Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Teka-teki

Hujan salju di irian jaya, kejadian kedua sejak 1957. tanaman penduduk rusak, dimungkinkan akibat angin dingin yang bertiup dari australia menerjang puncak carstenz. (ling)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Teka-teki
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNGGUH di luar dugaan. Di daerah tropis seperti Indonesia terjadi hujan salju. Butir-butiran putih seperti kapas turun di Desa Ilaga, daerah pedalaman Kabupaten Paniai, Irian Jaya. Penduduk yang kebanyakan masih mengenakan koteka (bagi laki-laki) dan holim (buat wanita) tidak berani keluar karena dingin sangat menggigit saat itu. Mereka cuma menyaksikan kejadian langka itu dari dalam gubuk-gubuk mereka. Hari pertama (25 Juli) salju telah menyelimuti jalan, rumah dan pepohonan di daerah yang terletak di jajaran Pegunungan Jayawijaya bagian barat itu. Penduduk setempat bercerita kepada pembantu TEMPO yang minggu lalu berkunjung ke Ilaga -- sekitar 100 km sebelah barat Kota Wamena -- bahwa hujan salju baru usai setelah dua hari. Akhir hujan salju di dataran yang tingginya 2.700 meter di atas laut itu ditandai dengan mencairnya "selimut putih" di seluruh desa dan ladang. Hujan salju itu terjadi pada saat suhu mendadak merosot. Menurut catatan petugas missi Kristen yang mangkal di sana, suhu mencapai 0ø Celcius. Biasanya, suhu berkisar pada 18ø Celcius siang hari dan malam hari turun menjadi 5 - 8ø Celcius. Data yang dikumpulkan TEMPO di Wamena, antara 1966-1970, suhu udara di Ilaga pernah beberapa kali mencapai 0ø Celcius. Setelah itu --paling tidak -- belum pernah tercatat suhu udara sampai sedingin itu. Balai Meteorologi dan Geofisika (BMG) Irian Jaya yang seharusnya bertugas mengamati kejadian itu juga kaget mendengar berita hujan salju di Ilaga. "Kami tidak tahu persis dari mana asal salju itu turun dan mengapa justru terjadi di tempat itu," kata Soekarman, Kepala BMG di Jayapura. Ia memperkirakan, salju turun dari puncak Pegugunungan Carstenz yang tingginya 5.030 meter. Carstenz terkenal dengan selubung salju abadi berbentuk piramida di puncaknya. "Menurut teori," kata Soekarman, "salju bisa terjadi bila uap air di udara di bawah titik beku air." Dugaan pertama, pada saat itu telah bertiup angin dingin dari Australia -- yang kini sedang musim dingin -- menerjang puncak Carstenz. Lapisan salju terkikis dan diterbangkan ke daerah "bayangan" gunung di sebelah barat, Ilaga. Namun faktor ini saja belum cukup menjamin bahwa salju akan mendarat di sana. "Harus ada massa udara dingin yang turun dari pegunungan itu sehingga mempengaruhi penurunan suhu udara sampai titik beku air," kata Soeharsono Kepala Sub Bidang Ramalan dan Jasa, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di Jakarta kepada TEMPO. Kalau suhu udara tidak merosot sampai oø Celcius, salju yang diterbangkan dari puncak Carstenz itu akan mencair sebelum menyentuh tanah. Yang biasa terjadi di Indonesia juga di daerah lain -- ialah hujan es. Ini berasal dari kristal-kristal es di lapisan udara yang bersuhu 0ø Celcius atau ketinggian sekitar 5.000 meter. Kristal-kristal es itu menyatu menjadi gumpalan. Semakin besar gumpalan itu, "daya layang" semakin berkurang karena tekanan udara yang menyangga lebih kecil dibanding daya tarik bumi. Akibatnya gumpalan es itu meluncur ke bawah dan mencair. Sisa gumpalan segede kelereng, berwarna putih seperti kapuk ini yang bisa mencapai bumi dan dikenal sebagai hujan es. Namun untuk membedakan apakah yang turun itu salju atau es, sebenarnya bisa dilihat dari bentuk awan asalnya. Hujan salju selalu turun dari awan yang rata atau stratus. Sedang hujan es berasal dari awan cumulonimbos -- yaitu awan yang berlapis-lapis. Secara normal di daerah tropis, hujan salju cuma bisa turun di daerah yang tingginya 5.000 meter. Untuk daerah tropis kering seperti Asia Tengah dan Amerika Selatan, salju bisa turun pada dataran tinggi sekitar 7.000 meter dari laut. Di mata para ahli -- terutama di BMG Jakarta -- peristiwa langka di Ilaga itu masih berupa teka-teki. Tetapi -- paling tidak -- peristiwa cukup menarik, karena "selimut putih" selama dua malam itu merusak daun-daunan, termasuk ubi jalar dan keladi yang menjadi makanan pokok penduduk setempat, sebagian besar dari Suku Dani. Daun tanaman di ladang itu tidak tahan menderita dingin yang menggigit, dan kemudian mendadak tertimpa panas matahari yang bersinar terang seusai hujan salju. Sebagian besar daun layu dan menjadi kering. "Ini akibat perpindahan dingin ke panas yang mendadak. Terjadi plasmolisa, keluarnya air dari daun," kata Ir. N.H. Nababan, Pjs. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Ir-Ja kepada TEMPO. Sebenarnya, tumbuhan yang dihinggapi salju itu tidak mati sama sekali. "Nanti bisa bertunas lagi," kata Ir. Nababan. Hampir separuh dari sekitar 1.000 hektar tanaman ubi dan keladi layu karena terlanda hujan salju itu. Akibat peristiwa langka itu, Pangdam XVH Cendrawasih Kol. R.K. Sembiring Meliala dan rombongan pejabat dari Jayura terbang ke sana. Tampaknya Pemda Ir-Ja yang tengah berkabung karena gubernurnya, Boesyiri Soeryowinoto meninggal minggu lalu -- tidak sibuk menyiapkan bantuan. Hujan salju semacam itu, menurut catatan petugas missi Kristen yang sejak lama punya pos di sana, pernah terjadi tahun 1957 sebelum yang terakhir ini. Kejadian serupa diduga tak akan berulang dalam waktu dekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus