ADA gaji tetap seorang wartawan Indonesia yang tak lebih dari
seharga sekilogram beras per hari. Tak percaya Ketua Yayasan
Kesejahteraan Wartawan (YKW) Yogyakarta, Nali A. Siregar
mengungkapkan fakta ini dalam Suatu seminar di Kaliurang pekan
lalu.
Kertas kerja ini dibaca secara emosional oleh ketua umum
pelaksana seminar, berdasar angket yang diedarkan kepada
wartawan yang bekerja di penerbitan lokal Yogyakarta. Dari
sekitar 50 angket yang diedarkan, masuk 29. Banyak yang tak
mengisi angket berbisik, "agak rikuh menuliskan gaji karena
malu," seperti yang dikutip Siregar.
Beralasan untuk malu. Dari angket yang masuk, misalnya, ada
wartawan mengaku dapat gaji pokok di bawah Rp 10.000 sebulan.
"Gaji wartawan jauh lebih rendah dari buruh yang paling kasar,
tak cukup untuk membeli beras sekilo per hari," kata Siregar.
Tetapi ada dalam angket itu dua wartawan yang dapat gaji bulanan
Rp 105. 000. Salah satunya seorang redaktur pelaksana yang
kerjanya siang dan malam.
Keprihatinan yang melanda wartawan lokal Yogyakarta -- dan
diduga begitu pula pada penerbitan lemah di daerah lain --
membuat PWI Pusat menyetujui gagasan untuk menseminarkannya.
"Membicarakan kasus ini sangat tepat menjelang lahirnya
Undang-undang Pokok Pers yang baru," kata Harmoko, Ketua PWI
pada acara pembukaan. Hasil seminar Kaliurang ini akan dibahas
dalam sidang Dewan Pers di Solo pekan ini.
Dirjen PPG, Sukarno SH, menyebut Undang-undang Pokok Pers yang
baru nanti mencakup masalah kesejahteraan ini. "Hanya wartawan
yang sejahtera yang bisa menulis dengan jernih, tanpa emosi,"
lanjutnya.
Dengan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP),
menurut Dirjen, pers nantinya dikelola dengan semangat gotong
royong, tak ada majikan yang kaya sendiri yang memeras
wartawannya. Bentuk badan hukum penerbit pers nantinya akan
diatur sedemikian rupa, sehingga pemilikan saham bisa lebih
merata untuk karyawan pers. Bemtuk badan hukum koperasi,
nantinya akan dicoba, jika ada penerbit yang memilihnya. Yang
ideal, menurut pemerintah, tentu saja PT dengan pembagian saham
yang merata, sementara bentuk yayasan akan ditinjau kembali.
Kewajiban penerbit untuk mensejahterakan wartawannya dibahas
oleh Ketua Umum SPS Pusat, Sunardi D.M. Antara lain, katanya,
harus dipikirkan pensiun wartawan pada hari tua, polis asuransi,
masalah perumahan, ganti rugi biaya perawatan kesehatan, dan
pemilikan saham.
Seminar yang diikuti 35 peserta dari 16 provinsi ini juga ramai
membicarakan perlunya penerbit harus terbuka terhadap masalah
keuangan. Makalah PWI Yogya bahkan lebih keras, mengusulkan
supaya pemerintah membreidel saja koran yang tidak mampu
membayar gaji minimal untuk wartawan, satu-satunya alasan
pembreidelan di masa datang.
Berapa gaji ideal seorang wartawan? Banyak tergantung dari
keadaan perusahaan penerbitan itu sendiri. P. Swantoro dari
surat kabar Kompas di seminar ini menyebutkan, seorang wartawan
yang baru diterima perusahaannya bergaji Rp 200.000 lebih
sedikit, tergolong tingkat 14. Di sana tingkat penggajian sampai
28. Prinsip yang dianut Kompas ialah wartawan dalam menjalankan
tugasnya jangan terganggu oleh kerepotan memenuhi kebutuhan
hidup yang pokok untuk keluarganya.
Dari Pikiran Rakyat Bandung, Sakti Alamsyah mengungkapkan di
perusahaannya "sopir sampai direktur punya saham yang sama, tiga
saham istimewa, dua saham biasa." Saham tak bisa dijual kepada
bukan pekerja PR, katanya. "Rapat umum pemilikan saham adalah
majelis tertinggi yang menentukan pimpinan, direktur dan berapa
gajinya. Setiap pemilik saham, apakah itu tukang sapu atau
editor, haknya sama."
Namun pekerja PR baru memperoleh saham setelah aktif 10 tahun.
"Saya kira terlalu lama menunggu saham itu," komentar H. Rosihan
Anwar.
Dua contoh penerbitan tadi punya wartawan yang telah sejahtera.
Entah mana yang bisa ditularkan untuk penerbitan lemah di
daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini