Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Cak nur dan gus dur

Islam indonesia pada tokoh lalu adalah islam transisional dan romantik. nurcholish madjid dan abdurrahman wahid membuat islam menjadi kekuatan masyarakat demokrasi.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cak Nur dan Gus Dur FACHRY ALI PASTILAH terlalu mengada-ada mengajukan pertanyaan semacam ini: Apa jadinya Islam Indonesia dewasa ini tanpa Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid? Penyebabnya adalah di belakang mereka telah ada tokoh-tokoh yang menggoreskan jejak-jejak besar. Kiai Haji Hasyim Asy'ari, Kiai Haji Ahmad Dahlan, misalnya, adalah tokoh yang meletakkan dasar institusional Islam Indonesia di wilayah pedesaan dan perkotaan. H.O.S. Tjokroaminoto, mungkin, tokoh pertama yang mengartikulasikan Islam dalam bentuk kekuatan politik modern hampir dalam lingkupan nasional. Pada dasar mana kemudian, Natsir, Sukiman, Wahid Hasyim melanjutkan peranan politik Islam di bawah naungan Indonesia merdeka. Cak Nur dan Gus Dur, dilihat dari konteks ini hanyalah bagian kecil yang "terseret" ke dalam arus suasana yang termapankan oleh para tokoh raksasa itu. Lalu apa signifikansi keberadaan dua tokoh yang secara kebetulan berasal dari nJombang ini? Islam Indonesia pada tokoh-tokoh lampau itu adalah Islam transisional dan romantik. Dilihat dari konteks persoalan kekinian, sifat yang dimilikinya itu mengandung beberapa persoalan. Asy'ari dan Dahlan (sebagai personifikasi Islam transisional) telah berhasil menarik dan menegakkan sesuatu yang baru (organisasi sosial Islam) dari latar belakang alam "lumpursawah" Islam Indonesia. Tindakan membuat jarak sosial dan kultural ('uzlah) antara Barat (diwakili Belanda) dan Islam yang diambil para ulama pada masa lampau, telah memapankan kaum muslimin sebagai wong desa tanpa kemampuan memperalat diri berhadapan dengan kekuatan-kekuatan modern. Sebagai akibatnya, desa dan Islam menjadi hampir-hampir identik. Lahirnya Muhammadiyah, yang kemudian diikuti NU telah membobol "tembok pematang sawah" itu secara institusional. Banjirnya "Islam kota" setelah itu, yang kini semakin kuat dirasakan, rasanya haruslah dikembalikan kepada tindakan berani kedua tokoh itu dalam fase transisi yang sangat crucial ini: usainya dikotomi "Islam desa" dan "Islam kota". Tjokroaminoto, yang kemudian diikuti Natsir, Sukiman, dan Wahid Hasyim, adalah tokoh yang mengisi bobolnya "tembok sawah" itu dengan sesuatu yang baru: ideologi Islam modern. Antara lain, berbekal atau dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Jamaludin al-Afghani, reformis dan ideolog Islam modern Timur Tengah, para tokoh itu tak hanya menghadirkan Islam sebagai "wadah tempat kembali", tempat kedamaian bisa ditemukan, melainkan suatu gerak yang secara sistematis diarahkan kepada suatu perubahan kehidupan yang dicita-citakan. Islam di sini menjadi suatu daya penggerak dan semua partisipannya tiba-tiba terpesona dan terseret ke dalam arus idealistik yang dirumuskannya. Romantisme Islam Indonesia -- seperti yang kini menggejala di beberapa negara Islam lainnya -- -lahir dari proses over-ideologisasi terhadap ajarannya sendiri. Toh, ketika dasar tempat artikulasi ideologis itu berubah Islam dengan dua sifat di atas menghadapi permasalahan. Struktur sosial-politik dan ekonomi yang tercipta tidak terlalu bersedia mengakomodasikan semangat romantisme Islam itu. Kebangkitan Orde Baru bukan saja membentangkan struktur sosial-politik dan ekonomi baru, tetapi juga menghadirkan kekuatan-kekuatan lain sebagai penyangga utama struktur itu. Dalam konteks ini, semangat romantisme Islam yang terus berlanjut pada masa awal Orde Baru tidak bersesuaian ruang dengan struktur yang tersedia. Banjir "Islam kota" yang dimulai Dahlan dan Asy'ari dan romantisme Islam yang diisi oleh pemimpin politik santri meluap ke luar batas struktur yang tersedia, secara hampir sia-sia. Islam, yang telah tergerakkan itu, seakan-akan -- meminjam konsep Geertz untuk kondisi masyarakat Jawa di bawah kolonial -- maju ke arah kekaburan (advanced toward vagueness). Frustrasi dan kebingungan dari proses yang hampir-hampir tak berbentuk ini telah menjungkirbalikkan kondisi dunia Islam. Mungkin, dari konteks inilah kedua tokoh muda nJombang itu (Cak Nur dan Gus Dur) patut dilihat. Dengan sedikit mengesampingkan hal-hal yang mungkin bisa diperdebatkan, Cak Nurlah yang menemukan titik awal kerja itu dengan teriakan: Islam yes, partai Islam no! Teriakan ini mungkin terdengar amat sederhana. Namun, lewat tindakan itu suatu bentuk watershed (batas air) antara Islam yang telah telanjur mengalami over-ideologisasi dan "Islam yang wajar", (belakangan disebut "Islam kultural") bisa tercipta. Di dalam bentuk Islam ini, bukan saja hal-hal baru terakomodasikan di dalamnya, melainkan juga pluralisme ide dan golongan. Ia bukan saja menolak dominasi Islam ideologis, tapi juga melonggarkan definisi menjadi orang Islam, yang sebelumnya dipersempit secara ideologis. Islam "wajar" atau "kultural" inilah yang menampung semua kalangan Islam (termasuk kalangan birokrat) ke dalamnya. Gerak yang bersifat de-ideologisasi inilah yang melahirkan implikasi luas. Proses penilaian kembali posisi diri di kalangan umat Islam melahirkan kemampuan yang cukup lumayan beradaptasi dengan lingkungan struktural baru, yang sebelumnya telah menolak dimensi ideologik Islam. Perkembangan "wajar" Islam Indonesia dewasa ini, untuk sebagian, haruslah kita lihat dari awal slogan di atas digaungkan. Secara perlahan-lahan, dasar sebuah masyarakat Islam baru pasca ideologis telah mulai terbentuk. Dengan berbagai pengecualian, Gus Dur (yang muncul lebih belakangan) telah tegak pada dasar perkembangan baru ini. Ia bukan saja melanjutkan proses de-ideologisasi ini dalam bentuk yang lebih kongkret (mengeluarkan NU dari PPP), tetapi juga berusaha menjadikan Islam menjadi milik nasional. Gagasannya tentang pribumisasi Islam, tentang sektarianisme serta tentang demokrasi, haruslah dibaca sebagai usaha mendudukkan Islam dalam posisi tanpa batas, berhadapan dengan kalangan "sekular" dan non-Islam. Dalam posisi itu, Islam bisa bertemalian dengan kelompok-kelompok lain pada basis isu nasional. Ia berusaha -- seperti terlihat pada Forum Demokrasi -- menarik Islam, bersama dengan kelompok-kelompok non-Islam menjadi kekuatan bersama menggerakkan perubahan ke arah bentuk the Indonesian civil society yang lebih berarti. Saya melihat tindakan kedua tokoh muda nJombang ini memberikan dasar yang cukup kuat bagi proses perkembangan Islam modern Indonesia di masa depan. Gus Dur dan Cak Nur telah membuat Islam menjadi kekuatan masyarakat demokrasi yang tak bisa ditolak oleh kelompok-kelompok lain. Kerja sama antara keduanya mungkin jauh lebih menguntungkan "masyarakat nasional yang dicita-citakan" daripada sebaliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus