Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palembang - Sungai Musi yang membelah Kota Palembang Ulu dan Palembang Ilir saat ini kondisinya semakin memperihatinkan. Di permukaan sungai tersebut banyak ditemukan sampah dan enceng gondok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara secara kasat mata, salah satu sungai terpanjang di Sumatra ini berwarna kecokelatan. Berdasar analisa dan temuan dari Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN), sungai tersebut didapati tercemar bahan kimia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariansyah Usman, Koordinator Telapak Sumatra Selatan, mengatakan tujuan penyusuran Sungai Musi adalah untuk melihat kadar polutan dan uji mikroplastik. Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) bersama perkumpulan Telapak Sumatra Selatan dan Spora Institut Palembang melakukan penyusuran Sungai Musi pada Minggu pagi dan menemukan fakta semakin sulit ditemukannya ikan-ikan di Sungai Musi, seperti baung pisang, kapiat, patin, tapah dan belida.
"Tingginya aktivitas alih fungsi lahan di hulu, aktivitas tambang tanpa izin, perkebunan sawit dan pencemaran industri menimbulkan pencemaran di Sungai Musi," katanya, Senin, 18 Juli 2022. Padahal air Sungai Musi digunakan sebagai bahan baku air minum.
Prigi Arisandi, peneliti ESN, memastikan tingginya tingkat pencemaran bahan-bahan kimia pengganggu hormon memicu gangguan reproduksi ikan yang menurunkan populasi ikan dan punahnya ikan-ikan yang tidak toleran terhadap kadar polutan yang meningkat.
Kemarin pihaknya juga melakukan pengambilan sampel air yang menunjukkan tingginya kadar logam berat mangan dan tembaga yang mencapai 0,2 ppm dan 0.06 ppm (standar tidak boleh lebih dari 0,03 ppm).
"Kadar klorin dan pospat cukup tinggi, yaitu untuk klorin 0,16 mg/liter, seharusnya tidak boleh lebih dari 0,03 mg/liter, sedangkan pospar juga tinggi mencapai 0.59 mg/l. Tingginya kadar klorin dan phospat sangat mempengaruhi sistem pernapasan ikan dan mempengaruhi pembentukan telur ikan," ungkap Prigi.
Selain uji kualitas air, tim juga menguji kadar mikroplastik dalam air dan menemukan dalam 100 liter air Sungai Musi terdapat 355 partikel mikroplastik. Adapun jenis mikroplastik yang paling mendominasi adalah jenis fiber atau benang-benang yang mencapai 80 persen. Jenis mikroplastik lainnya adalah granula, fragmen dan filamen.
Mikroplastik, phospat, logam berat dan klorin termasuk dalam kategori senyawa pengganggu hormon, sehingga keberadaanya di sungai akan mengganggu proses pembentukan kelamin ikan.
Sementara senyawa pengganggu hormon seperti mikroplastik dianggap ikan sebagai hormon esterogenik sehingga dimungkinkan terbentuk lebih banyak ikan dengan jenis kelamin betina dibandingkan jantan. Sayangnya jantan inipun tidak bisa membuahi telur ikan bentina akibatnya terjadi penurunan populasi ikan.