Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Banyak Penyelam Seperti Pius

Kelestarian taman laut di pangandaran, ciamis, jawa barat, terancam. batu karang, rumput dan ikan hias jadi obyek perburuhan penduduk sekitarnya, petugas ppa kewalahan. (ling)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASIRNYA putih, pantainya landai. Sampai setengah kilometer dari garis pantai, dengan kedalaman 5 sampai 30 m, air laut bak hamparan kaca berwarna kebiruan, dan bisa terlihat beragam ikan hias di antara rumput laut dan bunga karang yang merekah. Tak heran kalau Taman Laut Pananjung di Kecamatan Pangandaran, Ciamis (Jawa Barat) cukup menarik bagi wisatawan. Selama liburan tahun baru ini saja, sekitar 30.000 wisatawan hadir di situ. Mereka bisa berenang atau menyelam menikmati semuanya. Di sana Nyi Loro Kidul jarang marah. Tapi taman laut itu kian terancam. Batu karang, rumput dan karang laut, atau ikan hias sudah jadi obyek perburuan penduduk untuk barang hiasan atau pengisi akuarium orang berduit di kota. Di berbagai toko kerajinan benda laut di Pangandaran, jam dinding kecil -- yang mungkin berharga Rp 10.000 -- dengan hiasan kerang laut dijual sampai Rp 100.000. Ini tentu menggiurkan para petani dan nelayan kecil di situ, dan mereka pun ramairamai jadi "pemburu". Banyak permintaan pasaran. Akhirnya, "kami terpaksa mendatangkan kerang dari luar Jawa," ujar Ny. Rachmat, salah seorang pemilik toko kerajinan yang mengirim produknya sampai ke Australia. Memang di alur yang dangkal sekarang sudah sulit ditemukan kerang atau karang laut, kecuali yang sudah rompang-ramping, rusak. Untuk tumbuh kembali batu karang perlu waktu sampai 30 tahun, "sementara perusakan terus berlangsung setiap hari," kata P.J.M. Hillegers, konsultan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam III di Bogor. Ahli perlindungan dan pengawetan alam dari Universitas Wageningen (Belanda) itu mengungkapkan beberapa taman laut Indonesia sudah rusak berat -- seperti yang di Pulau Rambut (Jakarta) dan Blauran (Yogya) -- karena lemahnya pengawasan. Masalahnya, katanya, "tak ada alternatif lain bagi penduduk mencari nafkah." Pius, misalnya, hanya mengandalkan kekayaan di dasar Taman Laut Pananjung itu untuk menghidupi tujuh anaknya. Lelaki berkulit hitam pekat asal Flores itu sudah sering berurusan dengan polisi. Bulan lalu dia meneken pernyataan di atas kertas segel, berjanji tak akan mengambil ikan hias lagi di Taman Laut, "tapi bagaimana saya menyekolahkan anak-anak?" ujarnya. Pius pekan lalu sudah melupakan janjinya pada polisi. Bersama Koko, anaknya yang baru kelas dua SMP, Pius menyelusuri lagi dasar laut menguber ikan hias. Ada puluhan penyelam seperti Pius di sana. Pihak Diparda (Dinas Pariwisata Daerah) Ja-Bar pernah meneliti: tak kurang 3.000 ekor ikan hias yang diangkut dari sana setiap hari. Pembeli terbesar adalah PT Vivaria Indonesia di Jalan Makaliwe Raya, Jakarta. Perusahaan itu mendapat izin mencari ikan hias di beberapa daerah, termasuk Ja-Bar, dari Dirjen Perikanan. Ny. Digdo Wiyono, pemilik perusahaan itu, tak peduli ikan hias yang diterimanya setiap hari berasal dari Pangandaran. "Pokoknya usaha kami legal dan kami tak menangkap langsung," ujarnya via telepon kepada TEMPO. Nyatanya sulit untuk mencegah ikan itu keluar dari taman laut. Petugas PPA Pangandaran cuma empat orang. Dengan sebuah motoY boat saja mereka harus menjaga kawasan (taman laut) seluas 470 ha. "Lagi pula kami tak punya senjata apa pun," ujar Ubus Wardju Maskar, Ka Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam Pangandaran. Mereka tak berdaya walaupun memergoki "pemburu" ikan itu. Mereka sering diancam penduduk lewat surat kaleng. Belum lama ini papan pengumuman larangan mengambil ikan hias dan karang laut yang dipajang di tepi pantai bahkan dirobohkan penduduk. Taman laut itu diresmikan tahun 1922 oleh J. Eyckman, Residen Priangan. Menurut PPA, batu karang, rumput laut, kerang, dan lebih 70 jenis ikan hias di situ cuma tersisa 20% lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus