Kiai Haji Ali Yafie tertarik ilmu fikih sejak masuk pesantren, kemudian bekerja di bidang itu juga, dan pekan lalu dikukuhkan sebagai profesor dalam ilmu itu juga. SEBUAH beban berat diletakkan di pundak K.H. Ali Yafie oleh Institut Ilmu Al Quran Jakarta. Itu terjadi pada Sabtu pekan lalu, persis pada saat institut tersebut mengadakan acara wisuda sarjana ketiga. Pada acara itu, kiai yang sudah berambut putih itu dikukuhkan menjadi guru besar di bidang hukum Islam. "Kita harapkan semua persoalan yang kita hadapi dalam hukum Islam dapat kita selesaikan dengan baik," kata Profesor Ibrahim Hosen, Rektor Institut Ilmu Al Quran, dalam pidato sambutannya. Tak berlebihan, harapan Ibrahim Hosen. Kiai Ali Yafie dari Pesantren Darul Dakwah wal Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan, sejak masuk pesantren telah berminat mempelajari ilmu fikih, mungkin secara alamiah. Sementara itu, ia sendiri mempraktekkan hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Umpamanya dalam berbicara, mengajar, berpakaian, sampai ke hal-hal yang kecil sekalipun. "Biarkan itu sebuah kursi. Bila tidak terletak pada tempatnya, saya berusaha membetulkannya," kata Ali Yafie. Mungkin itu pengaruh langsung dari ayahnya, seorang ulama alim di Pare-Pare. Setelah melihat teladan sang ayah, ketika dipindah ke Ujungpandang (Makassar, waktu itu namanya) dan bekerja sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Agama, Ali Yafie muda berteladan pada ulama besar K.H. Ahmad Bone. Kebetulan, K.H. Ahmad Bone adalah Ketua Pengadilan Tinggi Agama di kota itu. Banyak orang mengatakan bahwa seseorang akan berhasil bila pekerjaan dan minatnya berkaitan. Itulah tampaknya yang terjadi pada diri Ali Yafie. Di Ujungpandang, di samping sebagai seorang hakim agama, ia juga seorang dosen hukum Islam di Universitas Muslim Indonesia di kota itu juga. Kemudian menjadi dosen, dan kemudian dekan, di IAIN Alauddin Ujungpandang. "Semua pekerjaan itu selalu berkaitan dengan hukum Islam," tuturnya. Pada 1971 terjadi perubahan dalam kehidupannya. Ia terpilih menjadi anggota DPR sebagai wakil Nahdlatul Ulama dari daerah Sulawesi Selatan. Sebagai anggota DPR, tentu ia akan banyak berbicara dalam soal politik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Selama 15 tahun di DPR, dalam tiga periode, K.H. Ali Yafie lebih banyak menimba ilmu. Ia duduk di Komisi IX, komisi yang menangani pendidikan dan agama, dan lebih sering ikut dalam panitia khusus yang membicarakan soal-soal Peradilan Agama dan Mahkamah Agung. Di situ, kata Ali Yafie, saya belajar bagaimana cara orang membuat dan memperdebatkan sebuah undang-undang. Pengalaman Ali Yafie di DPR memang tidak sia-sia. Dari situ ia bisa melihat bahwa tidak hanya hukum Islam yang tertinggal, seperti yang sering ditudingkan orang. Setiap hukum, kata Ali Yafie, akan selalu tertinggal dari perkembangan zamannya. Sebagai contoh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata yang digunakan di Indonesia sekarang ini adalah produk tiga ratus tahun lalu. Dalam hal hukum Islam, sebagai contoh tertinggalnya hukum ini dari zamannya, adalah hukum yang menyangkut bunga bank. Masalah satu ini memang sering diperdebatkan, dan tak juga ada kata sepakat bulat. Sebetulnya, kata Kiai Ali Yafie, masalah tertinggalnya hukum dari persoalan zamannya -- soal hukum bunga bank sebagai contohnya -- -tak perlu diperdebatkan. Itu akibat logis dari sikap umat Islam sendiri. Selama ini perhatian umat Islam sangat terserap pada persoalan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan Khaliknya. Padahal, soal ibadah baru seperempat dari ruang lingkup fikih. Sementara itu, yang tiga perempat lagi sering terlupakan. Yang dimaksud adalah bidang muamalat (mengatur hubungan antarmanusia), munakahat (mengatur keluarga di lingkungan rumah tangga), dan jinayat (melindungi hak dan kewajiban manusia agar hidup tenteram). Pada ketiga persoalan di atas, menurut Ali Yafie, petunjuk-petunjuk yang diberikan hanya dalam bentuk prinsip. Itu perlu dikembangkan. Dengan kata lain, pada ketiga bidang tersebut, dituntut ijtihad umat Islam agar Islam dapat menjawab tantangan zaman. Ini bukan hanya sekadar anjuran atau pikiran sekilas dari Ali Yafie. Tapi soal itu sudah ia tuangkan dalam bentuk karya tulis. Dalam usianya yang 67 tahun kini, sejumlah buku sudah ditulisnya. Antara lain Pandangan Islam Tentang Masalah Kependudukan, Agama, dan Kemiskinan, dan Persoalan-Persoalan Keagamaan. Di samping itu, karena seringnya ia diminta memberikan ceramah, sudah dua ratusan makalah yang ia tulis. Terbaru adalah pidato pengukuhannya sebagai guru besar di bidang hukum Islam, berjudul "Norma Fikih dan Lingkungan Hidup." Barangkali inilah yang menyebabkan Ibrahim Hosen menyebut Ali sebagai ahli hukum Islam yang berpandangan luas, dan modern. Ali Yafie mengaku, pandangannya dalam ketiga persoalan fikih yang masih jarang digarap orang itu dipengaruhi oleh Profesor Abu Zahrah, ulama besar Mesir pada abad ke-20 ini. Ia memang banyak membaca karangan ahli hukum Islam terkemuka di dunia Arab. Karena luas pengetahuannya itulah, di samping gelar kiai, Ali Yafie pun kini berhak menyandang gelar profesor. Gelar itu menyusul gelar profesor madya yang ia terima beberapa tahun lalu dari Universitas Assyafi'yah, Jakarta. Dan kata Ali Yafie semua itu karena Allah. Julizar Kasiri dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini