Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DHARSONO Hartono benar-benar "edan". Dia tinggalkan karier cemerlang serta uang berlimpah di Wall Street dan pulang ke Indonesia untuk sebuah bisnis baru yang belum jelas juntrungan duitnya: bisnis konservasi hutan.
Lulus dengan menyandang master of financial engineering dari Cornell University, Amerika Serikat, 12 tahun lalu, Dharsono kemudian bekerja di perusahaan konsultan PricewaterhouseCoopers. Hanya bertahan tiga tahun di PwC, dia loncat ke raksasa keuangan JP Morgan Chase di jantung keuangan dunia, Wall Street, New York.
Ketika pulang ke Indonesia pada 2004, dia bertemu dengan teman kuliahnya di Cornell, Rezal A. Kusumaatmadja. "Dia menawari saya peluang bisnis konservasi lingkungan hutan," kata Dharsono, 36 tahun, pekan lalu. Bersama beberapa rekannya, Rezal mendirikan perusahaan konsultan lingkungan, Starling Resources, di Denpasar, Bali. Kala itu, bisnis konservasi lingkungan masih barang "aneh" di Indonesia. Baru setelah Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007, bisnis konservasi lingkungan hutan ini mulai populer.
Setelah mengumpulkan rupa-rupa informasi, Dharsono mendirikan PT Rimba Makmur Utama pada 2007. Bermitra dengan Starling, Rimba Makmur menggarap proyek konservasi hutan gambut Katingan di Kalimantan Tengah seluas 220 ribu hektare. Berapa pendapatan yang sudah diperoleh Dharsono? "Belum serupiah pun uang masuk," kata Dharsono sembari terbahak. "Sekarang uang kami malah keluar terus."
Dia berhitung sudah sekitar US$ 2 juta atau Rp 18 miliar duit investor Rimba Makmur yang dibenamkan di hutan gambut di tengah Pulau Kalimantan itu. Sebagai mantan pemain keuangan di Wall Street, Dharsono tentu tidak asal menebar duit tanpa hasil. "Semoga dalam 18 bulan ini izin kami dapat, validasi metodologi kelar, dan sudah bisa bertransaksi kredit karbon," katanya.
Hampir dua tahun dia mengurus izin konsesi hutan restorasi ekosistem, tapi izin proyek Katingan belum turun juga dari Kementerian Kehutanan. Izin tak didapat, maka tentu saja tak akan ada transaksi. Dharsono berhitung, tanpa izin dan uang masuk, bisnisnya hanya akan bertahan tiga tahun lagi. "Kami kan bukan lembaga sosial," ujar Dharsono. Tapi, dalam tiga tahun ke depan, apa pun bisa terjadi. "Sepuluh tahun lalu, bisnis batu bara juga tidak laku, tapi sekarang malah jadi rebutan."
Hutan Indonesia memberikan kekayaan berlimpah seperti kayu dan batu bara, tapi di dalam perutnya juga terkandung bermiliar ton gas karbon dioksida yang bisa mencemari atmosfer. Jika hutan digunduli dan gambut dikeringkan, gas karbon dioksida itu akan terlepas di udara dan menimbulkan efek rumah kaca. Akibat efek rumah kaca, suhu bumi terus memanas.
Berdasarkan kurva biaya penurunan gas rumah kaca, total emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2005 sebesar 2,052 miliar ton per tahun atau 5 persen dari total emisi dunia. Cina merupakan penyumbang polusi karbon dioksida terbesar, menyemburkan 7,6 miliar ton gas pencemar per tahun, disusul Amerika Serikat sebesar 6,8 miliar ton karbon dioksida setiap tahun.
Dari dua miliar ton gas karbon dioksida yang disemburkan Indonesia ke udara, 85 persen atau 1,74 miliar ton bersumber dari penggundulan (deforestasi dan degradasi) hutan, kebakaran gambut, ekspansi perkebunan, dan perubahan komposisi gambut (lihat infografis). Tanpa perubahan apa pun, emisi karbon dioksida Indonesia pada 2030 akan menggelembung satu setengah kali lipat menjadi 3,26 miliar ton.
Setiap tahun, 1,1 juta hektare hutan di negeri ini, juga berjuta-juta hektare hutan di Brasil, Sudan, Burma, dan Venezuela, hilang. Agar bumi tak semakin membara, penggundulan hutan harus dihentikan dan hutan gambut harus dipulihkan. Repotnya, ribuan orang hidup dari hasil hutan. Mereka mengambil kayu atau batu bara, membuka hutan, dan mengubahnya menjadi kebun kelapa sawit. "Jika tak ada insentif, bagaimana mungkin meminta mereka berhenti menebang pohon? Mereka butuh makan," kata Dicky Simorangkir, Direktur Program Hutan The Nature Conservancy Indonesia.
Insentif itulah yang diberikan lewat skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Gampangnya, setiap usaha konservasi hutan yang berhasil mengurangi emisi karbon dioksida akan mendapatkan insentif uang. Skema pengurangan emisi dari deforestasi mulai dibahas dalam Konferensi Perubahan Iklim di Montreal, Kanada, lima tahun lalu. Lewat lobi dan debat yang ekstra-alot, skema pendanaan ini semakin jelas dalam konferensi di Bali pada 2007.
Melalui skema REDD dan juga REDD+, insentif akan diberikan bagi proyek-proyek pengurangan emisi karbon seperti yang dirintis Dharsono di Katingan; Nature Conservancy di Berau, Kalimantan Timur; Flora Fauna International di Ulu Masen, Aceh; dan International Tropical Timber Organization di Meru Betiri, Jawa Timur. "Kami dibayar kalau emisinya turun. Kalau enggak turun, ya, tidak dapat apa-apa," kata Dharsono. Saat ini, ada lebih dari 30 proyek pengurangan emisi (REDD ataupun REDD+) dari ujung Aceh hingga Papua.
Proyek hutan karbon Nature di Berau seluas 800 ribu hektare. Yang harus dihadapi Dicky bersama timnya sungguh tak ringan. Di sana ada 32 konsesi tambang batu bara, 27 perkebunan sawit, dan tiga konsesi hutan tanaman industri. Berdasarkan survei Nature, setiap tahun 39 ribu hektare hutan Berau rusak atau "hilang" menjadi kebun sawit atau tambang batu bara, melepaskan 20 juta ton gas karbon ke atmosfer. Dengan rupa-rupa cara-penghutanan kembali, tukar guling konsesi sawit dengan hutan yang sudah rusak, sertifikasi manajemen hutan lestari-Nature memasang target dalam lima tahun bisa mengurangi emisi gas karbon 10 juta ton.
Seberapa besar fulus atau insentif yang akan didapat proyek-proyek REDD ini belum terang benar. Lembaga riset Point Carbon memperkirakan pengurangan emisi dari proyek REDD bisa mencapai 2,65 miliar ton per tahun. Nilai kredit karbon dari pengurangan emisi REDD itu sangat bergantung pada hasil negosiasi di Konferensi Perubahan Iklim dan juga sikap (target pengurangan emisi) Amerika Serikat serta Cina, dua penyumbang pencemaran terbesar.
Sebagai patokan, di bursa Chicago Climate Exchange, harga kredit karbon pada Juni 2008 sempat menembus US$ 7 per ton. Dengan harga ini, nilai pasar REDD sekitar US$ 18 miliar per tahun-sebuah bisnis yang cukup besar. Jika dari proyek hutan gambut Katingan, Dharsono dan Rezal dapat mengurangi emisi karbon 10 juta ton, mereka bisa mendapatkan US$ 70 juta dari kredit karbon. Namun harga kredit karbon di bursa Chicago terus merosot hingga di bawah US$ 1 per ton saat ini.
Karena itu, jangan terburu tergiur dengan angka-angka tersebut. "Pasar karbon untuk REDD memang belum kelihatan," kata Dharsono. Kepala Proyek Kehutanan EcoSecurities, Jan Ehse, mengatakan, tanpa kesepakatan global yang mengikat secara hukum, pasar REDD tak akan beranjak. Tak seperti Protokol Kyoto, skema REDD ini belum menjadi kesepakatan yang mengikat. "Saat ini kita tak tahu ke mana pasar ini akan bergerak," kata Ehse.
Selain itu, begitu banyak pekerjaan rumah yang harus mereka tuntaskan sebelum bisa mendapatkan fulus dari skema REDD. Pekerjaan pertama, kata Dharsono, meyakinkan masyarakat sekitar hutan akan manfaat proyek konservasi tersebut. "Kami sudah jalan dua tahun," katanya. Yang tak kalah penting adalah siapa saja yang berhak menikmati dana kredit karbon itu dan bagaimana mekanisme pembagiannya. Nature, misalnya, seperti kata Dicky, tak akan mengambil seperak pun duit hasil kredit karbon dari proyek Berau.
Berikutnya menuntaskan metodologi. Soal metodologi untuk menghitung referensi emisi, mengukur stok karbon, termasuk metode untuk memverifikasinya, adalah kunci proyek REDD. Tanpa metodologi yang teruji dan tepercaya, bagaimana hendak memperdagangkan benda semacam pengurangan emisi yang tak terlihat wujud fisiknya? Menurut Dharsono, metode mereka akan divalidasi oleh Voluntary Carbon Standard. Untuk validasi saja perlu sekitar enam bulan.
Dan kalaupun duit lewat skema REDD ini akhirnya mengucur, Yoppy Hidayanto, Koordinator Knowledge Center Burung Indonesia, ragu nilainya akan sepadan dengan hasil yang didapat masyarakat di sekitar hutan itu dari menggarap kebun sawit atau menebang kayu. Menurut Yoppy dan juga Dicky Simorangkir, proyek REDD perlu diimbangi dengan usaha jasa kehutanan seperti wisata hutan atau jasa konservasi air. "Di beberapa negara, perusahaan air minum yang mengambil air dari sungai atau mata air harus membayar," kata Dicky.
Sapto Pradityo
Para Pencemar Itu*
Hutan gambut | 850 |
1.050 | |
Perubahan lahan hutan | 760 |
590 | |
Listrik | 110 |
810 | |
Transportasi | 129 |
442 | |
Pertanian | 96 |
105 | |
Lainnya | 107 |
263 | |
Total | 2.052 |
3.260 |
Pada 2030, Bisa Dikurangi dari*
1.161 |   | Perubahan lahan hutan |
609 |   | Hutan gambut |
225 |   | Listrik |
106 |   | Pertanian |
87 |   | Transportasi |
61 |   | Minyak |
56 |   | Lainnya |
2.305 |   | Total |
*) dalam juta ton CO2
SUMBER: DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo