Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
*) Dramawan
ADA dua buah kamus bahasa Indonesia yang monumental. Yang pertama karya Poerwadarminta. Karya ini kedudukannya sudah seperti primbon, lama sekali tidak ada tandingannya. Yang kedua Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh sebuah tim, produk Pusat Bahasa.
Apakah dengan bersenjata kedua kamus itu, seluruh teks, ekspresi, dan narasi dengan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan, menjadi jelas? Bagi orang Indonesia sendiri, jawabannya mudah. Karena bahasa tidak harus dimengerti tetapi dirasa. Tanpa kedua kamus itu pun, segalanya sudah jelas. Kata-kata sudah menyambung rasa tanpa mesti lebih dulu dipahami. Tetapi, bagi mereka yang ”ibunya” tidak berbahasa Indonesia, kedua kamus itu pun masih belum cukup. Karena bahasa Indonesia seperti sebuah peta buta.
Ada seorang doktor, ketika menerjemahkan sebuah novel Indonesia ke bahasa Prancis, tak tanggung-tanggung terbang dari Paris untuk menjumpai penulisnya yang sedang syuting film di Puncak. Keperluannya hanya untuk menanyakan arti yang pasti dari sebuah kalimat—lebih tepat dikatakan sebuah kata dalam sebuah kalimat—yang membuat langkahnya berhenti. Pasalnya, ia tidak mau menebak-nebak, takut salah. Alangkah herannya ketika ia mendapat jawaban bahwa arti dari kalimat itu terserah. Begitu boleh, begini juga bisa. Semuanya sah-sah saja.
Seperti kata: acuh. Satu saat bisa berarti peduli. Tapi di saat yang lain tanpa diberi tanda baca, cetak miring atau garis bawah, artinya bisa kebalikannya: tak peduli. Arti sebuah kata lalu tidak sebagaimana yang tertera dalam kamus, tetapi tergantung saat, siapa, dan bagaimana kata itu disampaikan. Tiba-tiba sebuah kata menjadi gambar dalam huruf kanji yang bunyinya bisa berbeda-beda tergantung konteksnya.
”Kemudahan” dan ”kesederhanaan” bahasa Indonesia yang tak mengenal jenis kelamin, perbedaan waktu dalam kata kerja, dan penanda tunggal-jamak tiba-tiba menjadi kerumitan. Bagi yang sudah terbiasa dengan kepastian, bahasa Indonesia menjadi sebuah teka-teki. Kamus bukan lagi buku suci, tetapi hanya sebuah referensi. Dalam kehidupan bahasa Indonesia, setiap orang sudah bertumbuh menjadi kamus.
Kata ganyang dalam bahasa Jawa yang berarti makan, santap, atau lalap, ”dibantingsetirkan” oleh Bung Karno, di era konfrontasi dengan Malaysia, menjadi berarti hajar, kalahkan, atau taklukkan. Tetapi Bung Karno seorang pemimpin yang karismatik. Pengembangan, pembelokan, bahkan pembalikan arti dari sebuah kata dari seorang tokoh dengan mudah tersosialisasi dan kemudian menjadi kesepakatan bersama.
Saya adalah sebutan dari orang pertama. Saya lebih menunjukkan kerendahan hati, sopan, menghormati yang diajak bicara dibandingkan dengan ”aku”. Anak, kepada orang tua dan guru atau bawahan pada atasan, membahasakan dirinya dengan saya. Tapi ketika Chairil Anwar menulis sajak berjudul ”Aku” pada 1943, dua tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan, kebangkitan pada harga diri seseorang untuk bebas dan merdeka memberi angin pada kata aku. Kini di era televisi swasta, para selebritas tak memakai kata saya lagi, tetapi aku dan ”gue”. Pengaruhnya luar biasa. Kini seorang anak dan para pembantu tanpa risi lagi membahasakan dirinya ”aku” kepada siapa pun berbicara. Dalam keluarga, antara suami dan istri, bahkan juga anak, kata gue pun sudah mulai lumrah atau dimaafkan.
Orang besar dan media yang punya kekuasaan, lambat-laun, mau tak mau akan menjadi kamus. Maklum, bahasa memang bukan ilmu pasti yang bisa dibekuk dengan kebakuan yang menjadi misi pembuatan kamus. Tetapi, ketika semua orang meniru dan menjadikan dirinya kamus, akan terjadi kesewenang-wenangan. Kata-kata akan menjadi anarkistis. Bahasa dizalimi. Kriminalitas bahasa terjadi tapi tidak bisa lagi diadili karena terlalu banyaknya. Bahasa Indonesia akan menjadi sarang penyamun.
Undang-undang kebahasaan sudah lahir. Kesepakatan dalam bahasa yang dikhawatirkan akan dikuntit sanksi bagi pelanggarnya itu sudah mulai banyak ditentang. Pemakaian bahasa yang tidak lagi dibablaskan tapi diberi lajur-lajur, kisi-kisi yang lebih pasti itu akan menyapu bersih segala penyimpangan bahasa. Yang kini mengacak bahasa Indonesia dengan mengimpor berbagai kausa kata asing, misalnya, tidak akan bisa seenak udelnya lagi berenang gaya bebas Bahasa Indonesia akan memasuki tertib hukum.
Alhamdulillah itu tak terjadi. Undang-Undang Bahasa, yaitu Undang-Undang Nomor 23/2009, itu tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Isinya mengatur bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, dan transaksi/dokumentasi niaga. Jadi bukan membatasi penggunaan berbahasa.
Namun pertanyaan masih tetap. Apakah kamus dapat menjadi kiblat bahasa Indonesia? Apakah tertib bahasa akan mampu mengembangkan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang hidup, tangkas, menarik, dan mampu menjadi bahasa ilmiah? Apakah kebakuan yang dijamin dalam kamus akan menghentikan kenakalan, kebablasan, dan keliaran yang begitu pesat larinya sejak Angkatan 45 (dalam sastra Indonesia) menjadi joki yang mengembangkan bahasa Melayu Pasar menjadi bahasa Indonesia hingga berbeda dengan bahasa Melayu yang kini dijumpai baik di Malaysia maupun Brunei?
Para sastrawan, yang malang-melintang dalam kancah bahasa, sangat berkepentingan menjawab. Mungkin mereka mau mengatakan bahwa kamus adalah benda mati yang tak akan mungkin jadi joki. Bahasa Indonesia dapat dikawal tetapi gebrakannya yang semakin cepat dan deras akan membuat kamus hanya mampu mengapresiasi, bukan membatasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo