EMBUSAN angin terasa tak lagi bersahabat bagi nelayan di sepanjang pesisir Sumatera Utara. Terbawa tiupan angin, minyak menebar ke mana-mana sampai 8 mil mendekati pantai. Itulah tumpahan minyak yang berasal dari tanker berbendera Liberia, Nagasaki Spirit, yang bertabrakan dengan kapal kontainer berbendera Panama, Ocean Blessing, di Selat Malaka, 20 September silam. Tabrakan terjadi di tengah gelombang tinggi dan hujan lebat. Akibatnya, semua awak kapal Ocean Blessing (21 orang) tewas. Buntutnya, kini ribuan nelayan Sumatera Utara dilanda resah. Nafkah mereka sehari-hari, yang diperoleh dari sumber kelautan, terancam. Ada 12.000 nelayan yang periuk nasinya mengandalkan kekayaan laut Selat Malaka itu. "Sekarang, pendapatan kami berkurang sampai separuhnya," kata nelayan bernama Ingah Putih. Menurut Ketua Rukun Nelayan Belawan itu, satu perahu nelayan tradisional kini hanya mampu menjaring 50 kg ikan. Padahal, dulu, satu perahu bisa membawa 100 kg ikan senilai Rp 200.000. Sesuai dengan arah angin, tumpahan minyak menyebar hingga ke daerah tangkapan ikan. Nelayan makin waswas, sebab kapal Nagasaki, yang lambung kirinya robek, kini melego jangkar pada jarak 16 mil dari pantai Belawan. Kawasan ini biasa dijelajahi para nelayan tradisional pancing rawai, pukat cerut mini, dan pancing bawal. Maka, atas nama ribuan nelayan, HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) cabang Medan melayangkan surat gugatan ganti rugi, yang ditandatangani Ketua HNSI Medan, Batara Pane. Di situ, mereka meminta pemerintah Indonesia (Direk torat Jenderal Perhubungan Laut) agar mengajukan tuntutan ganti rugi US$ 2,4 milyar. "Itu jumlah tuntutan yang wajar. Sebab, kapal itu telah mengancam pendapatan nelayan," kata Batara. Diramalkannya, laut berminyak itu akan membunuh spesies udang, kepah, dan bibit ikan. Apalagi mulai November hingga Januari nanti akan berembus angin barat yang terkenal kencang. Bila itu terjadi, tumpahan minyak akan semakin dekat ke pantai, mengobrak-abrik daerah tangkapan udang, kepiting, dan kepah. Bahkan ia mencemaskan 400 ha tambak udang. "Kami khawatir, itu semua akan dirusak tumpahan minyak," ujar Batara. Namun, perkiraan itu belum tentu akurat. Dan karena merujuk pada pengalaman saja, dasar yang dipakai untuk menghitung kerugian pun amat sederhana. Referensi yang dipakai hanyalah kasus kapal motor (KM) Niaga 47, yang akhir tahun lalu oleh pengadilan Inchon di Korea Selatan dinyatakan bersalah, karena mencemari perairan di sana dengan 60 ton limbah minyak. Mereka dihukum denda US$ 3,5 juta dan penyitaan kapal seharga US$ 2,7 juta itu. Maka, tuntutan HNSI pun disesuaikan dengan tuntutan atas KM Niaga, dengan memperhitungkan tumpahan minyak dari Nagasaki Spirit yang jauh lebih besar, yakni 5.000 ton. Menurut Sukardi, Kepala Humas Ditjen Perhubungan Laut, tuntutan para nelayan itu telah diteruskannya ke KLH (Kependudukan dan Lingkungan Hidup) dan Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Di luar tuntutan para nelayan -- yang harus dibuktikan dulu -- Sukardi optimistis, hal-hal lain tak akan sulit. "Soal klaim saya rasa tak jadi masalah," ujarnya. Klaim itu akan diteruskan ke kapal yang telah diasuransikan di P&I Club, Inggris. Klaim yang kini telah siap adalah klaim dari tim Pemerintah di bawah koordinasi Ditjen Perhubungan Laut. Sejak 3 Oktober lalu, Pemerintah memang membentuk tim yang antara lain terdiri dari aparat KLH, Bapedal, dan Pertamina. Sebagai negara yang perairannya ikut tercemar, Malaysia juga menuntut ganti rugi 60 juta ringgit. Tuntutannya dipersiapkan dalam dua tahun ini. Upaya menuntut dimungkinkan karena Indonesia termasuk salah satu penanda tangan konvensi internasional tentang muatan berbahaya seperti minyak. Selain itu, Indonesia bersama Malaysia dan Singapura, yang tergabung dalam Malaka Strait Council yang diikat oleh perjanjian tersendiri, antara lain memuat peraturan khusus untuk pelayaran di Selat Malaka. Menurut konvensi dan perjanjian itu, negara yang tercemar berhak mengklaim pihak asuransi dari kapal yang mencemari itu. Jika gagal, masih ada senjata lain. Sebab, konvensi itu memungkinkan kapal Nagasaki dan isinya -- sekitar 50.000 ton minyak -- dilelang lewat penetapan pengadilan. Maka, yang tampaknya agak sulit diperjuangkan adalah kepentingan para nelayan. Tuntutan mereka ini harus dibuktikan dulu secara ilmiah. Untuk itu, harus ada data statistik tentang pendapatan penduduk yang berkurang, turun nya harga ikan, dan pengaruhnya terhadap pasar keseluruhan. "Kalau sudah ada data ilmiahnya, bisa kita buktikan menurut ilmu ekologi, mangrove, dan sedimentasi ke bawah. Sehingga mudahmudahan ganti rugi nelayan bisa lebih tinggi," kata M. Daud Silalahi, ahli hukum lingkungan di Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Staf Deputi I Bapedal. Pekan ini Bapedal akan terjun ke lapangan untuk meneliti lebih jauh pencemaran yang terjadi. Selain menghitung berapa persisnya kerugian nelayan, Bapedal juga akan menghitung klaim Pemerintah karena kerugian lingkungan. Ini tak mudah. Pada tahun 1975, tuntutan serupa pernah dilayangkan nelayan Riau kepada kapal Showa Maru, yang menumpahkan minyak di Selat Singapura. Dan tuntutan itu macet di tengah jalan. Bagi Bapedal, yang baru berdiri tahun 1990, tuntutan HNSI Medan kepada tanker Nagasaki merupakan batu ujian. "Inilah kasus pencemaran minyak di mana Bapedal pertama kali ikut serta," kata Deputi I Bapedal, Nabiel Makarim. Kini tinggal ditunggu, apakah Bapedal akan sukses melampaui ujian pertamanya ini. G. Sugrahetty Dyan K., Ida Farida, Bambang Aji, dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini