PASIRNYA putih, pantainya landai. Sampai setengah kilometer dari
garis pantai, dengan kedalaman 5 sampai 30 m, air laut bak
hamparan kaca berwarna kebiruan, dan bisa terlihat beragam ikan
hias di antara rumput laut dan bunga karang yang merekah.
Tak heran kalau Taman Laut Pananjung di Kecamatan Pangandaran,
Ciamis (Jawa Barat) cukup menarik bagi wisatawan. Selama liburan
tahun baru ini saja, sekitar 30.000 wisatawan hadir di situ.
Mereka bisa berenang atau menyelam menikmati semuanya. Di sana
Nyi Loro Kidul jarang marah.
Tapi taman laut itu kian terancam. Batu karang, rumput dan
karang laut, atau ikan hias sudah jadi obyek perburuan penduduk
untuk barang hiasan atau pengisi akuarium orang berduit di kota.
Di berbagai toko kerajinan benda laut di Pangandaran, jam
dinding kecil -- yang mungkin berharga Rp 10.000 -- dengan
hiasan kerang laut dijual sampai Rp 100.000. Ini tentu
menggiurkan para petani dan nelayan kecil di situ, dan mereka
pun ramairamai jadi "pemburu".
Banyak permintaan pasaran. Akhirnya, "kami terpaksa mendatangkan
kerang dari luar Jawa," ujar Ny. Rachmat, salah seorang pemilik
toko kerajinan yang mengirim produknya sampai ke Australia.
Memang di alur yang dangkal sekarang sudah sulit ditemukan
kerang atau karang laut, kecuali yang sudah rompang-ramping,
rusak.
Untuk tumbuh kembali batu karang perlu waktu sampai 30 tahun,
"sementara perusakan terus berlangsung setiap hari," kata P.J.M.
Hillegers, konsultan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam III di
Bogor. Ahli perlindungan dan pengawetan alam dari Universitas
Wageningen (Belanda) itu mengungkapkan beberapa taman laut
Indonesia sudah rusak berat -- seperti yang di Pulau Rambut
(Jakarta) dan Blauran (Yogya) -- karena lemahnya pengawasan.
Masalahnya, katanya, "tak ada alternatif lain bagi penduduk
mencari nafkah."
Pius, misalnya, hanya mengandalkan kekayaan di dasar Taman Laut
Pananjung itu untuk menghidupi tujuh anaknya. Lelaki berkulit
hitam pekat asal Flores itu sudah sering berurusan dengan
polisi. Bulan lalu dia meneken pernyataan di atas kertas segel,
berjanji tak akan mengambil ikan hias lagi di Taman Laut, "tapi
bagaimana saya menyekolahkan anak-anak?" ujarnya. Pius pekan
lalu sudah melupakan janjinya pada polisi. Bersama Koko, anaknya
yang baru kelas dua SMP, Pius menyelusuri lagi dasar laut
menguber ikan hias.
Ada puluhan penyelam seperti Pius di sana. Pihak Diparda (Dinas
Pariwisata Daerah) Ja-Bar pernah meneliti: tak kurang 3.000
ekor ikan hias yang diangkut dari sana setiap hari. Pembeli
terbesar adalah PT Vivaria Indonesia di Jalan Makaliwe Raya,
Jakarta. Perusahaan itu mendapat izin mencari ikan hias di
beberapa daerah, termasuk Ja-Bar, dari Dirjen Perikanan.
Ny. Digdo Wiyono, pemilik perusahaan itu, tak peduli ikan hias
yang diterimanya setiap hari berasal dari Pangandaran. "Pokoknya
usaha kami legal dan kami tak menangkap langsung," ujarnya via
telepon kepada TEMPO.
Nyatanya sulit untuk mencegah ikan itu keluar dari taman laut.
Petugas PPA Pangandaran cuma empat orang. Dengan sebuah motoY
boat saja mereka harus menjaga kawasan (taman laut) seluas 470
ha. "Lagi pula kami tak punya senjata apa pun," ujar Ubus Wardju
Maskar, Ka Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam Pangandaran.
Mereka tak berdaya walaupun memergoki "pemburu" ikan itu. Mereka
sering diancam penduduk lewat surat kaleng. Belum lama ini papan
pengumuman larangan mengambil ikan hias dan karang laut yang
dipajang di tepi pantai bahkan dirobohkan penduduk.
Taman laut itu diresmikan tahun 1922 oleh J. Eyckman, Residen
Priangan. Menurut PPA, batu karang, rumput laut, kerang, dan
lebih 70 jenis ikan hias di situ cuma tersisa 20% lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini