Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ihwal Pendanaan di Sarang Ular

Konferensi Perubahan Iklim di Cancun menemui titik terang soal pendanaan untuk mitigasi, adaptasi, dan transfer teknologi. Negara maju tetap enggan mengurangi emisi karbonnya.

13 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UCAPAN Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, ini meringkaskan atmosfer Konferensi Perubahan Iklim PBB di Cancun, Meksiko: ”Dua ratus negara tidak perlu persetujuan akhir untuk semua masalah (mengatasi perubahan iklim), tapi kita perlu kemajuan di semua lini.” Sidang penutupan konferensi berlangsung pekan lalu.

Konferensi kali ini digambarkan sebagai ikhtiar penyelamatan umat manusia dari bencana perubahan iklim paling pesimistis sejak pertama kali digelar seperempat abad lalu. Bisa dimaklumi. Sebab, kegagalan, tanpa satu pun kesepakatan yang mengikat dalam konferensi serupa tahun lalu di Kopenhagen, Denmark, masih menghantui semua negara. ”Saya prihatin atas usaha kita sejauh ini yang masih belum memadai, bahkan belum bergerak menuju tantangan,” kata Ban Ki-moon.

Meski demikian, pertemuan Cancun (dalam bahasa Maya berarti ”sarang ular”) mempunyai peran penting bagi penduduk dunia dalam memperjuangkan kesepakatan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus (REDD+). Ini termasuk Indonesia. ”Pemerintah sedang membuat mekanisme pendanaannya,” kata Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Perubahan Iklim.

REDD adalah mekanisme yang ditawarkan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali (Conference of Parties atau COP 13). Konsep ini mewajibkan negara yang mendapatkan dana menjaga hutannya dari penggundulan dan kerusakan supaya dapat menyerap dan menahan karbon yang dihasilkan di tempat lain.

Hutan yang terawat juga dapat dijadikan komoditas untuk mendapatkan dana yang lebih besar dari negara maju yang tak mau menurunkan emisi gas rumah kacanya. Inilah yang dikenal dengan istilah dagang karbon (carbon offset). Pemerintah menyiapkan 26,6 juta hektare hutan untuk skema REDD dan dagang karbon. Uji coba REDD telah diterapkan di beberapa wilayah Indonesia.

Negosiasi untuk mewujudkan hal itu berlangsung alot. Pertarungan antara negara maju dan negara berkembang berlangsung sengit. Terkadang negosiasi menjadi buntu. Di satu sisi, negara maju ogah menurunkan emisi karbonnya sesuai dengan Protokol Kyoto, yang akan berakhir pada 2012. Mereka juga dinilai enggan menambah dana untuk adaptasi, mitigasi (termasuk REDD+, konsep yang menambahkan konservasi, manajemen hutan lestari, dan peningkatan cadangan hutan karbon), peralihan teknologi, dan pembangunan kapasitas. Di sisi lain, negara berkembang menuntut peran yang sama dalam usaha menurunkan emisi karbon.

Beruntung, para ketua delegasi dari seluruh dunia di perhelatan COP 16 di Cancun, Meksiko, berhasil memecah kebekuan di antara negara kaya dan negara miskin dan berkembang. Mereka sepakat membentuk kemitraan dalam pendanaan melawan pemanasan global. Ban Ki-moon menegaskan, pada masa yang akan datang, negara-negara maju harus bisa menggalang US$ 100 miliar sampai 2020. Norwegia telah menjanjikan lebih dari US$ 1 miliar sampai 2012 sebagai bagian dari pakta jangka panjang dengan Brasil, Indonesia, dan Guyana. Amerika melakukan hal yang sama dengan syarat yang tidak mengikat.

Pernyataan Ban Ki-moon ini menagih janji 140 negara kaya yang telah sepakat membantu saat pertemuan di Kopenhagen, Denmark. ”Meski bukan obat mujarab, bisa membangun kepercayaan,”’ kata Ban Ki-moon. Targetnya: pada 2012 semua pendanaan untuk REDD bisa dimulai dengan mekanisme yang jelas.

Kini teks resmi pengurangan emisi dari penggundulan dan perusakan hutan selangkah lebih maju. ”Hampir matang untuk panen,” kata Sergio Serra, Duta Besar Perubahan Iklim Brasil. Akhirnya, Cancun menyisakan setitik harapan. Dan penduduk bumi masih menunggu lahirnya kesepakatan yang benar-benar mengikat dalam Konferensi Perubahan Iklim di Afrika Selatan tahun depan.

Rudy Prasetyo (Washington Post, Reuters)


Penyumbang Emisi Terbesar

Cina
6,54 miliar ton

Amerika Serikat
5,84 miliar ton

Uni Eropa
3,98 miliar ton

India
1,61 miliar ton

Rusia
1,54 miliar ton

Agar Hutan Makin Hijau

Paru-paru bumi rusak parah. Hutan yang seharusnya menyerap karbon justru menjadi penyemprot polusi terbesar. Kini emisi karbon hutan menyumbang polusi 6 miliar ton (20 persen) dari total emisi dunia yang mencapai 29,32 miliar ton. Setengah dari emisi ini dihasilkan dua negara, yaitu Indonesia dan Brasil. Dunia pun mencetuskan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).

1985
Konferensi PBB pertama tentang perubahan iklim mencatat emisi karbon dunia mencapai 19,6 miliar ton dan terus meningkat.

1990
Suhu bumi meningkat 0,5 derajat Celsius dibanding seabad silam.

1995
COP 1 di Berlin memperkirakan suhu bumi akan terus naik sampai 4 derajat Celsius pada 2100. Akibatnya, penduduk bumi terancam wabah penyakit, kekeringan, dan krisis pangan, pulau-pulau tenggelam, serta hamparan es di kutub-kutub mencair.

1997
COP 3 di Jepang melahirkan Protokol Kyoto, yang menetapkan penurunan emisi negara industri sebesar 5,2 persen pada 2012. Ditetapkan mekanisme yang fleksibel bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi, yakni emissions trading, joint implementation, dan clean development mechanism.

2000
Negara industri ogah menurunkan emisi karbon. Cina, Amerika, Uni Eropa, Rusia, Jepang, dan India terus menambah jumlah emisinya. Negara berkembang seperti Indonesia dan Brasil menambah emisi dunia dengan kerusakan hutan.

2005
Koalisi Negara-negara Hutan Tropis (Coalition of Rainforest Nations) dipimpin Kosta Rika dan Papua Nugini menyampaikan usul resmi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui REDD dalam COP 11 di Kanada.

2006
Brasil menolak mengaitkan skema-skema REDD dengan perdagangan karbon dalam COP 12 di Kenya.

2007
Emisi karbon dunia terus naik mencapai 29,32 ton (20 persen berasal dari emisi penggundulan dan perusakan hutan). Lahir Rencana Aksi Bali atau jalan menuju REDD sebagai komponen kunci dalam usaha mitigasi perubahan iklim pada COP 13 di Indonesia.

2008
Cakupan REDD diperluas menjadi REDD+ pada COP 14 di Polandia.
Strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi meliputi:

  • konservasi
  • pengelolaan hutan lestari
  • peningkatan cadangan karbon hutan.

    2009
    COP 15 di Denmark mengakui pentingnya peran REDD dan memberikan insentif untuk membangun mekanisme itu sebagai jalan mengucurkan dana kepada negara berkembang. Uji coba REDD dimulai di sembilan negara, yaitu Bolivia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam, dan Zambia.

    2010
    Pembahasan mekanisme teknologi perhitungan, pembayaran, akuntabilitas, dan pendanaan REDD. Stern Review on the Economics of Climate Change menghitung dana untuk menurunkan hingga setengah dari emisi sektor hutan sampai 2030 antara US$ 17 miliar dan US$ 33 miliar per tahun.

    2011
    COP 17 di Afrika Selatan.

    2012
    Target REDD beroperasi dalam kerangka perjanjian internasional baru (bila perjanjian penerus Protokol Kyoto pasca-2012 bisa disepakati).

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus