Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tanah-tanah tanpa air tanah

Persoalan air di jakarta kian hari makin bertambah gawat. dprd jakarta sedang menggodok rancangan perda tentang penggunaan air tanah. perembesan air laut makin meluas merayah daerah-daerah permukiman.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSOALAN air di Jakarta kian hari makin bertambah gawat. Sumber petakanya adalah sebagian besar warga kota, yang berjubel sekitar 7 juta jiwa, hotel, dan proyek-proyek industri masih saja menyedot air tanah untuk keperluan sehari-hari -- mulai dari keperluan untuk minum, mandi, mencuci mobil, sampai buat pengurasan limbah. Terganggunya debit air tanah itu membuat air laut sumbernya antara lain dari Teluk Jakarta -- makin luas merayah daerah-daerah permukiman. Menurut Ketua Umum Asosiasi Sumber daya Air Indonesia (ASAI), Sri Soewasti Soetanto, perembesan air laut tersebut sudah mencapai kawasan Jatincgara, Jakarta Timur. Perembesan air asin itu akan terus berlanjut jika pemerintah tak segera turun tangan mengatasinya. Maka, masalah ini termasuk hal yang diprioritaskan Gubernur Wiyogo Atmodarminto untuk ditangani. Pekan lalu, DPRD DKI Jakarta sudah mulai membahas rancangan peraturan daerah mengenai pemanfaatan air tanah. Rancangan perda itu, antara lain, meliputi aspek perizinan penyedotan sumber air tersebut. Kalau masalah ini terlambat ditangani, tak pelak lagi dalam waktu singkat perut bumi di Jakarta bakal mengandung air asin semata. Akibatnya, gedung-gedung yang menggunakan tiang pancang besi telanjang bakal keropos semua, dan kemudian ambruk. Robohnya Jembatan Sarinah di Jalan K H Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, adalah akibat keroposnya tiang penyangga bangunan itu "tiang pancangnya yang terbuat dari besi telanjang itu habis digerogoti karat, akibat air di sekitarnya asin," ujar Syamsul Ardi Rachman, Kepala Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) DKI Jakarta. Adakah itu berarti air laut sudah merembcs sampai ke daerah sekitar Gedung Sarinah? Belum pasti. Yang jelas, menurut Syamsul, perembesan air laut yang sudah mencapai tingkat gawat terjadi di daerah industri, seperti Kapuk dan Pluit. Pada lapisan dangkal -- 0 sampai 40 meter -- di kedua kawasan yang terletak di wilayah Jakarta Utara itu airnya sudah asin. Daerah perembesan lain yang sudah mempakan daerah lampu kuning -- air asin terdapat pada kedalaman antara 40 dan 140 m -- adalah daerah Tambora, Grogol, Cengkarcng. Di daerah-daerah ini sebagian besar penduduk sudah lama membeli air untuk minum. Sebab, air dari sumur mereka, di samping asin, sering tampak berminyak. "Di Pasar Baru saja airnya sudah ada yang asin," tambah Syamsul. Daerah Pasar Baru terletak lebih jauh dari laut dibandingkan Tambora atau Cengkareng. Betulkah penyedotan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari warga kota yang menyebabkan air laut merembes jauh ke daratan? Penyebab utamanya adalah tak terpenuhinya suplai air yang dibutuhkan gedung-gedung pencakar langit dan kawasan industri oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta. Akibatnya, mereka terpaksa menyedot air tanah. Sebuah proyek industri sedang sedikitnya menyedot lima sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Tahun 1983, menurut Syamsul, di Jakarta terdapat lebih dari 2.400 sumur bor dengan debit 0,83 m3 per detik. Dalam tempo dua tahun meningkat menjadi 1 m3 per detik. Itu belum terhitung penyedotan oleh sumur-sumur bor liar, yang tak ketahuan jumlahnya. "Suatu ketika nanti Jakarta bisa ambruk," kata Syamsul. Proses yang juga mempercepat asinnya air tanah di Jakarta adalah makin sedikitnya daerah yang bisa menyerap air hujan. Hampir semua kawasan di Jakarta sudah tertutup beton dan aspal. Akibatnya, air hujan tak lagi meresap ke tanah, melainkan tersalur ke laut. Padahal, air hujan itu berfungsi untuk mengisi tandon air tanah guna mengimbangi penyusutan akibat penyedotan ke permukaan. Berkurangnya debit air tanah itu membuat permukaan bumi ambles, seperti terjadi di daerah sekitar Tanjungpriok dan Sunter. Permukaan tanah di kawasan tersebut, kata Syamsul, turun antara 2 dan 3 meter per tahun "Itu terjadi sejak 1970," tambah Syamsul. Jika penyusutan debit air dalam tanah itu kemudian diisi oleh rembesan air laut, kata Soewasti, pemulihannya secara alami amat sulit. Sebab, tanah yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air berubah menjadi limpasan. Proses perubahan itu umumnya dipercepat oleh proyek-proyek industri, yang mengandalkan pemenuhan kebutuhan air mereka dari air tanah. Sebuah penelitian menunjukkan, secara nasional, 95% kebutuhan air proyek-proyek industri diperoleh dengan cara menyedot air tanah. Untuk mencegah penyusutan air tanah secara drastis, maka dalam rancangan Perda DKI Jakarta, yang tengah dibahas anggota DPRD, disebutkan izin yang dikeluarkan Gubernur untuk setiap pengeboran mata air guna keperluan industri harus mendapat rekomendasi dari Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan. Setiap pengambilan air tanah lebih dari 50 liter per detik, atau pembuatan lima sumur bor untuk daerah kurang dari 10 ha wajib dilengkapi dengan analisa dampak lingkungan, penyajian informasi lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan. Di samping itu, kepada mereka juga dikenakan retribusi sebagai berikut: untuk pengeboran pertama Rp 500.000, pengeboran kedua Rp 750.000, dan pengeboran ketiga Rp 1 .000.000. Ketentuan restribusi itu tak dikenakan pada sumur-sumur bor penduduk di wilayah permukiman. Tapi, terhadap mereka akan dikenakan ketentuan baru. Dalam izin pembangunan perumahan untuk permukiman, menurut Syamsul, ada ketentuan untuk menyisihkan 40% areal sebagai daerah resapan air hujan. "Jadi, jangan semua tertutup beton," ujarnya. Selain itu, pemerintah daerah juga lebih mengarahkan pembangunan permukiman ke wilayah barat dan timur. "Mumpung kawasan bagian selatan masih hijau, jadi ditetapkan sebagai daerah resapan air," kata Syamsul. Danau kecil-kecil di Jakarta, seperti yang terletak di dacrah Kuningan, Pulomas, Sunter, juga akan dipertahankan ujudnya. Tak cuma yang dipersiapkan pemerintah daerah untuk penyelamatan air tanah di Jakarta Dua proyek penyediaan air minum Buaran I dan Buaran II disiapkan dengan Bank Dunia. Menurut Gubernur Wiyogo, untuk Buaran I saja diperlukan biaya Rp 200 milyar. Tanpa bantuan, kedua proyek ini bukan mustahil suatu ketika nanti air tawar menjadi barang langka di Jakarta. Suhardjo Hs. dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus