cenggiling sudah menghijau karena tanaman kapuk dan jati bisa tumbuh dengan baik. Palawija sebagai tanaman sela pun ikut menghasilkan panen. Keberhasilan banjar itu mengharumkan nama Kabupaten Badung. Seusai menerima penghargaan, Bupati ikut berpesta pantai dengan seluruh warga Cenggiling. Kini atasan Bupati Badung, yaitu Gubernur Bali, mengeluarkan izin buat penggalian batu kapur di Ungasan. Perusahaan yang memperolehnya, PT Tulang Ampiang Bhuwana (TAB), mengantungi izin itu sejak pertengahan Juli lalu. Karena itu, Direktur PT TAB, Nyoman Suarsana, berlindung di balik izin itu. "Kami kan tidak menggali Cenggiling. Kami juga sudah punya izin Gubernur lengkap dengan rekomendasi Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan)," katanya. Tapi bukan itu yang ditentang warga Cenggiling. Mereka mengharapkan perusahaan itu memperhatikan lingkungan hijau di sekitar galian dan mengurangi beban jalan. Jalan Desa Cenggiling yang hanya berkekuatan empat ton kini harus memikul beban lebih dari 10 buah truk yang seliweran lebih dari 12 jam tiap harinya. Batu kapur itu digunakan untuk perluasan Bandara Ngurah Rai. Protes warga rupanya didengar bupati. Pada 8 September lalu, Bupati Badung beserta aparatnya meninjau lokasi dan mempertemukan PT TAB dengan masyarakat Cenggiling. Hasilnya, rakyat Cenggiling akan tetap meneruskan tuntutannya, padahal pihak perusahaan berjanji akan memperlebar dan memperbaiki jalan yang sudah telanjur rusak. "Kami tak ingin janji-janji. Kalau belum ada bukti hitam di atas putih, kami akan tetap menuntut," kata I Ketut Karma tegas. Tampaknya warga Cenggiling, yang pernah menerima kunjungan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim karena keberhasilannya, harus siap cemas selama lima tahun. Tanah galian PT TAB seluas 4,37 hektare sudah berstatus milik pribadi dan bisa digali terus selama lima tahun. Pihak pemda yang dihubungi hanya mengatakan bahwa lokasi penggalian itu sudah sesuai dengan perizinan. "Lokasi penggalian bukan daerah penerima Kalpataru," ujar Kepala Biro Humas Pemda Bali Ida Bagus Pangjaya. Diah Purnomowati dan Silawati (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus