Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Si Gadis Kecil Datang Lagi

Sejumlah badan pengamat cuaca dan iklim meramal La Nina akan terus menguat hingga Maret tahun depan. Indonesia berpotensi kembali diguyur hujan ekstralebat. Beberapa daerah rentan banjir.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama berpuluh tahun, petani Jawa patuh kepada perhitungan titi kolo mongso yang tersurat di buku primbon. Dari waktu menyemai benih, saat menanam benih, kapan menebar pupuk, hingga waktu memanen, semua dilakukan berdasarkan petungan primbon.

Namun perilaku langit semakin susah ditebak. Siklus musim yang biasanya berulang dan menjadi rujukan primbon tahun ini tak berlaku. Petani-petani arbei di Magetan, Jawa Timur, pun salah membaca musim. Musim hujan yang biasanya baru datang pada Oktober, ternyata, tiba jauh lebih awal. Sejak Juni lalu, hujan lebat sudah mengguyur sebagian besar wilayah Indonesia.

Akibatnya, petani arbei gagal panen. Menurut Narjo, petani arbei di Desa Cemoro Sewu, Plaosan, lebih dari 80 persen buah arbei di pohon membusuk disiram hujan yang mengguyur hampir sepanjang hari. Saat musim normal, dia bisa memanen 10 kilogram arbei setiap dua hari. Sekarang hasil panennya jauh merosot.

”Sekarang paling banyak dua atau tiga kilogram,” Narjo mengeluh. Hujan juga membuat udara lebih lembap sehingga memicu kemunculan penyakit tanaman. ”Kalau hanya hama, masih bisa kami atasi dengan insektisida. Tapi, kalau hujan sudah turun, petani tidak berkutik.” Toh, tak kapok bertanam arbei, Narjo berencana kembali menanam arbei tahun depan.

Tahun ini, musim kemarau memang demikian singkat. Menurut Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Soeroso Hadiyanto, tahun ini bahkan merupakan musim paling ekstrem dalam 12 tahun terakhir. Pada 1998, setelah kemarau kerontang yang sangat panjang, selama berbulan-bulan kemudian sebagian besar wilayah Indonesia ganti diguyur hujan lebat. Musim hujan pada 1998 dan 1999 jauh lebih panjang daripada waktu normalnya.

Sekarang sebagian besar wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan. Hujan-hujan ekstrem (curahnya lebih dari 50 milimeter per hari) sepanjang musim peralihan atau pancaroba lalu juga sudah berkurang. Pada Juli, terjadi 125 kali hujan ekstrem di seluruh wilayah Indonesia. Pada September, hujan ekstrem berkurang menjadi 115 kali. ”Pada sepuluh hari pertama Oktober, hanya terjadi 14 kali hujan ekstrem,” kata Soeroso, Selasa dua pekan lalu.

Apakah itu berarti frekuensi hujan ekstrem akan terus berkurang? Belum tentu. Sebab, berbagai faktor yang mempengaruhi musim hujan di Indonesia menunjukkan tanda terus menguat. Soeroso mengatakan ada tiga faktor utama yang menentukan hitam, kelabu, atau birunya langit di Indonesia: El Nino-La Nina, Dipole Mode, dan suhu muka laut Indonesia.

El Nino atau Si Bocah Kecil adalah memanasnya suhu muka laut di sepanjang ekuator Samudra Pasifik. Ketika Si Bocah berulah, seperti pada 1982, 1987, dan 1997, awan hujan terseret ke arah timur Pasifik, sehingga Indonesia, Australia, dan Filipina mengalami kemarau panjang. Sebaliknya, jika kembarannya, Si Gadis Kecil atau La Nina, muncul, suhu muka laut di Pasifik lebih dingin di bawah angka normal dan pada saat yang sama suhu muka laut di Indonesia memanas. Maka angin akan meniup awan hujan ke wilayah Indonesia.

Menurut Pusat Prediksi Iklim di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat, La Nina lebih jarang muncul ketimbang El Nino. Kemunculan El Nino memang tak selalu diikuti kembarannya itu. Dalam 50 tahun terakhir, Si Gadis Kecil hanya muncul pada 1964, 1970, 1973, 1975, 1988, 1995, 1998-1999, dan 2007.

Dipole Mode adalah peristiwa yang kurang-lebih serupa dengan El Nino-La Nina yang terjadi di Samudra Hindia. Panas atau dinginnya suhu muka laut Samudra Hindia di sebelah timur Benua Afrika banyak mempengaruhi hujan atau musim kemarau di bagian tengah dan barat wilayah Indonesia.

Sejak awal Mei lalu, El Nino sudah berlalu, dan perlahan suhu muka laut di sekitar ekuator Samudra Pasifik turun hingga di bawah normal. La Nina lemah (kurang dari -0,5 derajat Celsius) muncul pertengahan Juni dan terus menguat.

Indeks Osilasi Selatan pada Agustus lalu juga sudah menunjukkan angka +16,8 atau di atas ambang normal +10, yang berarti angin pasat akan bertiup ke arah Indonesia membawa awan hujan. Itu membuat hujan datang lebih awal di beberapa wilayah negeri ini. ”Kami perkirakan La Nina akan bertahan hingga Maret tahun depan,” kata Widada Sulistya, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG. Bahkan, menurut William Patzer dari Badan Antariksa Amerika, bisa jadi Si Gadis Kecil akan bertahan lebih lama karena panas yang tersimpan di perairan Pasifik sudah jauh di bawah angka normal.

Seberapa kuat Si Gadis Kecil mengembuskan hujan ke wilayah Indonesia, masing-masing badan meteorologi punya prediksi. Soeroso mengatakan La Nina akan menguat hingga November-Desember (lihat grafik) dan kemudian melemah. Sedangkan indeks Dipole Mode, walaupun angkanya negatif, berada pada kisaran normal. Dia meramal puncak hujan akan terjadi pada awal tahun depan. Dan ini yang perlu diwaspadai. ”Curah hujannya bisa lebih tinggi daripada Juli dan Agustus lalu,” kata Widada. NOAA dan Japan Agency for Marine Science and Technology (Jamstec) menujum La Nina tahun ini akan lebih kuat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Beberapa daerah harus bersiap mengantisipasi hujan ekstrem. Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan sebagian wilayah Kalimantan Barat mesti siaga merah. Berdasarkan perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, sebagian wilayah di provinsi itu sangat rawan banjir, terutama pada November dan Desember nanti.

Jakarta, yang pernah direndam banjir besar pada Februari 2002, juga harus siaga. Sebagian wilayahnya, seperti Kebayoran, Kramat Jati, Pasar Minggu, dan Tebet, masuk daerah yang berpotensi banjir. Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Fatahillah mengatakan mereka sudah jauh-jauh hari membuat rupa-rupa persiapan. ”Perahu karet, jaket, logistik, obat-obatan, tenda, dan dapur umum sudah siap di semua kecamatan,” kata Fatahillah, awal bulan lalu.

Sapto Pradityo, Nalia Rifika, Ishomuddin (Magetan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus