Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Drainase Buruk, Banjir Makin Menjadi

Hujan yang melewati jatah musimnya telah menghajar Jakarta dengan banjir bertubi-tubi. Dampak genangan air lebih parah akibat drainase kota yang buruk. Pembenahan gorong-gorong saja tidak cukup.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azan asar baru usai dikumandangkan, tapi langit Ibu Kota sudah pekat bak malam. Sebaran awan gelap di langit menutup rapat-rapat cahaya matahari sore. Telepon seluler Kepala Bidang Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki berdering. Seperti ”tradisi”, saat air turun deras dari langit, telepon pun semakin sering berdering. Para atasan, termasuk Wakil Gubernur Prijanto, menghubunginya langsung, ingin mengetahui ketinggian air di beberapa kawasan Jakarta. ”Bagaimana sekitar Sarinah dan Gandaria City?” begitu pertanyaan yang terdengar.

Tarjuki pun sibuk mengecek anak buahnya yang bertebaran di lapangan. ”Gandaria City selamat, cuma di seberangnya tergenang,” demikian laporan masuk lewat handy-talky. Menurut catatan Dinas Pekerjaan Umum, di Jakarta ada 78 titik genangan, mulai Kapuk di barat sampai Kampungrambutan di timur.

Pengendalian banjir di Kota Jakarta memang berada di tangan Tarjuki dan pasukannya. Sebab, dia dan timnya bertanggung jawab atas drainase kota. Drainase terdiri atas saluran makro, submakro, mikro, sodetan, waduk, sampai polder. ”Ada yang terbuka dan tertutup di bawah jalan. Itu semua sistem drainase,” ujar lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu.

Tanpa harus melakukan survei mendetail pun, kita sudah tahu bahwa drainase di Jakarta tidak berfungsi optimal sebagai salah satu ”penakluk” banjir. Contohnya, lihat saja gorong-gorong seukuran 1,25 x 2,5 meter persegi di bawah Jalan M.H. Thamrin, pusat Kota Jakarta. Kondisinya memprihatinkan: dipenuhi sampah dan kabel-kabel. ”Sudah tak layak lagi,” kata konsultan drainase Jakarta, Hadi Purwanto. Di area itulah, pada Februari 2008, mobil R-1 yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak bisa lewat akibat terjebak banjir.

Nah, gorong-gorong di Thamrin itulah yang kini sedang dibenahi. Bila Anda melintasi jalan yang diapit gedung-gedung jangkung itu di malam hari, akan tampak kesibukan orang-orang membersihkan dan menata ”perut” Jakarta. Saat ini tengah dibuat gorong-gorong baru di beberapa tempat untuk mengatasi banjir, di antaranya di bawah Jalan Thamrin, tepatnya di depan Sarinah, Sky Building. Ukurannya lebih besar, yaitu 4 x 3 meter, sehingga diharapkan bisa mengatasi genangan di kawasan Sarinah. ”Itu merupakan crossing untuk mengalirkan air dari Jalan Wahid Hasyim, Sabang, Sunda, dan seputar Sarinah ke Kali Cideng,” kata Tarjuki.

Kawasan Thamrin jelas bukan satu-satunya yang drainasenya buruk. Menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriatna, banyak drainase atau gorong-gorong yang berubah dari yang terbuka menjadi tertutup akibat pelebaran jalan, seperti yang ada di Jalan Sudirman, Haji Agus Salim, dan Cikini. Padahal karakter gorong-gorong terbuka tidak bisa dipaksakan menjadi tertutup. ”Akibatnya, ada gorong-gorong yang meledak karena mampet,” ujarnya.

”Desain dan kapasitas drainase sudah tak sesuai dengan kebutuhan Kota Jakarta,” Yayat menambahkan. Contohnya, gorong-gorong lama yang ada di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat. Saat Tempo mengamatinya minggu lalu, kondisinya memang tidak layak lagi. Selain kecil—berukuran sekitar 30 sentimeter persegi—terjadi pendangkalan. Air kotor terlihat dari lubang besi yang menjadi pembuangan air dari jalan, padahal hari itu tidak ada hujan. Bahkan lubang-lubang besinya sudah menyempit akibat lapisan beton dan aspal sewaktu perbaikan jalan.

Di Jalan Sunda, di belakang gedung Sarinah, gorong-gorongnya memang lebih besar, dengan tinggi sekitar 2 meter dan lebar 1,5 meter. Namun kondisinya penuh sampah. Rabu pekan lalu para pekerja masih sibuk membersihkan gorong-gorong dari sisa bahan bangunan tak terpakai. Adapun di depan Gereja Santa Theresia, para pekerja kesulitan membangun sambungan alur gorong-gorong tadi. Sebab, di dalam tanah yang sudah digali terdapat berbagai kabel melintang, seperti kabel listrik, telepon,, hingga pipa saluran air dan gas. Inilah yang membuat pembangunan gorong-gorong menjadi lebih lambat karena harus memperhitungkan posisi kabel-kabel.

Gorong-gorong di kawasan Thamrin yang sedang dibangun itu, menurut Hadi, akan menyatu di gorong-gorong utama yang ada di Jalan Thamrin. ”Ini bisa menghilangkan genangan di sekitar Kebon Sirih hingga Jalan Thamrin,” ujar insinyur teknik sipil dari Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, itu.

Pembenahan gorong-gorong seperti di Jalan Thamrin memang penting, mengingat drainase yang ada di Jakarta sebagian besar merupakan peninggalan masa penjajahan Belanda. Selain kondisinya sudah tidak prima—karena sudah tua dan kurang dipelihara—keseluruhan sistem drainase yang dibangun di masa Belanda belum berhasil menaklukkan banjir pada masanya (lihat ”Gagal Sejak Awal”).

Sebenarnya dalam master plan tata kota Jakarta 1965-1985, pembangunan drainase sudah dirancang untuk menyempurnakan peta tata air buatan Herman van Breen, ahli tata air Belanda. Namun rencana itu tak sepenuhnya diwujudkan. Dari Cengkareng Drain, menurut Hadi Purwanto dan Tarjuki, hanya dilaksanakan seperempat bagian. Sambungannya hanya saluran kecil.

Bahkan, setelah melihat peta rencana 1965-1985, ada potongan alur dari Sungai Pesanggrahan dan Kali Grogol di selatan Jakarta yang tak dibangun. ”Jika irisan alur itu dibangun, Petogogan aman dari genangan,” kata Hadi seraya menunjuk peta. Irisan yang ditunjuk hanya sepanjang tiga kilometer.

Pembenahan gorong-gorong yang ada di Jalan Thamrin itu memang baru sebagian kecil dari perbaikan drainase di Jakarta. Sebab, berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, saluran makro yang bermuara di sungai-sungai dan saluran submakro yang berujung di waduk dan situ sudah sangat tidak memadai lagi menampung debit air bila hujan deras.

Sebenarnya sudah ada rencana komprehensif untuk menata ulang daerah aliran sungai—karena aliran drainase Kota Jakarta sejak zaman Belanda mengikuti aliran sungai yang ada. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air, koordinasi pengaturan air permukaan menjadi tanggung jawab Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah. Konsepnya adalah one river, one integrated plan, one coordination system management.

Kanal banjir timur yang akhirnya berhasil tembus ke laut pada 2010 ini, menurut Hadi, walau terlambat, bisa menyelamatkan beberapa titik genangan yang kronis, terutama daerah Cipinang Indah, Jakarta Timur. Yang kini dilakukan Dinas Pekerjaan Umum DKI, menurut Tarjuki, adalah optimalisasi sarana bangunan drainase yang telah ada melalui kegiatan pemeliharaan rutin, periodik, rehabilitasi, dan normalisasi saluran yang sudah ada. Membangun gorong-gorong baru yang lebih besar agar genangan di tempat-tempat strategis bisa diatasi juga dilakukan. ”Genangan sudah mulai berkurang, bisa diatasi 30 persen dari 78 titik genangan yang ada,” master teknik sipil Universitas Indonesia itu mengklaim.

Namun, menurut arsitek ITB, Ridwan Kamil, pembangunan gorong-gorong tersebut tidak akan banyak membantu. Karena genangan dan banjir di Jakarta tidak hanya disebabkan oleh gorong-gorong yang jelek. Beberapa faktor lain juga ikut membuat Jakarta tergenang, seperti daratan yang lebih rendah dibanding air laut, penggunaan air tanah yang berlebihan, dan minimnya ruang terbuka hijau.

Ruang terbuka hijau, menurut Ridwan, idealnya 30 persen dari luas seluruh kota, agar bisa berfungsi optimal sebagai penyerap air. Sisa air yang tak terserap ruang terbuka hijau inilah yang dibuang lewat sistem drainase. Masalahnya, Jakarta minim ruang terbuka hijau dan kapasitas drainase tak mencukupi. ”Jadi sudah multiproblem,” ujar arsitek perancang Marina Bay Waterfront Master Plan di Singapura ini.

Solusinya? Menurut Ridwan, menambah ruang terbuka hijau, memperbaiki dan menambah kapasitas drainase yang mampet, serta mengubah perilaku warga yang membuang sampah ke saluran air. ”Ketiganya harus berjalan bersama, solving by engineering, ecology, dan behaviour,” ujar peraih International Young Creative Entrepreneur 2006 dari British Council itu.

Sejalan dengan Ridwan, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, juga mengakui perlu langkah revitalisasi total untuk memperbaiki sistem drainase. Menurut dia, Jakarta sudah seharusnya menerapkan konsep drainase ramah lingkungan, yaitu dengan membuat drainase yang aliran airnya tidak ke laut lagi, tapi diserap ke dalam tanah di bawah saluran.

Ahmad Taufik, Tito Sianipar

Jakarta Terjebak Air

Kepala Bagian Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki mengakui kondisi drainase dan sungai di Jakarta sudah tidak memadai. ”Air hujan sudah tidak dapat ditampung drainase,” katanya. Masalah itu sudah terjadi sejak zaman Belanda, yang diperparah oleh tak adanya perencanaan baik dalam tata kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus