JIKA tak ada aral melintang, Jakarta Informal Meeting (JIM) akan dimulai 25 Juli mendatang. Segala persiapan diplomatik yang kini tengah dilakukan Indonesia -- baik di dalam maupun di luar kerangka ASEAN -- menjadi sorotan berbagai kalangan diplomatik dan pers. Disebut-sebut, misalnya, bahwa JIM dipersiapkan berdasarkan Kesepakatan Kota Ho Chin Minh 29 Juli 1987 yang membagi pertemuan tidak resmi itu ke dalam dua babak: mula-mula antara kelompok Khmer yang berkepentingan (Heng Samrin, Pangeran Sihanouk, Son Sann, dan Khmer Merah), dilanjutkan dengan wakil-wakil pemerintah Vietnam dan "semua pihak yang berkepentingan". Disebut-sebut juga pertemuan yang bersifat "penjajakan", bukan forum "perundingan". Singkat kata, JIM adalah langkah awal yang memanfaatkan tiga jalur yang harus ketemu: reda ketegangan antara pihak-pihak Khmer yang berkepentingan iklim regional yang membantu "menciptakan suasana ke arah penyelesaian politik" dan suasana internasional yang mendorong ke arah penyelesaian yang menyeluruh. Ditinjau dari ketiga jalur tadi, jelaslah bahwa peran ASEAN (dan Indonesia) bersifat terbatas. Lagi pula, peran itu amat rapuh karena tak satu pun negara ASEAN menentukan kancah peperangan di medan laga. Satu-satunya negara yang memegang peran utama dalam ketiga jalur tadi adalah RRC. Dan sebabnya tidaklah terlalu sulit untuk dicari. Ambil misalnya salah satu tonggak dari kerangka penyelesaian politik masalah Kamboja, yakni "penarikan pasukan-pasukan Vietnam" dari Kamboja. Siapakah yang dengan nyata bisa mendesak realisasi politis, ekonomis, dan militer rumus kalimat diplomatik tadi? Jawabnya secara gamblang ialah RRC, karena RRC-lah satu-satunya negara yang secara militer mampu melakukan tekanan seperti itu. Lagi pula, RRC adalah satu-satunya negara besar luar Asia Tenggara yang berbatasan langsung dengan Vietnam. Ambil lagi salah satu rumus diplomatik yang menjadi kunci "penyelesaian menyeluruh", yakni pembentukan Kamboja yang "bebas, netral, dan nonblok". Kalau ditelaah geo-politik Indocina dan kedudukan Kamboja, tak ayal lagi tafsiran akhir dari syarat-syarat "bebas, netral dan nonblok" sesungguhnya terletak di Beijing. Kalau Beijing menilai hasil pertemuan JIM maupun tindak lanjut diplomatik setelah itu tak selaras dengan definisinya tentang "Kamboja yang bebas, netral, dan nonblok", dengan mudah bangunan diplomatik itu akan cepat dirubuhkan olehnya. Contoh lain dari peran kuat RRC dalam masalah Kamboja ialah dalam menerapkan rumus kalimat yang menyebutkan bahwa "semua unsur Khmer harus merupakan bagian dari penyelesaian menyeluruh". Berita-berita dari Beijing dan Eropa Timur belum lama ini menyebutkan bahwa RRC "diduga setuju" akan menghentikan bantuannya kepada Khmer Merah sebagai bagian dari usaha terciptanya pemerintahan rujukan nasional Khmer. Tapi benarkah RRC dengan mudah meninggalkan begitu saja kawan setianya demi penyelesaian yang dapat diterima Vietnam, musuh lama dan saingan utamanya di kawasan Indocina? Pada tingkat regional, peran RRC di Indocina tak mungkin dipisahkan dari kedudukan Vietnam di kawasan itu. Sejak hampir 10 tahun yang lalu, tatkala tentara Vietnam menduduki Kamboja dan turut mendirikan pemerintahan Heng Samrin, RRC merasa terpukul bahwa "hubungan khusus" Vietnam dengan Laos dan Kamboja telah mengakibatkan bobot pengaruh RRC di Indocina berkurang. Sekarang, pada saat Vietnam sudah mulai menarik pasukan-pasukannya dari Kamboja, pertanyaan yang layak diajukan ialah: Puaskah RRC dengan penarikan pasukan Vietnam itu? Ataukah RRC menginginkan suatu pengaturan politik yang lebih "bebas dan longgar" di Indocina, tanpa kedudukan unggul Vietnam atas Laos dan Kamboja? Kembali RRC harus didengar suaranya dan diperhitungkan kemauan strategisnya. Pada tingkat internasional, benarkah perimbangan kekuatan "empat besar" (Amerika, Uni Soviet, RRC, Jepang) sekarang ini menguntungkan penyelesaian yang menyeluruh? Dari Moskow sejak setahun lalu sudah banyak tanda bahwa perestroika Soviet mengharuskan pengurangan beban biaya bantuan Soviet ke Vietnam. Dari Amerika sudah ada kontak-kontak sejak dua tahun lalu bahwa normalisasi hubungan dengan Vietnam akan lekas dicapai apabila Vietnam memperlihatkan sikap yang lebih luwes sekitar Kamboja. Dari kementerian luar negeri Jepang tersiar berita bahwa Jepang bersedia memikul biaya pasukan perdamaian PBB guna mengawasi pelaksanaan persetujuan penyelesaian politik (siapa lagi kalau bukan Jepang yang bayar?). Tetapi dari babak ke-12 pertemuan tingkat wakil menteri luar negeri antara RRC dan Uni Soviet belum lama ini, sedikit sekali ada isyarat bahwa kedua negara komunis tadi telah mencapai konsensus tentang "penyelesaian menyeluruh" di Indocina. Persoalan pokok yang mengganjal ialah ketidakpastian RRC bahwa Vietnam yang sudah dikurangi bantuannya oleh Uni Soviet bukan lagi ancaman strategis baginya. Dari semua gelagat tadi nyatalah bahwa di tengah-tengah kesibukan sidang tahunan menlu ASEAN, pertemuan pasca-sidang tahunan dengan rekan dialog (Amerika, Eropa Barat, Kanada, Jepang, Australia, Selandia Baru), dan tanda tanya tentang jadi tidaknya JIM, sedikit sekali ulasan dicurahkan terhadap kedudukan sentral RRC. Karena itu, benarlah ucapan menteri luar negeri Muangthai Siddhi Savetsila pada sidang tahunan para menlu ASEAN di Bangkok baru-baru ini, ia tidak optimistis melihat terobosan baru. Kunci utama penyelesaian masalah Kamboja justru di tangan negara yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan persiapan JIM. Tak ada yang berani meramalkan apa yang akan terjadi menjelang JIM. Tetapi kalau JIM tidak mau jadi jam, harus kita perhatikan setiap pernyataan dan perbuatan yang dilakukan RRC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini