Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tebaran asap masih mengambang

Kebakaran hutan selama musim kemarau di kalimantan dan sumatera menimbulkan asap tebal hingga ke malaysia. akibatnya, banyak penerbangan dibatalkan, perekonomian dan kesehatan terganggu.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebakaran hutan sepanjang musim kemarau menimbulkan asap tebal. Akibatnya, pesawat terbang tak bisa mendarat, kapal kehilangan arah, orang batuk-batuk dan sesak napas. PAYUNG raksasa itu kini melingkupi Kalimantan dan Sumatera. Tebalnya dari permukaan tanah bisa sampai 200 meter. Bagaikan payung biasa, ia juga berfungsi menahan sinar matahari. Hanya saja, payung raksasa ini diumpat dan disesali. Mengapa? Payung itu lebih banyak membawa rugi. Dan siapa sangka, asap tebal itu bersumber dari hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera. Mungkin karena kemarau, hutan mengering, hingga mudah dibakar oleh peladang berpindah. Bisa juga terbakar secara tidak sengaja seperti di Kalimantan Timur, yang menyimpan bara batu bara pada lapisan kulitnya. Fenomena ini sebenarnya terjadi setiap tahun. Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan selalu diganggu asap kebakaran yang terjadi setiap musim kemarau. Asap ini tidak segera hilang tertiup angin, karena kedua wilayah itu adalah daerah belokan angin yang ditandai dengan berembusnya angin yang tenang. Namun, menurut Kepala Sub-Bidang Ramalan dan Jasa Meteorologi Badan Meteorologi dan Geofisika, Paulus Agus Winarso, kondisinya berbeda. "Ini karena pengaruh global, bukan pengaruh lokal," katanya. Pengaruh global ini jugalah yang menyebabkan terjadinya hujan berlimpah di awal tahun lalu, diikuti musim kemarau yang berkepanjangan. Karena pengaruh gelombang yang menurut Paulus berubah setiap tahun, suhu di Samudera Indonesia pada awal tahun panas sekali. Kondisi ini baik sekali untuk meneteskan hujan, karena terjadi transpor uap air untuk membentuk awan. Tapi saat ini suhu di samudera itu dingin, sehingga tidak terbentuk awan yang bisa mengucurkan hujan. Dalam kondisi tanpa hujan dan cerah ini, terjadilah penyimpangan suhu yang merupakan kebalikan dari yang terjadi di alam. Energi dari matahari yang dipancarkan bumi ke atas menyebabkan suhu menjadi rendah di daratan, tapi udara di lapisan atas tetap panas. Perbedaan ini menyebabkan terbentuknya lapisan inversi. Biasanya, lapisan inversi tidak terbentuk di banyak tempat karena masih ada hujan di beberapa tempat. Namun, kini hal itu tak terjadi karena Samudera Indonesia yang dingin suhunya itu tidak menyebabkan terjadinya transpor uap air. Apa boleh buat. Kini lapisan inversi terbentuk di hampir seluruh wilayah Indonesia. "Lapisan ini menahan asap naik ke atas, sehingga asap berputar-putar di bawah lapisan itu saja," kata Paulus. Celakanya lagi, pada saat musim kemarau, banyak asap kebakaran hutan mengambang di sini. Asap serupa payung inilah yang banyak merugikan. Kerugian paling nyata diderita dunia penerbangan. Wartawan TEMPO Almin Hatta, yang menumpang pesawat dari Banjarmasin ke Palangkaraya, mengalami sendiri bagaimana pesawatnya tidak bisa mendarat karena landasan diselimuti asap setinggi 50 meter. Sialnya, hampir semua penerbangan dari dan ke kota-kota di Kalimantan serta Sumatera harus ditunda atau dibatalkan. Ternyata, yang berusaha mendarat pun belum tentu selamat. Seorang teknisi pesawat Cessna meninggal, ketika sayap pesawat patah, dan beberapa penumpang luka berat. Transportasi laut pun menjadi korban. Kapal hendak ke Riau terempas di pantai. Di Sungai Musi, Palembang, terpaksa dibuat satu jalur karena sudah terjadi kecelakaan yang menyebabkan jatuhnya tiga korban dan lima kapal kandas. Bahaya utama ialah, di tengah asap pekat itu, jarak pandang amat terbatas. Di Padang, pandangan manusia cuma bisa menembus 100 meter ke depan. Lampu sorot halogen tak mampu menembus. Gara-gara asap pula, Medan di siang hari tampak seperti sore hari. Di Riau sudah terjadi dua kasus kecelakaan lalu lintas darat. Asap ini jelas mengganggu perekonomian. Perusahaan penerbangan rugi, penumpang pun repot. Pengangkutan bahan-bahan kebutuhan pokok penduduk ke pedalaman Kalimantan tak bisa dilakukan. Surat kabar tak bisa lagi dibaca setiap hari. Hotel pun kekurangan penghuni. Yang juga terganggu adalah kesehatan penduduk. Sekarang saja, mata akan terasa pedih bila terkena asap. Ada kemungkinan, penduduk terkena penyakit sesak napas dan batuk. Buktinya, setelah asap tebal melingkup Medan, menurut dr. M.M. Tarigan dari Balai Pengobatan Penyakit Paru Medan, pasiennya bertambah. Payung asap ini sekarang sudah meluas ke Brunei, Singapura, dan Malaysia. Tak heran kalau Malaysia mengusulkan agar negara-negara ASEAN mengadakan pertemuan darurat, mencari jalan keluar menghilangkan payung asap itu. Jalan keluarnya, menurut Paulus, tak lain hanya menunggu jatuhnya hujan. Sayang sekali, hujan yang jual mahal itu baru akan mengucur akhir bulan ini. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah memadamkan kebakaran hutan. Tapi Indonesia, yang memiliki hutan tropis terbesar kedua setelah Brasil dan dianggap sebagai paru-paru dunia, tidak dapat memadamkan sendiri api yang sudah menghanguskan hampir 90.000 hektare hutan itu. Negara-negara Barat, yang selama ini selalu mengkritik kebijaksanaan kehutanan Indonesia, tampaknya tenang-tenang saja. Sampai-sampai Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap dan PM Malaysia Mahathir Mohammad mengecam mereka. Baru minggu lalu uluran tangan datang dari Finlandia, Jepang, dan Inggris. Secara resmi, Indonesia juga sudah meminta bantuan internasional. Setidaknya, agar tidak terulang tragedi kebakaran di Kalimantan Timur (1983), yang menghanguskan 3,6 juta hektare hutan. Diah Purnomowati dan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus