Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Berita Tempo Plus

Benarkah wartawan miskin?

Seminar meningkatkan kesejahteraan wartawan, berlangsung di kaliurang, diikuti 35 peserta dari 16 provinsi. kasus ini dibicarakan menjelang lahirnya uu pokok pers. (md)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Benarkah wartawan miskin?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA gaji tetap seorang wartawan Indonesia yang tak lebih dari seharga sekilogram beras per hari. Tak percaya Ketua Yayasan Kesejahteraan Wartawan (YKW) Yogyakarta, Nali A. Siregar mengungkapkan fakta ini dalam Suatu seminar di Kaliurang pekan lalu. Kertas kerja ini dibaca secara emosional oleh ketua umum pelaksana seminar, berdasar angket yang diedarkan kepada wartawan yang bekerja di penerbitan lokal Yogyakarta. Dari sekitar 50 angket yang diedarkan, masuk 29. Banyak yang tak mengisi angket berbisik, "agak rikuh menuliskan gaji karena malu," seperti yang dikutip Siregar. Beralasan untuk malu. Dari angket yang masuk, misalnya, ada wartawan mengaku dapat gaji pokok di bawah Rp 10.000 sebulan. "Gaji wartawan jauh lebih rendah dari buruh yang paling kasar, tak cukup untuk membeli beras sekilo per hari," kata Siregar. Tetapi ada dalam angket itu dua wartawan yang dapat gaji bulanan Rp 105. 000. Salah satunya seorang redaktur pelaksana yang kerjanya siang dan malam. Keprihatinan yang melanda wartawan lokal Yogyakarta -- dan diduga begitu pula pada penerbitan lemah di daerah lain -- membuat PWI Pusat menyetujui gagasan untuk menseminarkannya. "Membicarakan kasus ini sangat tepat menjelang lahirnya Undang-undang Pokok Pers yang baru," kata Harmoko, Ketua PWI pada acara pembukaan. Hasil seminar Kaliurang ini akan dibahas dalam sidang Dewan Pers di Solo pekan ini. Dirjen PPG, Sukarno SH, menyebut Undang-undang Pokok Pers yang baru nanti mencakup masalah kesejahteraan ini. "Hanya wartawan yang sejahtera yang bisa menulis dengan jernih, tanpa emosi," lanjutnya. Dengan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), menurut Dirjen, pers nantinya dikelola dengan semangat gotong royong, tak ada majikan yang kaya sendiri yang memeras wartawannya. Bentuk badan hukum penerbit pers nantinya akan diatur sedemikian rupa, sehingga pemilikan saham bisa lebih merata untuk karyawan pers. Bemtuk badan hukum koperasi, nantinya akan dicoba, jika ada penerbit yang memilihnya. Yang ideal, menurut pemerintah, tentu saja PT dengan pembagian saham yang merata, sementara bentuk yayasan akan ditinjau kembali. Kewajiban penerbit untuk mensejahterakan wartawannya dibahas oleh Ketua Umum SPS Pusat, Sunardi D.M. Antara lain, katanya, harus dipikirkan pensiun wartawan pada hari tua, polis asuransi, masalah perumahan, ganti rugi biaya perawatan kesehatan, dan pemilikan saham. Seminar yang diikuti 35 peserta dari 16 provinsi ini juga ramai membicarakan perlunya penerbit harus terbuka terhadap masalah keuangan. Makalah PWI Yogya bahkan lebih keras, mengusulkan supaya pemerintah membreidel saja koran yang tidak mampu membayar gaji minimal untuk wartawan, satu-satunya alasan pembreidelan di masa datang. Berapa gaji ideal seorang wartawan? Banyak tergantung dari keadaan perusahaan penerbitan itu sendiri. P. Swantoro dari surat kabar Kompas di seminar ini menyebutkan, seorang wartawan yang baru diterima perusahaannya bergaji Rp 200.000 lebih sedikit, tergolong tingkat 14. Di sana tingkat penggajian sampai 28. Prinsip yang dianut Kompas ialah wartawan dalam menjalankan tugasnya jangan terganggu oleh kerepotan memenuhi kebutuhan hidup yang pokok untuk keluarganya. Dari Pikiran Rakyat Bandung, Sakti Alamsyah mengungkapkan di perusahaannya "sopir sampai direktur punya saham yang sama, tiga saham istimewa, dua saham biasa." Saham tak bisa dijual kepada bukan pekerja PR, katanya. "Rapat umum pemilikan saham adalah majelis tertinggi yang menentukan pimpinan, direktur dan berapa gajinya. Setiap pemilik saham, apakah itu tukang sapu atau editor, haknya sama." Namun pekerja PR baru memperoleh saham setelah aktif 10 tahun. "Saya kira terlalu lama menunggu saham itu," komentar H. Rosihan Anwar. Dua contoh penerbitan tadi punya wartawan yang telah sejahtera. Entah mana yang bisa ditularkan untuk penerbitan lemah di daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus