ORANG tersenyum memelas melihat dia. Mereka memegang kepalanya,
mencubit pipinya dan berkata: "Dia seperti boneka hidup."
Kawan-kawan sebayanya sering memeluk pinggangnya mengangkat dan
membawanya berlari-lari berkeliling, sampai akhimya melepaskan
dia kembali, apabila Karsih yang berusia 8 tahun itu menggeliat
dan marah karena merasa dipermalukan. Ia pun sering
diperolok-olok kawannya dengan pedas: "He, kate."
Kejam dan kedengarannya pedih. Tetapi gadis cilik dari Desa
Rancagede, Serang, Jawa Barat itu memang kerdil. Dalam usia 8
tahun tinggi badannya cuma 51 cm dengan bobot 4,2 kg. Padahal
anak sebaya dia paling tidak 1 meter, berat 20 kg. Dia menderita
begitu karena kelenjar pituitary yang menghasilkan hormon
pertumbuhan tidak bekerja normal.
Tidak jelas berapa besar jumlah anak Indonesia menderita
penyakit beginian. Cuma yang terang bukan monopoli anak-anak
desa yang miskin. Di Amerika Serikat sekitar 15.000 anak
menderita seperti Karsih. Para ahli mencoba menolong pertumbuhan
mereka dengan menyisipkan bulir-bulir berisi hormon pertumbuhan
di bawah kulit. Namun sampai sekarang belum terdengar hasil yang
menggairahkan.
Ahli endokrinologi di AS menolong anak-anak kerdil itu dengan
menyuntikkan bahanahan kimia yang diambil dari kelenjar
pituitary mayat. Tetapi cara ini dipandang terlalu mahal.
Seorang anak paling tidak memerlukan satu mayat dalam seminggu.
Sedangkan pengobatan berlangsung 10 tahun. Seluruh biaya bisa
mencapai USS100.000 (Rp 65 juta).
Pengobatan yang mahal ini mengakibatkan anak-anak yang
kekurangan hormon pertumbuhan dalam jumlah tidak besar terpaksa
ditolak. Sering sekali pengobatan sudah dihentikan sebelum si
anak mendekati pertumbuhan normal.
Sekarang ini pengobatan yang lebih murah sudah ditemukan. Ahli
biokimia yang bekerja pada perusahaan pengobatan gene, Genetech,
di California berhasil membuat hormon pertumbuhan tiruan.
Caranya dengan memasukkan bagian dari Deoxyribonucleic acid (DNA
unsur utama pertumbuhan sel) ke dalam DNA dari sebuah bakteri E.
coli Teknik ini menghasilkan hormon pertumbuhan.
Untuk membuktikan apakah hormon tiruan itu bisa menolong
anak-anak kontet, Genetech mensponsori percobaan klinis di
sebelas universitas di seluruh AS. Menurut majalah ilmiah
populer Discover (Maret 1982) salah seorang anak yang terlibat
dalam percobaan itu adalah Brian. Usianya 10 tahun. Tapi dari
tinggi badannya dia kelihatan tak lebih dari 6 tahun.
Ada Risikonya
Dia mendapat suntikan hormon tiruan itu untuk pertama kali di
bulan Oktober tahun lalu. Benar saja, tingginya bertambah
tigaperempat inci. "Saya berlari di jalanan pada suatu hari,"
katanya bercerita. "Tiba-tiba saya merasa lebih tinggi. Rasanya
saya tambah tinggi, tambah tinggi saja."
Banyak dokter yang menyambut penemuan itu dengan antusias.
Orangtua juga banyak yang tergoda membeli hormon pertumbuhan
itu, supaya anak mereka lebih jangkung. "Semua orang 'kan
berpendapat bahwa anaknya haruslah tinggi, hitam manis dan
cakep," kata Felix Conte seorang peneliti dari Universitas
California di San Fransisco yang ikut dalam proyek pengubahan
gene untuk menemukan hormon pertumbuhan tadi.
Tapi ada juga yang menyambutnya dengan sikap dingin saja. "Orang
mereparasi hidung dan mengencangkan kulit muka padahal ada
risikonya. Saya sendiri tak tahu pasti apakah mereka yang
membikin jangkung anaknya dengan hormon ini akan menerima malu
di kemudian hari," ucap teman sejawat Conte, Virginia Weldon.
Mengapa malu? Karena menurut sarjana dari Universitas Washington
itu penggunaan hormon pertumbuhan yang berlebihan akan
mengakibatkan penyakit kencing manis, sakit jantung. Hidung,
telinga dan bibir juga bisa peot tak keruan.
Sedangkan pihak yang tidak puas, kecewa karena pengobatan dengan
hormon pertumbuhan itu masih tetap memakan waktu lama. Karena
harus diinjeksikan tiga kali seminggu. Antara 5 sampai 10 tahun.
"Berapa oranglah yang mau disuntik selama itu," kata mereka.
Para orang tua yang mempunyai anak cacat pertumbuhan barangkali
mau saja menunggu selama itu. Asal sip. Tanpa risiko yang lebih
memprihatinkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini