HIDUP dengan satu ginjal ternyata tidak mempunyai kelainan.
Sembilan orang penyumbang (donor) ginjal dari sembilan kali
pencangkokan ginjal di Indonesia masih tetap segar bugar. Dan di
antara sembilan orang yang pernah mendapat ginjal cangkokan,
semuanya juga hidup normal.
Hal itu misalnya dibuktikan Maria, seorang wanita yang tinggal
di Medan. April lalu ia menyerahkan salah sebuah ginjalnya untuk
menyelamatkan Magontang, adik kandungnya, melalui sebuah operasi
di RS Cikini akarta. Jika sang adik harus menunggu beberapa
hari untuk penyembuhan, Maria, 40 tahun, sudah dapat
berjalan-jalan dua hari setelah operasi berlangsung.
Dan sekarang Maria, karyawati sebuah perusahaan negara di
Sumatera Utara, sudah sehat seperti sediakala. Ia mengaku tak
merasa kelainan apa-apa pada tubuhnya, kecuali bekas jahitan
ketika ginjalnya dikeluarkan. Hal itu dibenarkan dr. R.P.
Sidabutar, seorang ahli pencangkokan ginjal yang memimpin
operasi terhadap Magontang. "Paling-paling hanya ada pengaruh
psikis, yaitu karena dia sadar hanya memiliki satu ginjal lagi,"
kata dokter itu.
Padahal, menurut Sidabutar, karena sudah cukup parah,
kemungkinan berhasilnya operasi terhadap Magontang, 33 tahun,
waktu itu hanya 63%. Tapi keberhasilan itu rupanya banyak
ditolong oleh kesediaan Maria menyerahkan buah ginjalnya. Sebab
dari pemeriksan pendahuluan, wanita itu memang meiliki ginjal
dan darah yang paling cocok untuk sang adik, di antara tujuh
orang kakak kandung Magontang.
Chaerun Kosim
Memang, kata Sidabutar, donor ginjal yang baik adalah saudara
kandung orang yang akan menerima pencangkokan. Lebih bagus lagi
bila saudara kembarnya. Sebab antara dua orang yang bersaudara
dung mempunyai jaringan ginjal yang sama -- dengan demikian
ginjal yang dicangkokkan akan langsung cocok nggantikan ginjal
yang telah dibuang ana tak berfungsi lagi. Hal ini dikekakan
Sidabutar juga dalam konpesi pas Senin pekan lalu menjelang gres
11 Perhimpunan Nefrologi Indoia yang berlangsung di Jakarta 27
tember 1981.
Pengalaman Maria, juga dibenarkan seorang donor lainnya, Chaerun
Kosim, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Yogyakarta.
Januari 1980, ia mendapat telepon untuk datang ke Jakarta,
karena kakaknya, dr. Chaeri Kosim, perlu donor ginjal. Kedua
ginjal kakaknya itu tidak berfungsi lagi. Satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan dokter Puskesmas di Lebaksia, Tegal itu,
hanyalah dengan pencangkokan ginjal.
Kebetulan dari 13 orang saudara dokter itu, hanya Chaerun yang
cocok menjadi donor bagi kakaknya. Sebab berdasarkan
pemeriksaan, ia yang paling kuat untuk menghadapi kemungkinan
risiko hidup dengan satu ginjal. Selain itu, golongan darah
Chaerun cocok dengan kakaknya.
Untuk menguatkan dirinya, Chaerun mendatangi seorang dokter ahli
ginjal dan seorang psikiater di Yogya. Kedua ahli itu
menyarankan: "berikan saja, apalagi kakakmu masih punya harapan
bagi keluarga." Menurut dokter ahli ginjal tadi, dengan satu
gihjal yang bekerja 25%, fungsinya sama dengan ginjal yang
lengkap.
Mantap sudah tekad Chaerun. "Tekad saya ketika itu hanya satu,
menolong kakak," ujarnya. Operasi pun berjalan lancar 29 Januari
1980. Chaerun pun bangga kepada keluarga dan lingkungan.
"Apalagi operasi itu berhasil," katanya.
Seminggu setelah satu ginjalnya diambil dr. Sidabutar di RS
Cikini, Chaerun sudah pulih kembali dan pulang ke Yogya. "Dua
minggu setelah operasi, saya sudah ikut pertandingan sepakbola,"
tutur Chaerun. Ia mengaku tidak ada masalah yang dialaminya
sampai sekarang. Kecuali bekas jahitan di perutnya.
Soal keturunan pun ternyata tidak menjadi masalah bagi orang
yang hanya memiliki satu ginjal lagi. " Istri saya sekarang
sedang mengandung enam bulan," kata Chaerun di rumah
kontrakannya, Kampung Bausasran Yogya, pekan lalu. Sepuluh bulan
setelah ginjalnya diambil, ia menikahi gadis sekampung, Tegal.
Sayang, dr. Chaeri Kosim meninggal dunia Mei yang lalu. Karena
ternyata dokter itu tidak menuruti nasihat dokter yang pernah
mengoperasinya. Dr. Chaeri dinasihati agar setiap bulan
mengontrolkan ginjalnya ke dokter di RS Cikini selama 2 tahun.
Namun dokter muda itu hanya mematuhi nasihat itu selama 1 tahun.
Gadis Fransisca Xaveria Siswati, 18 tahun di Yogya, sampai hari
ini tetap bangga, karena berhasil menyelamatkan jiwa kakaknya,
Leo Setiadi. Agustus 1980 lalu, ia mendapat surat kilat khusus
dari seorang familinya agar datang ke Jakarta. Ternyata
ginjalnya dibutuhkan untuk menolong kakaknya. "Bagi saya ketika
itu tidak ada pertimbangan apa-apa, pokoknya pasrah saja," ujar
pelajar kelas III SMA Stella Duce Yogya itu.
Hasil pemeriksaan memang menunjukkan, Setiawati satu-satunya
calon yang cocok, dan golongan darah mereka juga sama. Yang
khawatir justru kakaknya, Leo Setiadi sendiri. "Jangan-jangan
kami berdua sama-sama jadi korban," kata Leo cemas ketika itu
seperti dituturkan Siswati. Operasi pencangkokan berlangsung 13
September 1980, dan berhasil.
Asuransi
Sampai saat ini Setiawati tidak merasa ada kelainan di tubuhnya.
Dua minggu setelah satu ginjalnya diambil, ia sudah kembali
bersekolah, bahkan mengikuti pelajaran olahraga. "Saya sangat
senang, karena usaha itu berhasil," ujar Setiawati. Leo Setiadi
sekarang memang sudah pulih kembali dan kembali bekerja di
sebuah percetakan di Jakarta.
Operasi pencangkokan ginjal pertama berlangsung di RSCM Jakarta,
terhadap seorang pasien, Freddy dari Ternate, pada Oktober 1977.
Pencangkokan baru dibutuhkan bila ginjal pasien hanya berfungsi
kurang dari 5%. Ginjal yang berfungsi 5% sampai 10% masih bisa
dinormalkan kembali dengan perawatan yang intensif. Bagi yang
ginjalnya masih berfungsi sekitar 20%, bisa dipulihkan kembali
dengan pengobatan biasa saja. "Jadi benar-benar yang ginjalnya
tidak berfungsi lagi yang perlu donor," ujar Sidabutar.
Untuk menjadi seorang donor juga dibutuhkan
persyaratan-persyaratan. Selain sehat seorang donor harus di
bawah usia 50 tahun, dan diperkirakan si donor bisa hidup normal
dengan satu ginjal. "Seorang donor ginjal pada dasarnya mampu
untuk bekerja kembali, bahkan menjadi pilot pesawat terbang,
bisa masuk asuransi jiwa--pokoknya mampu semua," kata Sidabutar
mantap.
Operasi pencangkokan, menurut idabutar, berlangsung rata-rata 4«
jam. "Lebih cepat dari rata-rata di Jepang yang tujuh jam,"
katanya. Setelah dioperasi seorang donor harus dirawat selama 10
hari di rumah sakit.
Selain Sidabutar, Indonesia kini memiliki lima ahli khusus
ginjal, dan empat orang ahli bedah ginjal. Jumlah ini diakui
Sidabutar masih kurang untuk Indonesia. Sebab setiap tahun
diperhitungkan, ada 2.240 orang pasien yang membutuhkan ginjal
di Indonesia. Tapi kesulitan lain adalah masalah biaya. Sebab
setiap operasi membutuhkan biaya Rp 2 juta, jumlah yang tentu
berat bagi pasien yang tidak tergolong mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini