Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pantau Gambut menyatakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bukan bencana tunggal yang ditimbulkan oleh kerusakan ekosistem gambut. Gangguan ekosistem gambut juga memicu banjir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajer Advokasi, Kampanye, dan Komunikasi Pantau Gambut Wahyu Perdana mengatakan banjir bukan siklus alami yang umum terjadi pada ekosistem gambut. Bahala itu disebabkan oleh degradasi lahan gambut. "Yang hidup pada ekosistem ini menjadi terdampak," kata Wahyu melalui keterangan tertulis pada Rabu, 12 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai bagian dari ekosistem lahan basah, kata Wahyu, gambut pada hakikatnya memang harus tergenang air. Namun, degradasi mengikis kemampuan gambut untuk menyerap air. Fenomena irreversible drying ini yang menyebabkan genangan air menjadi limpasan yang tidak terkontrol dan justru merusak lingkungan.
Melalui studi berjudul 'Tenggelamnya Lahan Basah', Pantau Gambut memaparkan ancaman banjir di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Indonesia. Risiko banjir itu menyebar di tiga wilayah, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Analis Geographic Information Systems (GIS) Juma mengatakan provinsi yang menjadi langganan karhutla juga masuk ke dalam daftar wilayah rentan banjir. “Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan menjadi tiga wilayah teratas dengan kerentanan banjir terluas,” ucap dia.
Jika ditotal secara keseluruhan, setidaknya 25 persen KHG di Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap banjir. Ada 18 persen KHG dengan kerentanan sedang, lalu 57 persen dengan kerentanan rendah.
“Ada 6 juta hektare lahan rentan dari 25 juta hektare lahan gambut di Indonesia," tutur Juma.
Kalimantan menempati posisi tertinggi dalam hal kerentanan banjir, disusul oleh Sumatera dan Papua. Area terdampak, menurut Juma, bukan hanya wilayah yang memiliki gambut pedalaman. Rusaknya gambut juga menyebabkan penurunan muka tanah (subsidens) secara signifikan pada wilayah pesisir.
Lahan gambut yang dulunya berfungsi sebagai penahan alami intrusi air laut, kini justru memperparah masalah banjir rob. Cadangan air tawar juga berkurang akibat meresapnya air laut ke dalam air tanah,
Ada tiga poin penting yang menjadi fokus advokasi Pantau Gambut. Lembaga ini memasukkan variabel teknis yang berkenaan dengan indikator banjir dalam degradasi ekosistem gambut sebagai penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 jo PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Indikator tata kelola hidrologis gambut dalam regulasi terhadap sektor jasa keuangan juga dimasukkan dalam usulan revisi tersebut.
Ada juga target penguatan kelembagaan khusus dan kewenangan lintas sektoral dalam perlindungan ekosistem gambut. “Kerusakan ekosistem gambut sering hanya diukur berdasarkan kejadian kebakaran hutan,” ucap Juma.