Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
DPR menargetkan pengesahan RUU KUHAP pada Januari 2026.
Polri menyoroti sejumlah rancangan pasal draf RUU KUHAP yang bakal memangkas kewenangan kepolisian.
Koalisi masyarakat sipil mendukung pengesahan RUU KUHAP.
DALAM dua dekade terakhir, berbagai dokumen Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana muncul silih berganti. Pada 2023, Dewan Perwakilan Rakyat hakulyakin akan menyelesaikan RUU KUHAP sebelum periode jabatan mereka berakhir pada 2024. Namun pembahasannya mandek. Kali ini Badan Keahlian DPR sudah menyiapkan draf baru untuk mengganti aturan lama, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Draf anyar ini diduga tidak mengacu pada draf sebelumnya. Permintaan ini disebutkan berasal dari Komisi III DPR yang membidangi hukum. Ada sepuluh anggota tim khusus yang menyusunnya dalam beberapa bulan terakhir untuk disetor ke Komisi III. “Minggu besok akan saya presentasikan di Komisi,” kata Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul kepada Tempo di kantornya, Rabu, 5 Februari 2025. Sesuai dengan jadwal, draf ini akan disampaikan pada Selasa mendatang, 11 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPR pun berkejaran dengan waktu karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan berlaku pada 2 Januari 2026 atau tiga tahun setelah disahkan pada 2023. Karena KUHP akan berlaku pada awal tahun depan, DPR menargetkan KUHAP baru ini disahkan pada 1 Januari 2026. Dengan waktu yang terbatas, ada dua pilihan untuk mengubah KUHAP ini. Pilihan itu adalah menyiapkan undang-undang baru atau sekadar menerbitkan undang-undang perubahan.
Opsi menerbitkan undang-undang perubahan lebih mengemuka. Dalam diskusi yang digelar Badan Keahlian DPR pada akhir Januari 2025, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan jalur politik hukum yang mungkin akan dipilih adalah revisi beberapa ketentuan saja. “Jadi tidak mengubah keseluruhan,” ucap pria yang biasa disapa Eddy Hiariej itu.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, pun tak menampik kabar bahwa dokumen yang sedang disiapkan bentuknya adalah undang-undang perubahan, bukan rancangan undang-undang baru. Namun Nasir menyebutkan target pengesahan pada Januari 2026 baru sebatas keinginan Komisi III. “Kami melihat dinamika ke depan saja kalau soal waktu pengesahan,” tuturnya.
Rencana DPR membuat undang-undang perubahan ini menjadi perhatian sejumlah kelompok masyarakat sipil. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), misalnya, meminta opsi yang dipilih adalah undang-undang baru. “Kalau perubahan, artinya masih menggunakan esensi KUHAP yang lama,” kata peneliti Kontras, Hans Giovanny.
Setali tiga uang, Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan opsi undang-undang perubahan tidak bisa diambil bila muatan yang diubah lebih dari 50 persen. Ketentuan ini, dia menambahkan, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “KUHAP saat ini sudah berlaku sejak 1981. Kalau dilihat, lebih dari 50 persen yang harus diubah,” ujarnya.
Selama 44 tahun, sistem peradilan pidana Indonesia mengacu pada KUHAP yang disahkan pada 1981. Itu sebabnya KUHAP masih menganut crime control model yang berlandaskan asas praduga bersalah. Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej menyebutkan tidak ada satu pun pasal di KUHAP saat ini yang menganut asas praduga tidak bersalah.
KUHP baru kemudian muncul dengan pendekatan keadilan restoratif. Seiring dengan itu, berbagai kelompok masyarakat pun menuntut KUHAP baru lebih berorientasi pada due process model yang berlandaskan hak individu dan asas praduga tidak bersalah. “Crime control model merupakan warisan rezim militer Orde Baru,” tutur Maidina Rahmawati.
Upaya mengubah itu sebetulnya berjalan dalam dua dekade terakhir. Sejak 2004, setidaknya sudah ada tujuh versi draf RUU KUHAP. Naskah terakhir dibuat pada 2012. Saat itu, di akhir masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, RUU KUHAP yang menjadi usulan pemerintah kandas. Baru belakangan prosesnya bergulir lagi setelah disepakati masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 sebagai usulan DPR.
Karena pentingnya KUHAP baru ini, Kontras dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta merancang kajian khusus sejak Januari 2024. Kajian itu tuntas dalam delapan bulan. Salah satu aturan krusial yang mereka antisipasi adalah soal upaya paksa. Contohnya adalah ketentuan soal tangkap tangan.
Dalam pasal 16 di draf KUHAP terakhir yang beredar, setiap orang dapat menangkap tersangka untuk diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyidik. Kontras menganggap pasal ini cukup berbahaya karena memperbolehkan siapa saja menangkap seseorang yang menurut subyektivitasnya telah berbuat pidana. Klausul ini dikhawatirkan membuat fenomena main hakim sendiri meluas.
Kajian 48 halaman itu rampung pada Agustus 2024. Sebulan kemudian, Kontras dan LBH Jakarta bertemu dan menyerahkan dokumen itu kepada Direktorat Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum. “Kami sudah menyerahkan secara resmi,” ucap peneliti Kontras, Hans Giovanny, yang terlibat dalam penyusunan dokumen ini.
Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Rapat Pimpinan Polri 2025 di Gedung Tribrata, Jakarta, 31 Januari 2025. Antara/HO-Divisi Humas Polri
Sebulan kemudian, giliran Institute for Criminal Justice Reform yang beraudiensi dengan Komisi III DPR pada November 2024. Mereka membawa dokumen berisi delapan pokok pikiran soal KUHAP baru, kajian ICJR dengan kelompok masyarakat sipil lain sejak 2022. Seperti Kontras, ICJR pun punya perhatian besar pada pasal yang mengatur upaya paksa.
Mereka mengusulkan peran pengadilan diperkuat dalam pengawasan melalui hakim komisaris terhadap seluruh proses peradilan pidana. Konkretnya, penegak hukum wajib meminta izin pelaksanaan upaya paksa kepada pengadilan dengan alasan yang jelas.
Usulan soal hakim komisaris ini sebetulnya sudah bergulir beberapa tahun terakhir, tapi selalu ditolak. Salah satu pihak yang menolak adalah Kepolisian RI. Seseorang yang mengetahui proses RUU KUHAP di DPR mengatakan draf final yang sudah disusun tidak akan mengakomodasi usul tentang hakim komisaris. Penggantinya adalah penguatan di proses praperadilan.
Sumber yang sama juga bercerita bahwa ketentuan lain yang mungkin berubah adalah soal petunjuk jaksa penuntut umum pada Pasal 14 Undang-Undang KUHAP. Sebagai gantinya, kata “petunjuk” diganti menjadi “hasil koordinasi jaksa dan penyidik”. Tujuannya, proses perkara di kejaksaan dan kepolisian tidak bolak-balik karena masalah kecukupan alat bukti.
Urusan ruwetnya bolak-balik berkas ini diakui oleh Staf Ahli Sosial Ekonomi Kepala Polri Inspektur Jenderal Iwan Kurniawan. Iwan menyebutkan sampai saat ini belum ada mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan pandangan antara penyidik dan jaksa penuntut umum. “Jadi ini perlu dirumuskan di KUHAP baru,” ujar Iwan dalam diskusi di DPR.
Masukan untuk perubahan KUHAP juga datang dari kalangan akademikus. Pada Rabu, 15 Januari 2025, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki) mengajukan surat permohonan audiensi kepada Komisi III DPR. Asperhupiki juga sudah menyiapkan naskah usulan sebanyak 233 halaman. “Fokus kami adalah penguatan pengawasan penyidikan,” kata Ketua Umum Asperhupiki Fachrizal Afandi.
Pada 30 Januari 2025, Asperhupiki bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian pun menggelar diskusi mengenai reposisi Polri. Insiden sempat muncul lantaran diskusi yang semula digelar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, harus dipindahkan ke sebuah hotel. Salah satu isi diskusi menyangkut KUHAP baru. Pihak yang terlibat diskusi mengklaim merasa dipantau sejumlah pihak saat diskusi berlangsung.
Sehari kemudian, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tiba-tiba menyinggung adanya produk legislasi nasional di Senayan yang mengganggu kewenangan institusinya dalam rapat pimpinan Polri di Jakarta Selatan pada Jumat, 31 Januari 2025. Sigit menyebutkan ada kelompok tertentu yang berupaya melakukan reposisi alias penataan kembali kepolisian. “Kalau kita tidak berhati-hati, kewenangan institusi ini bisa terganggu,” tutur Listyo Sigit.
Ditemui terpisah, sejumlah orang yang mengikuti proses penyusunan itu menyebutkan KUHAP baru memang akan membatasi kewenangan kepolisian. Itu sebabnya ada dugaan resistansi kepolisian terhadap undang-undang baru ini. Kabar itu santer beredar.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Yusuf Warsyim, juga mendengarnya. Dia menerangkan, KUHAP baru memang akan memangkas kewenangan kepolisian. Salah satunya perihal penyidikan. Isu yang ramai bergulir, dia mengimbuhkan, adalah kewenangan penyidikan akan dialihkan ke Kejaksaan Agung. Namun Yusuf mengatakan Kompolnas mendukung kewenangan penyidikan tetap dipegang kepolisian. “Karena polisi bertugas dalam penegakan hukum,” ujar Yusuf. ●
Mohammad Khory Alfarizi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo