HUSSIN, 47, penduduk Buloh Mancang, Kecamatan Syamtalira, Kabupaten Lhokseumawe, Aceh Utara, melayang nyawanya. Itu akibat bantingan Po Meurah yang sedang mengamuk. Sebelumnya, Idris mengalami hal serupa. Po meurah artinya "tuanku gajah" - demikian orang Aceh memanggil hewan lindungan itu, yang selama ini memang bersahabat dengan penduduk. Tapi kenapa gajah-gajah di Aceh mengamuk? Amukan itu semakin menjadi-jadi sejak Maret 1984 hingga kini. Amukan dilakukan secara sporadis. Akhir tahun lalu, pohon karet yang baru berusia dua tahun di PIR (Perkebunan Inti Rakyat) PTP V dan PIR Setia Agung, di Kecamatan Meurah Mulia dan Syamtalira Bayu, habis dikoyak sang gajah. Luas kedua perkebunan itu 1.200 hektar. Kemudian menyusul perusakan di PIR PTP I di Serba, Kecamatan Tamiang Hulu, 60 km dari Langsa. Juga, serangan datang ke Pulau Tiga. Keduanya perkebunan kelapa sawit yang ada di Aceh Timur. Ribuan hektar kelapa sawit yang baru ditanam habis dicabut gajah. Ada lima kecamatan di Aceh Utara yang paling banyak mendapat gangguan gajah: Meurah Mulia, Matangkuli, Syamtalira Bayu, Arun, dan Kuta Makmur. Kawasan yang dulunya hutan rimba, tempat gajah-gajah itu bermukim, kini berubah jadi daerah perkebunan dan transmigrasi. Karena perubahan habitat ini, gajah-gajah itu kemudian melakukan tindakan perusakan. Bahkan mulai menyerang manusia. Menurut Ir. Ahmad Rachmadi, 42, dari Kanwil Kehutanan Aceh, habitat gajah yang tadinya 30.000 hektar menciut sekitar 16.000 hektar. Ini hanya untuk Aceh Utara, yang kini memang banyak mempunyai proyek-proyek vital dan perkebunan. Gangguan gajah yang sudah sampai membunuh penduduk tadi akhirnya membuat Pemda Aceh Utara mengadu ke Gubernur, yang kemudian membentuk operasi Po Meurah. Operasi selama 12 hari untuk memindahkan gajah dengan cara menggiring itu dimulai 21 Januari lalu. Pelaksana operasi adalah komandan Korem Lilawangsa, Kolonel Chairuddin Harahap, yang membawahkan 325 orang. Ratusan orang ini dibagi menjadi tiga tim, yang masing-masing bertugas sebagai penggiring gajah,pagap (penghadang), dan penilai kerusakan serta kerugian harta benda penduduk. Ini merupakan penggiringan tahap pertama, yaitu dari Alue Bade menuju ke Taman Buru Lingga Isak, yang terletak di perbatasan Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Aceh Timur. Dalam 12 hari itu, jarak yang ditempuh 43 km. Nantinya, dalam tahap kedua, gajah-gajah itu akan digiring lebih jauh lagi ke Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh Tenggara, yang letaknya sekitar 300 km dari Lhokseumawe. Penggiringan dilakukan tanpa pawang, dan tidak secara paksa. Cara mengusir kawanan gajah ialah dengan bunyi-bunyian seperti beureugu (alat musik setempat yang dibuat dari tanduk kerbau), kentongan, dan mercon. Juga alat pengeras suara yang mengeluarkan teriakan-teriakan, agar gajahgajah itu menyingkir. "Surroot . . . Po Meurah!" Artinya, silakan pergi Pak Gajah. Biaya operasi yang setiap harinya diperkirakan Rp 1 juta itu dilakukan secara gotong-royong. Aceh Utara memang tak kekurangan biaya. Sebab, di kawasan itu ada LNG Arun, pabrik pupuk Iskandari Muda, pabrik gula Cot Girek, PIR, bahkan Mobil Oil yang, selain menyumbang uang, turut meminjamkan helikopternya. Diperkirakan ada 40 ekor gajah yang harus digiring. Untuk kawasan seluruh Aceh, sumber PPA mengatakan, ada sekitar 200 ekor, yang rencananya akan dikumpulkan di Gunung Leuser. Gajah-gajah Aceh yang termasuk gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) itu, menurut catatan PPA, ada sekitar 3.000 ekor. Jumlah ini tersebar mulai dari ujung utara Sumatera sampai ke Lampung di bagian selatan. Tidak elas berapa pertambahan populasi binatang berbelalai ini setiap tahunnya. Yang pasti, binatang yang lucu di tempat sirkus itu, akhir-akhir ini, sering menyebalkan penduduk. Operasi Ganesha di Sumatera Selatan (1982), misalnya, juga mencoba menggiring gajah ke tempat yang jauh dari penduduk. Tapi kini gajah-gajah itu mulai mengganggu lagi. Di hutan margasatwa Padang Sugihan ada 65 ekor gajah yang kini mengancam permukiman transmigran. Selain itu, muncul pula 30 ekor gajah di OKU (Ogan Komenng Ulu) di desa Gunung Raya. Tapi benarkah sekawanan gajah suka mengganggu penduduk? Gajah sebenarnya binatang yang senang mengembara, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sering dengan pola gerakan pindah-pindah yang tetap. Sebab, seperti kebanyakan hewan, gajah, menurut R.E. Soeriaatmadja, staf Asisten I KLH juga punya home-range (daerah edar), tempat melakukan kegiatan hidup sehari-hari, sepanjang tahun. Dalam daerah edar itu, gajah pada waktu-waktu tertentu - ketika mengembara - akan selalu kembali ke tempat-tempat yang pernah dilaluinya. "Tidak heran bila suatu saat, setahun atau dua tahun sekali, sekawanan gajah tadi akan kembali ke tempat yang pernah dilewatinya," ujar Soeriaatmadja. "Dan gajah mana tahu kalau kemudian tempat yang pernah dilaluinya dulu, sekarang sudah jadi permukiman manusia." Persoalan gajah bukan cuma tak betah di satu tempat. Binatang yang suka berkelompok 5-20 ekor - yang di Sumatera selalu dipimpin oleh gajah betina, sedangkan di Afrika dipimpin gajah jantan yang kuat - juga butuh makanan yang tidak sedikit. Dalam satu hari seekor gajah bisa menghabiskan tidak kurang dari 200 kilogram tumbuhan segar dan 100 liter air. Nah, apakah konservasi gajah yang telah ditentukan itu, seperti Gunung Leuser di Aceh, Lebong Hitam dan Way Kambas di Sumatera Selatan, memiliki jumlah dan jenis makanan yang memang diperlukan gajah? Barangkali ini belum sepenuhnya diperhitungkan. Dan seperti yang diakui oleh sumber di KLH, dalam hal menangani masalah gajah ini, "Belum ada konsep yang jelas." Padahal, operasi penggiringan gajah, yang dimaksudkan untuk menyelamatkan gajah, bukan cuma sedang berlangsung di Aceh. Di Lampung juga sedang berlangsung operasi Tataliman, dan tahun lalu operasi Ganesha di Sumatera Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini