Mutu produk bisa terjaga bila konsumen lebih aktif bersuara. Tapi pengawasan pemerintah diharapkan lebih ketat. AIR mahal tak selalu bebas dari kotoran. Kasus pencemaran air minum Aqua, yang meletup dua pekan silam, sampai kini belum teratasi. Bahkan ada media yang mengaitkan kasus itu dengan persaingan bisnis yang tidak sehat. Kemungkinan seperti ini sebenarnya wajar-wajar saja dalam bisnis. Namun, karena menyangkut keselamatan orang, tentu secara moral bisa dianggap sangat tidak bertanggung Jawab. Aqua yang tercemar itu ditemukan oleh beberapa staf perusahaan asing di Purwakarta, September lalu. Air minum mereka sehari-hari -- Aqua kemasan 1,5 liter seharga Rp 750 -- tak jadi diteguk. Malah air dalam kemasan plastik itu dibuang. Ternyata, ada butiran-butiran cokelat sebesar pasir di dasar botol. Salah seorang pegawai perusahaan itu berinisiatif mengambil sebotol air yang kemudian diserahkan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Dalam hal ini dia menempuh prosedur yang benar. Bila ada kasus, konsumen berhak mengadu ke Departemen Kesehatan, pabrik yang bersangkutan, atau YLKI, yang kemudian akan meneruskan pengaduan itu ke produsen. Kini sikap acuh tak acuh konsumen rupanya sudah ditinggalkan. Mereka mulai angkat suara. Tahun ini saja, untuk kasus air minum dalam kemasan, YLKI sudah menerima empat pengaduan. Misalnya karena berbau minyak tanah atau ada gumpalan di dasar botol. Tidak semua berlabel Aqua. Juga ada dari merek Moya Barid dan Oasis, Merek VIT, Air Sosro, dan AdeS juga termasuk dalam lebih dari 10 kasus yang diterima YLKI selama dua tahun terakhir. Air Moya Barid -- mengakibatkan beberapa karyawan bank pemerintah sakit perut setelah meminumnya -- setelah dianalisa ternyata positif mengandung bakteri dan jamur dengan rasa serta bau yang tidak normal. Kesimpulannya, air tersebut tidak memenuhi syarat sebagai air minum. Gumpalan di dasar botol Aqua kemasan 625 mililiter yang diadukan konsumen dari Jawa Tengah beberapa bulan lalu, setelah diuji di laboratorium PT Aqua Golden Mississippi (AGM) -- produsen Aqua ternyata tak seharusnya ada dalam air tersebut. Gumpalan tersebut berupa jamur jenis rhizopus nigricans. Dalam surat Direktur Raymond Chaspuri, hal ini terjadi karena air terkena matahari langsung. Sekalipun begitu, dikatakannya bahwa jamur tersebut tidak berbahaya untuk kesehatan. AGM segera mengganti air berjamur itu dengan yang baik. Namun, masalahnya tak sekadar ganti rugi. "Produsen bertanggung jawab sepenuhnya pada konsumen, apalagi mereka sudah mengubah pola hidup konsumen sehingga tak percaya lagi dengan air rebusan sendiri," kata Ibrahim Ajie di bagian pengaduan YLK. Pendapat serupa dilontarkan oleh anggota DPR Tadjoeddin Noer Said. Yang biasanya terjadi, produsen menyalahkan penanganan di tingkat pengecer, yang menyebabkan adanya kelainan tersebut. Misalnya, air minum dijual di bawah terik matahari langsung, atau di dekat minyak tanah sehingga baunya menembus plastik. Namun, menurut Tadjoeddin, produsen mempunyai tanggung jawab moral pada konsumen dan tidak bisa begitu saja menimpakan kesalahan pada pengecer. AGM sebenarnya tidak tinggal diam. Presiden Direktur AGM, Willy Sidharta, mengatakan bahwa seminggu setelah Aqua dikabarkan tercemar, mereka terus melakukan sweeping ke semua pasar untuk mencari bukti adanya Aqua yang tercemar dengan nomor batch 51104312. Tapi bukti itu tidak ditemukan. Willy menegaskan, pencemaran Aqua kecil kemungkinan terjadi di pabrik. "Kalau karena kesalahan alat, pasti tidak hanya satu botol yang tercemar. Karena produk kami diproduksi terus-menerus, jadi satu nomor berarti satu kemasan dari pabrik tertentu dan shift tertentu," ujarnya menjelaskan. Air minum sebenarnya tidak bisa diperlakukan secara sembarangan, karena mungkin sekali bakteri yang masih ada ketika proses pengisian air, hidup kembali setelah terkena sinar matahari. Dan AGM, yang menguasai hampir 65 persen pasaran air minum di sini, tampaknya berusaha menekan terjadinya pencemaran di pabrik. Pencemaran paling mungkin terjadi, karena Aqua membuat kemasan sendiri dalam ruangan yang sudah disucihamakan. Namun, untuk kemasan 19 liter -- yang ini dikembalikan konsumen -- diperlukan beberapa kali seleksi sebelum diisi air. Air minumnya sendiri tak mungkin sampai tercemar. Proses pembuatan air mahal ini tergolong sederhana. Air yang diambil dari mata air atau sumur artesis disaring melalui tiga saringan, yaitu sand, carbon, dan cartridge filter. Air ini lalu dicampur dengan ozon yang dihasilkan oleh ozonator. Alat ini mengubah oksigen menjadi ozon (O3) dengan melalui listrik tegangan tinggi. Ozon akan mematikan semua bakteri yang ada di air, dan enam jam kemudian terurai kembali menjadi oksigen. Menanggapi kasus Aqua, Tadjoeddin heran karena yang kerap menemui kasus terjadinya pencemaran adalah YLKI. Padahal, sebagai lembaga independen, dana mereka terbatas sekali. "Kalau kita tawarkan pada konsumen untuk menanggung setengah biaya, mereka tidak mau," ujar Ajie dari YLKI, menanggapi sikap pasif konsumen Indonesia. Bila sikap ini diubah, mungkin produsen akan lebih berhati-hati menjaga produknya. Anggota DPR itu juga menginginkan agar Pemerintah lebih tegas bila terjadi kasus pencemaran makanan dan minuman, misalnya dengan menghentikan produksi sementara. Dalam kasus Aqua, sebenarnya Pemerintah sudah turun tangan. Dan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes telah memerintahkan penarikan Aqua selambat-lambatnya akhir November mendatang. Tampaknya penarikan itu tidak akan terjadi, karena menurut Direktur Pemasaran AGM Ita Thaher, nomor batch 51104312 bukan produksi perusahaannya. Alasan Ita: AGM tidak mengeluarkan nomor sekian. Tapi apakah ada sanksi? "Nomor registrasinya bisa kami cabut," kata Kepala Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Ading Suryana. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini