Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gagal Sejak Awal

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak dahulu kala, Semenanjung Jakarta adalah daerah rawan banjir. Penyebab utamanya adalah peningkatan debit air Sungai Cisadane, Angke, Ciliwung, dan Bekasi pada musim hujan. Sejak pemerintah penjajah Belanda membangun Batavia pada abad ke-16, penanggulangan banjir kota ini sudah dirancang dengan pembangunan kanal-kanal seperti di ibu kota negara kolonial, Amsterdam. Namun, dalam perkembangannya, pembangunan sistem drainase di Jakarta tidak pernah mampu mengalahkan banjir.

Pembangunan drainase pertama di Batavia, menurut majalah mingguan de Ingenieur, dimulai pada 1634. Ketika itu dibuat sistem pengendalian air di tebing timur muara Ciliwung alias Kali Besar. Muara itu diiris dengan terusan-terusan untuk jalur pelayaran dalam kota, pembuangan air, dan pertahanan daerah pusat Kota Batavia. Semua jalur itu berhubungan dengan terowongan bawah tanah yang mengular sampai tanggul laut di lepas pantai.

Ketika Batavia diperluas ke selatan, timur, dan barat, sistem drainase itu juga berkembang menjadi 16 jalur terusan. Pada pertengahan abad ke-17, jaringan itu sudah menjalar sampai ke sungai-sungai di luar Kota Batavia. Jejaring saluran air bawah tanah itu juga berfungsi memasok air dari luar ke dalam kota karena Kali Besar pada musim kemarau kekurangan air.

Pada 1647 dibangun terusan Ammanus atau Bandengan dari Penjaringan ke arah barat, berlanjut ke Kali Angke, dan terusan Ancol dari Kali Sunter ke Kota. Di bagian selatan Ammanusgracht—terusan Ammanus—digali sodetan dari Kali Angke yang bermuara di Kali Grogol.

Pada 1653-1659, Jacob Bacheracht membuat saluran sejajar dengan Ammanusgracht. Bacherachtgracht atau saluran Patekoan terletak sejajar dengan Jalan Pangeran Tubagus Angke terus ke barat hingga bertemu dengan Kali Krukut. Peran kedua terusan itu menjadi penting dengan digalinya saluran Mookervaart pada 1678-1689 dari Kali Cisadane sampai Kali Angke.

Lalu jalur Kali Ciliwung dialihkan ke sebelah selatan, melalui gorong-gorong di lokasi antara Benteng Noordwijk—kini di seberang Masjid Istiqlal—melewati terusan Pasar Baru dan Gunung Sahari. Dari Benteng Noordwijk kemudian digali pula sambungan ke Benteng Rijswijk, kini Harmoni; juga dibuat sodetan dari Ciliwung ke Kali Sunter yang disebut Oosterkanaal, belakangan disebut terusan Parapatan. Terusan ini ditutup atas saran Herman van Breen, ahli tata air Belanda, pada 1920-an.

Pada 1679 digali lagi terusan terakhir di Kali Angke, dekat Pesing. Selokan ini pada 1687 ditarik lagi ke Kali Krukut. Semua penggalian itu membuat tata air Batavia kacau-balau, ancaman banjir meningkat, lumpur mengendap, dan genangan bertambah luas pula. Keadaan tambah parah saat Gunung Salak meletus pada awal 1699. Semua terusan tersebut tertutup lumpur.

Pada 1749, Gubernur Jenderal Van Imhof melepaskan sebagian arus banjir Ciliwung melalui Oosterslokan atau Kali Baru Timur untuk pengairan dan lalu lintas perahu. Selokan ini pada 1753 ditarik terus sampai ke Oosterkanaal di tengah Jakarta. Ternyata terusan ini tak cocok untuk pelayaran karena perbedaan tinggi antara hulu dan hilir, sehingga jalur air ini kemudian hanya berfungsi untuk pengairan.

Alur lain Westerslokan atau Kali Baru Barat yang pecah menjadi tiga cabang Westertak, Middentak, dan Oostertak. Di antara tiga cabang ini, hanya bagian tengah atau Middentak yang masih ada dan cabang inilah yang sekarang disebut Kali Baru Barat. Lainnya sudah ditutup. Pada 1773 dicetuskan kembali rencana membuat pintu penahan air di bagian hulu dari saluran Mookervaart.

Banjir di Batavia makin kronis pada 1832, meski sudah dibuat muara baru untuk Sungai Ciliwung. Adapun muara yang lama menjadi satu dengan terusan pelabuhan yang dilindungi pintu di Pasar Ikan. Perbaikan tata air dimulai lagi setelah didirikan Departemen Tata Air dan Bangunan pada 1854, mencakup wilayah seluas 32 kilometer persegi, termasuk Tanjung Priok.

Herman van Breen ditugasi pemerintah ketika itu mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Van Breen membangun saluran penampungan akhir di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan mengalirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran pengepul itu kemudian dikenal sebagai kanal banjir barat yang membelah Jakarta dari Pintu Air Manggarai, dan bermuara di kawasan Muara Angke.

Penetapan Manggarai sebagai titik awal kanal karena ketika itu daerah tersebut merupakan batas selatan kota yang relatif bebas banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, kanal banjir dilengkapi beberapa pintu air. Pintu Air Manggarai untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama, Karet untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah terus ke Muara Baru, serta mengendalikan banjir dari Menteng dan Weltevreden.

Setelah kanal banjir barat kelar, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Namun, secara keseluruhan, drainase yang dibangun di masa pemerintah Belanda tak sukses mengatasi banjir di Batavia.

AT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus