Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWAN yang menggelayut di atas Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Rabu pekan lalu, membuat sesi latihan pagi para pedayung kurang berkeringat. Latihan yang cuma berlangsung satu jam—mulai pukul enam pagi—itu boleh disebut pemanasan, sebelum sesi selanjutnya yang dimulai pukul 09.30 hingga menjelang siang. Di antara kedua sesi itu, belasan pedayung leyeh-leyeh di kamar mes tak jauh dari tepi waduk. Ada pula yang asyik berselancar di dunia maya dengan BlackBerry, sebagian berbincang sambil bersenda gurau.
Mendung yang hampir saban hari menyelimuti Jatiluhur tak bisa menutupi wajah-wajah cerah penghuni mes pedayung. Musababnya, kita semua sudah mafhum, yaitu bonus puluhan miliar rupiah yang diboyong oleh 22 orang pedayung Jatiluhur seusai pembubaran kontingen Asian Games Indonesia di Jakarta, 1 Desember lalu. ”Terus terang saya kaget, tak pernah terbayangkan sebelumnya mendapat penghargaan sebanyak itu,” kata Jaslin, pendayung 26 tahun, yang berasal dari Wakatobi, gugusan pulau di Sulawesi Tenggara.
Para pedayung tersebut memang sudah kembali ke provinsi masing-masing, kecuali tiga pedayung yang juga anggota Persatuan Olahraga Dayung Indonesia Jawa Barat, termasuk Jaslin. Jaslin dan tim perahu naganya inilah yang menyelamatkan muka Indonesia di pesta olahraga empat tahunan yang berlangsung di Guangzhou, Cina, November lalu. Tim ini menyumbangkan tiga emas—jarak 250 meter, 500 meter, dan 1.000 meter—dari total empat emas yang diperoleh kontingen Indonesia di Negeri Panda.
Perolehan tiga emas, ditambah tiga perak untuk nomor yang sama yang diraih pedayung putri, membuat tim perahu naga menjadi buah bibir di Tanah Air. Tak cuma menjadi kepala berita media massa, tapi ramai diperbincangkan di situs jejaring sosial seperti Facebook dan Kaskus. ”Kami sangat bahagia dengan apresiasi masyarakat,” kata manajer tim dayung, Young Mardinal Djamaluddin. Ia mengatakan prestasi yang diraih anak buahnya memang luar biasa, melampaui target organisasi: satu medali emas.
Puncak hari bahagia bagi tim dayung adalah ketika pembubaran kontingen Asian Games sekaligus pemberian bonus kepada para atlet peraih medali. Acara tersebut pun menjadi milik tim dayung. Segala pujian dan ucapan terima kasih disampaikan para petinggi Komite Olahraga Nasional Indonesia serta Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. ”Kita melampaui prestasi empat tahun lalu, yang hanya menghasilkan dua emas,” kata Andi, disambut keplok ratusan atlet, pelatih, dan pengurus berbagai cabang olahraga.
Toh, prestasi tim dayung tersebut sempat membuat ketar-ketir Andi. Soalnya, menurut tradisi, setiap peraih emas mendapat bonus Rp 400 juta. Nah, dengan tim yang beranggota 22 orang, untuk satu emas saja Andi harus menyiapkan Rp 8,8 miliar. ”Waktu tim dayung meraih satu emas, dana sebesar itu sudah tersedia, tapi untuk emas kedua kami tekor, dan tambah satu emas lagi, saya jadi pusing,” katanya sambil tergelak. Belum lagi 22 pedayung putri peraih tiga medali perak yang masing-masing diguyur bonus Rp 200 juta.
Walhasil, total dana yang harus dikeluarkan pemerintah untuk bonus adalah Rp 45,39 miliar. ”Walaupun tekor, tidak jadi masalah. Saya lebih senang cari tambahan dana untuk bonus daripada dana yang sudah tersedia tidak terpakai,” kata Andi. Mantan juru bicara presiden itu menegaskan bonus ini sebagai penghargaan perjuangan para atlet sekaligus perangsang semangat menghadapi pesta olahraga Asia Tenggara, SEA Games 2011, di Indonesia, sehingga target jadi juara umum bisa terwujud.
Pencapaian tim perahu naga yang di luar dugaan ini sekaligus memupus kekhawatiran bahwa tim yang diperkuat banyak atlet ini hanya akan menambah anggaran pemberangkatan kontingen Indonesia. Bahkan perahu naga sempat tidak masuk cabang yang akan diikuti Indonesia. ”Awalnya cabang ini akan dicoret, tapi kami bisa membalas kepercayaan yang diberikan kepada tim ini,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Olahraga Dayung Indonesia Achmad Sutjipto, setelah tim dayung meraih emas.
Bagi Jaslin, bonus itu sangat memacu semangatnya berlatih. Apalagi dalam waktu dekat ia dan rekan-rekannya akan memulai pemusatan latihan menjelang SEA Games, yang akan dilangsungkan di Palembang, November 2011. Ajang dua tahunan ini pun menjadi kompetisi tertinggi karena pada Asian Games berikutnya nomor perahu naga tidak akan dipertandingkan. Nah, dengan uang hasil jerih payahnya mendayung perahu naga itu, Jaslin akan mengajak kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji, dan membelikan perahu motor buat ayahnya, yang bekerja sebagai nelayan.
Bagi Jaslin dan rekan sekampungnya, Syarifuddin, prestasi dan bonus itu merupakan pencapaian tertinggi selama berjibaku di dunia dayung. Kedua lajang anak nelayan asal Sulawesi Tenggara itu memilih meninggalkan kampung halaman dan menekuni olahraga dayung di Waduk Jatiluhur sejak lima tahun lalu. Keduanya lalu menjadi pedayung tetap tim nasional karena ditunjang stamina dan pengalaman. ”Sejak kecil kami sudah biasa mendayung, karena tinggal di pulau yang dipisahkan laut,” kata Jaslin.
Masih ada satu lagi pedayung asal Sulawesi Tenggara, yaitu kapten tim Asnawir dari Kabupaten Muna. Tak cuma menjadi kapten, atlet kelahiran 16 Maret 1973 ini pedayung paling senior, yang sudah belasan tahun menjadi ”penghuni” Jatiluhur. Sejak 1996, Asnawir sudah bergabung dengan tim dayung Jawa Barat, dan sejak saat itu pula ia tak pernah absen membela tim dayung nasional. Dayung pula yang mempertemukan Asnawir dengan jodohnya, perempuan asal Surakarta. Mereka kini dikarunia tiga putra.
Berkat prestasi dayungnya, Asnawir diangkat menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pemadam Kebakaran Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Menurut Asnawir, dayung membuat mimpi-mimpinya terwujud, seperti membangun rumah senilai Rp 400 juta dan kontrakan tak jauh dari tepian Jatiluhur, serta membeli sepeda motor. Di usianya yang mulai senja untuk ukuran atlet dayung, Asnawir telah berancang-ancang menjadi pelatih. ”Mungkin setelah SEA Games nanti, semoga ada kesempatan,” katanya.
Selain Jaslin, Syarifuddin, dan Asnawir, anggota tim dayung berasal dari berbagai daerah antara lain John Mattulessi dan Robert Mahue dari Maluku, Jappery Siregar (Sumatera Utara), Asep Hidayat (Jawa Barat), dan Erwin David Monim (Papua). Sebelum terjun di Asian Games, para pedayung ini dikumpulkan di Purwakarta dan menjalani pemusatan latihan selama empat bulan di bawah asuhan pelatih Suryadi. Meski hanya mendapat bonus Rp 90 juta, Suryadi tetap bangga bisa mengantarkan anak asuhnya merebut tiga emas. ”Yang penting bisa mengharumkan nama bangsa,” katanya.
Adek Media, Nanang Sutisna (Purwakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo