Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Film kelas festival merangkul penonton dalam jumlah besar di platform digital.
Peluang pasar untuk film bertema sosial, gender, atau politik makin terbuka.
Pemerintah perlu mendorong industri film dengan berbagai kemudahan.
ERA digital mengakhiri dominasi bioskop sebagai kanal utama pemasaran film Indonesia. Disrupsi ini menjadi peluang bagi para sineas meretas jalan baru, yakni menciptakan karya yang tak melulu sejalan dengan kehendak pasar dan pemilik modal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lama industri film Indonesia sesak dengan tema horor, komedi slapstick, atau tayangan yang hanya menjual daya tarik fisik pemerannya. Tak banyak film dengan tema gender, politik, atau kritik sosial lantaran pasarnya kurang menjanjikan. Tapi, seiring dengan berkembangnya platform video online, para produser, sutradara, dan penulis skenario bisa lebih bebas berkarya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film yang tak tembus bioskop kini punya jalur lain menjadi tontonan alternatif. Film Penyalin Cahaya dan Kabut Berduri menjadi bukti bahwa film yang mendapat apresiasi di sejumlah festival juga memiliki ceruk di pasar massal, lantaran tayang di platform video online. Kedua film tersebut menjadi Film Pilihan Tempo 2021 dan 2024.
Penyalin Cahaya, yang bercerita tentang pelecehan seksual, mendapatkan Piala Citra dan menembus Busan International Film Festival. Setelah masuk Netflix, film ini masuk daftar 10 besar film paling banyak ditonton dengan durasi 6,92 juta jam secara global. Adapun Kabut Berduri, yang berkisah tentang perdagangan manusia di perbatasan Malaysia di Kalimantan, masuk daftar film Netflix terpopuler dunia pada Agustus 2024 setelah ditonton 3,7 juta kali dalam empat hari setelah dirilis.
Masih banyak film “kelas festival” lain yang juga laris di platform seperti Netflix, Prime, atau Vidio. Fakta ini membelokkan anggapan di masa lalu bahwa film-film yang menyuarakan sisi idealis kreatornya tak laku di bioskop. Selain membuka peluang penyaluran idealisme para sineas, platform tayangan video online menawarkan model bisnis yang relatif menguntungkan, atau setidaknya meminimalkan kerugian.
Sebagai contoh, platform tayangan video membuka peluang bagi produser dan sineas mengajukan sebuah proyek film. Jika kesepakatan tercapai, platform video akan menanggung biaya produksi dan memberikan keuntungan bagi rumah produksi film. Film itu kemudian dijual sebagai konten eksklusif atau orisinal dari platform tersebut.
Model bisnis lain adalah jual putus. Platform video, seperti Netflix, Vidio, atau Prime, membeli film dari rumah produksi. Jika film meledak di pasaran, imbal hasil yang mereka terima akan berlipat ganda, sehingga peluang pasar untuk film-film dengan genre yang beragam semakin terbuka.
Lain cerita ketika sineas berhadapan dengan bioskop. Lantaran jumlah layar terbatas, film harus mengantre untuk tayang. Jadwal dan peluang tayang sangat bergantung pada potensi pasarnya, yang dihitung oleh pengelola perusahaan bioskop. Bukan rahasia lagi jika pengelola bioskop di Indonesia hanya tertarik pada film horor, aksi, atau komedi karena tema-tema seperti itulah yang laku di pasar massal.
Jika jumlah penonton tak tembus target, produser pasti merugi. Karena itu, tak banyak film di luar horor, komedi atau laga yang mendapat tempat. Selera pasar dan pengelola bioskop membuat film Indonesia berputar di tema itu-itu saja. Sutradara atau penulis skenario tak mengeksplorasi tema lain yang lebih sublim.
Dengan peluang yang makin lebar itu, industri film Indonesia bisa bertumbuh dengan konten-konten bermutu. Pemerintah bisa terlibat dengan memberikan kemudahan regulasi, keringanan pajak, dan pungutan lain, hingga promosi. Bagi dunia seni, dukungan semacam ini lebih berharga ketimbang sekadar bantuan modal. ●