ADA petuah yang mungkin belum diketahui banyak orang karena tidak semua orangtua tega memfatwakan aiaran seperti ini. Begini bunyinya, "Anakku, kelak kalau kamu sudah bisa cari uang, hati-hati, jangan sampai kecanduan judi apa pun. Terus terang, saya lebih suka kamu gila perempuan, daripada gila judi. Sederet alasan kemudian dibeberkan, tapi intinya satu: judi membuat orang kehilangan rasa malu. Seorang penjudi akan tega menjual semua pakaiannya, bahkan reputasinya. Sangat lain kalau senang pada perempuan. Orang itu akan cenderung berbusana rapi. Maklum, berusaha merebut hati. Masuk akal memang. Dampak negatif berjudi agaknya tak guna lagi ditanyakan. Ada tukang becak yang membakar istrinya hanya karena kupon porkas di saku celananya ikut tercuci. Tak kalah tragis adalah kaum gelandangan, yang sengaja menyewakan anaknya kepada rekan pengemis untuk menggugah belas kasihan. Uangnya? Ya, untuk pasang buntut KSOB atau TSSB. "Siapa tahu menang," ujarnya dalam sikap untung-untungan. Cara hidup untung-untungan yang umum ditemukan di kalangan ekonomi lemah semakin menonjol akhir-akhir ini. Mereka seperti dirasuki KSOB atau TSSB, tak lain karena, "peluang orang kecil di jalur formal untuk meraup kekayaan sangat terbatas," kata Djamaluddin Ancok, ahli psikologi sosial dari Universitas Gadjah Mada. Padahal, kekayaan kian penting dalam masyarakat yang kini semakin materialistis. Arief Budiman melihat sikap orang kecil itu bukan sebagai untung-untungan, tapi justru rasional. "Mereka bisa punya rencana untuk menaikkan taraf hidup, sebab tak ada jalan lain baginya untuk memperoleh uang lebih banyak." Ia lalu mengemukakan contoh: seorang tukang kayu yang sengaja menghentikan kebiasaan merokok karena uangnya dibelikan KSOB. Di balik itu ada tekad kalau menang, ia akan membeli alat-aiat pertukangan, yang kelak menaikkan mutu garapannya. Motivasi untuk berjudi memang bisa macam-macam, dan cukup menarik keterangan Antropolog Dr. James Dananjaya, yang menyatakan, "Judi itu, bagi saya, merupakan bagian dari pertandingan." Ia mengaku pernah main jackpot dan pasang Porkas. Tapi ia tak sampai membeli kode-kode ataupun bertanya pada dukun tentang nomor dan huruf yang akan muncul. Soalnya, Jimmi tetap menganggap judi sebagai pertandingan, dan ada tiga jenisnya. Pertama adu fisik, seperti tinju. Yang kedua strategical game, seperti main kartu, catur, dan halma. Nah, judi ini adalah pertandingan yang bersifat spekulatif. Dalam judi, biarpun cuma iseng, selalu ada harapan untuk menang. Rasa iseng atau lebih tepat disebut untung-untungan ini, menurut Jimmi, merupakan sifat turunan. Contohnya, suasana kehidupan manusia sebelum agama muncul di suatu wilayah. Di sana orang cenderung menyerahkan diri bulat-bulat kepada dewa atau roh, atau yang dipertuhan. Peri laku seperti ini masih berbekas kini. Misalnya, orang meminta hujan dengan memandikan kucing. Apa hubungannya? Atau ingin cepat dapat jodoh, dengan mandi di sungai tertentu. Tidak terkecuali, minta nomor undian pada seorang anak berusia sembilan tahun, yang dianggap punya kemampuan magis. Pendapat Djamaluddin Ancok tak jauh berbeda. Katanya, dalam budaya Indonesia masih mengakar kepercayaan bahwa yang mengangkat harkat hidup seseorang adalah faktor-faktor luar, bukan yang ada dalam dirinya sendiri. "Masyarakat kita sangat percaya pada nasib atau keberuntungan. Mereka tidak yakin bahwa dirinyalah yang menentukan keberhasilan hidupnya," tutur Ancok. Dalam istilah psikologinya, manusia Indonesia condong pada sifat yang locust of control. Lain lagi sudut pandang yang dikemukakan Ignas Kleden, pengamat sosial dari LP3ES. Menurut dia, ada perbedaan antara kalangan atas dan bawah dalam hal judi. Kalangan atas berjudi untuk menikmati tantangan yang muncul, kalangan bawah lebih didorong kebutuhan ekonomi yang mendesak. "Mereka lari ke KSOB, karena KSOB menjanjikan uang dalam jumlah jutaan, betapapun kecil kemungkinannya." Apa pun alasannya, banyak kalangan tidak setuju KSOB dan TSSB. "Sebaiknya, dihapus saja, sebab yang main kebanyakan rakyat yang dari sononya sudah sengsara," ujar James Dananjaya. Jadi, tidak setuju judi? "Tidak juga," jawabnya. James sadar, banyak tambahan dana diperlukan pemerintah, oleh sebab itu, adakan saja kasino, yang digemari orang-orang berduit. Yang penting, tidak terjangkau rakyat kecil. Ancok juga tidak setuju KSOB karena melemahkan semangat kerja masyarakat. "Padahal, pada dasarnya masyarakat kita punya etos kerja tinggi," ujarnya. Kalau tidak, mana mungkin kita bisa punya candi megah dan besar seperti Borobudur dan Prambanan. Tapi etos kerja mudah dipengaruhi faktor luar, KSOB dan TSSB, misalnya. Lalu, seberapa gawat pengaruh buruk itu bisa "merusakkan" manusia? "Judi, dipandang dari segi kejiwaan, tidak sehatlkarena bisa menimbulkan obsesi kompulsif," kata dr. Dadang Hawari, psikiater dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Maksudnya, pikiran seseorang hanya terpaku pada satu hal. Pikiran itu muncul lagi, berulang-ulang, padahal si penderita sadar bahwa pikiran itu tidak benar. Ini berarti orang itu sudah terkondisikan ke pola pikir judi, yang bisa berbuntut panjang: kalah judi, main lagi, pekerjaan telantar, prestasi melorot, rumah tangga berantakan. Coba saja, dari 20 kali pemasangan KSOB, paling banter hanya dua kali bisa menang. Akibatnya, "Orang yang mengalami hal seperti itu akan mengidap gangguan jiwa," ujarnya. "Dia tidak bisa lagi beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari secara wajar," ucap dr. Dadang. Itulah yang menimpa Sinar Tarigan, 21 tahun, pemuda tampan lulusan SLTA yang diharapkan meneruskan ke perguruan tinggi, tapi gagal karena tidak waras. Berasal dari keluarga mampu di Deli Tua, Sinar, yang pernah kecanduan porkas, kini kerjanya seharian tak lain berceloteh tentang kemenangan 10 juta, seraya tangannya memungut kertas yang berserakan di jalan raya. "Hancur masa depan anak saya," kata Tarigan Tua, 52 tahun, tanpa bisa berbuat apa-apa. Budi K., M. Suarjana, Kastoyo R., dan Makmun A.M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini