Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tak Tahu Wereng Apa

Hama wereng yang dinamakan biotipe sumatra utara (nama asalnya), menyerang sumatra utara, lebih ganas dari biotipe III. para ahli kini mengaji varietas baru keturunan india, Pb 56. (ling)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pematang sawahnya, berserakan kaleng insektisida dari berbagai merk. Tampaknya S. Dolok Saribu seperti berlomba dengan wereng yang merusak sawahnya di Desa Petapahan, kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sum-Ut. Tanaman padinya dari bibit IR 42, menurut harapannya, akan dipanen pekan ini. Dengan ia menyemprot tiap pagi, selama dua minggu, diduga masih ada padi bersisa untuk keluarganya. "Paling tidak, sepertiga dari produksi saya tahun lalu," kata Dolok Saribu ketika ditemui TEMPO pekan lalu di pematang sawahnya. Sebagian besar tanaman padinya hangus. Mirip seperti ilalang kering. Pada tanaman yang sempat diisap wereng, tapi diselamatkan dengan insektisida, batang bagian bawahnya menjadi kerdil. Sedang batang bagian atasnya tetap seperti semula. Masih lumayan bagi Dolok Saribu yang mampu membeli insektisida. Dilam dan Wakirun, keduanya petani di Desa Singosari -- masih di Deli Serdang, hampir 50 km dari Medan -- November lalu membabat seluruh tanaman yang dihantam wereng. Mereka sebenarnya harus sabar menunggu seminggu lagi, supaya padinya betul-betul matang untuk bisa dipanen. "Menunggu seminggu, berarti hancur. Tiga hari saja wereng itu dibiarkan, pasti tak ada yang tersisa untuk saya," kata Dilam asal Banyumas. Dia memiliki 17,5 rante sawah (1 rante = 20 kali 20 meter), dan bertanam dua kali setahun. Kali ini, wereng cuma menyisakan 250 kg dari panen 4 ton gabah kering yang diharapkannya. Dilam masih ragu apakah gabah itu bisa jadi beras. "Kalaupun jadi menir, apa boleh buat. Dibikin jadi tepung, untuk bahan lepat," katanya. Dilam bersama Wakirun -- yang kurang mampu membeli insektisida kembali menanam padi IR 36. Tanaman baru itu diserang wereng lagi. Dolok Saribu, Dilam, dan Wakirun dan banyak petani lainnya di Sum-Ut tak tahu wereng apa yang menyerang lini. "Pokoknya lebih ganas dari wereng sebelumnya," kata Dilam (lihat Dari Biotipe ke Biotipe). "Wereng pada musim tanam sebelumnya biasanya saya semprot sekali seminggu. Tapi yang sekarang, minimal dua hari sekali. Kalau mau aman betul, tiap hari," kata Dolok Saribu. Wereng yang sekarang ini, menurut dia, kalau hinggap ditubuh, bisa menimbulkan gatal-gatal. Setelah digigit wereng, tanaman padi yang masih tumbuh "jadi jantan, tak mau berbulir." Ir. V. Situmorang, seorang pejabat dinas pertanian Sum-Ut, mengatakan cara bertanam di provinsinya sulit diatur serentak. Masih ada yang bertanam seenaknya, kapan saja. "Ini memberi peluang bagi kehidupan wereng," katanya. Jumlah PPL (penyuluh pertanian lapangan) di Sum-Ut sudah memadai, 970 orang. Tapi, kata Situmorang, banyak petani yang tak menghargai PPL yang umumnya masih muda. Cara bertanam tak serentak itu bisa dilihat dari kejadian yang sekarang. MT 1982 mestinya dimulai Juli untuk panen 4 bulan kemudian, tapi ternyata masih ada yang bertanam bulan Agustus, September. Tanaman yang sekarang, diserang wereng mulai pekan lalu disemprot dari udara dengan insektisida baycarb. Dua pesawat udara milik Deptan dipakai menyemprot, mungkin selama 20 hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus