SUNGGUH di luar dugaan. Di daerah tropis seperti Indonesia
terjadi hujan salju. Butir-butiran putih seperti kapas turun di
Desa Ilaga, daerah pedalaman Kabupaten Paniai, Irian Jaya.
Penduduk yang kebanyakan masih mengenakan koteka (bagi
laki-laki) dan holim (buat wanita) tidak berani keluar karena
dingin sangat menggigit saat itu. Mereka cuma menyaksikan
kejadian langka itu dari dalam gubuk-gubuk mereka.
Hari pertama (25 Juli) salju telah menyelimuti jalan, rumah dan
pepohonan di daerah yang terletak di jajaran Pegunungan
Jayawijaya bagian barat itu. Penduduk setempat bercerita kepada
pembantu TEMPO yang minggu lalu berkunjung ke Ilaga -- sekitar
100 km sebelah barat Kota Wamena -- bahwa hujan salju baru usai
setelah dua hari. Akhir hujan salju di dataran yang tingginya
2.700 meter di atas laut itu ditandai dengan mencairnya "selimut
putih" di seluruh desa dan ladang.
Hujan salju itu terjadi pada saat suhu mendadak merosot. Menurut
catatan petugas missi Kristen yang mangkal di sana, suhu
mencapai 0ø Celcius. Biasanya, suhu berkisar pada 18ø Celcius
siang hari dan malam hari turun menjadi 5 - 8ø Celcius. Data yang
dikumpulkan TEMPO di Wamena, antara 1966-1970, suhu udara di
Ilaga pernah beberapa kali mencapai 0ø Celcius. Setelah itu
--paling tidak -- belum pernah tercatat suhu udara sampai
sedingin itu.
Balai Meteorologi dan Geofisika (BMG) Irian Jaya yang seharusnya
bertugas mengamati kejadian itu juga kaget mendengar berita
hujan salju di Ilaga. "Kami tidak tahu persis dari mana asal
salju itu turun dan mengapa justru terjadi di tempat itu," kata
Soekarman, Kepala BMG di Jayapura. Ia memperkirakan, salju turun
dari puncak Pegugunungan Carstenz yang tingginya 5.030 meter.
Carstenz terkenal dengan selubung salju abadi berbentuk piramida
di puncaknya.
"Menurut teori," kata Soekarman, "salju bisa terjadi bila uap
air di udara di bawah titik beku air." Dugaan pertama, pada saat
itu telah bertiup angin dingin dari Australia -- yang kini
sedang musim dingin -- menerjang puncak Carstenz. Lapisan salju
terkikis dan diterbangkan ke daerah "bayangan" gunung di sebelah
barat, Ilaga.
Namun faktor ini saja belum cukup menjamin bahwa salju akan
mendarat di sana. "Harus ada massa udara dingin yang turun dari
pegunungan itu sehingga mempengaruhi penurunan suhu udara sampai
titik beku air," kata Soeharsono Kepala Sub Bidang Ramalan dan
Jasa, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di Jakarta kepada
TEMPO. Kalau suhu udara tidak merosot sampai oø Celcius, salju
yang diterbangkan dari puncak Carstenz itu akan mencair sebelum
menyentuh tanah.
Yang biasa terjadi di Indonesia juga di daerah lain -- ialah
hujan es. Ini berasal dari kristal-kristal es di lapisan udara
yang bersuhu 0ø Celcius atau ketinggian sekitar 5.000 meter.
Kristal-kristal es itu menyatu menjadi gumpalan. Semakin besar
gumpalan itu, "daya layang" semakin berkurang karena tekanan
udara yang menyangga lebih kecil dibanding daya tarik bumi.
Akibatnya gumpalan es itu meluncur ke bawah dan mencair. Sisa
gumpalan segede kelereng, berwarna putih seperti kapuk ini yang
bisa mencapai bumi dan dikenal sebagai hujan es.
Namun untuk membedakan apakah yang turun itu salju atau es,
sebenarnya bisa dilihat dari bentuk awan asalnya. Hujan salju
selalu turun dari awan yang rata atau stratus. Sedang hujan es
berasal dari awan cumulonimbos -- yaitu awan yang
berlapis-lapis. Secara normal di daerah tropis, hujan salju
cuma bisa turun di daerah yang tingginya 5.000 meter. Untuk
daerah tropis kering seperti Asia Tengah dan Amerika Selatan,
salju bisa turun pada dataran tinggi sekitar 7.000 meter dari
laut.
Di mata para ahli -- terutama di BMG Jakarta -- peristiwa langka
di Ilaga itu masih berupa teka-teki. Tetapi -- paling tidak --
peristiwa cukup menarik, karena "selimut putih" selama dua malam
itu merusak daun-daunan, termasuk ubi jalar dan keladi yang
menjadi makanan pokok penduduk setempat, sebagian besar dari
Suku Dani.
Daun tanaman di ladang itu tidak tahan menderita dingin yang
menggigit, dan kemudian mendadak tertimpa panas matahari yang
bersinar terang seusai hujan salju. Sebagian besar daun layu dan
menjadi kering. "Ini akibat perpindahan dingin ke panas yang
mendadak. Terjadi plasmolisa, keluarnya air dari daun," kata
Ir. N.H. Nababan, Pjs. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Ir-Ja
kepada TEMPO.
Sebenarnya, tumbuhan yang dihinggapi salju itu tidak mati sama
sekali. "Nanti bisa bertunas lagi," kata Ir. Nababan. Hampir
separuh dari sekitar 1.000 hektar tanaman ubi dan keladi layu
karena terlanda hujan salju itu.
Akibat peristiwa langka itu, Pangdam XVH Cendrawasih Kol. R.K.
Sembiring Meliala dan rombongan pejabat dari Jayura terbang ke
sana. Tampaknya Pemda Ir-Ja yang tengah berkabung karena
gubernurnya, Boesyiri Soeryowinoto meninggal minggu lalu --
tidak sibuk menyiapkan bantuan.
Hujan salju semacam itu, menurut catatan petugas missi Kristen
yang sejak lama punya pos di sana, pernah terjadi tahun 1957
sebelum yang terakhir ini. Kejadian serupa diduga tak akan
berulang dalam waktu dekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini