Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Unand Nyaris Berdebu

Lokasi kampus univ. andalas, padang semula direncanakan dekat pabrik semen indarung, tapi bank dunia yang menyediakan bantuan, minta dipindah, karena dikhawatirkan kena polusi udara pabrik semen indarung.(ling)

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPUS Universitas Andalas (UNAND) di Jalan Jati, Padang, sudah terlalu sempit. Bahkan beberapa fakultasnya berpencaran di sekitar ibukota Sumatera Rarat itu. Tapi ada rencananya membangun kampus baru di Ulu Gadut, 10 km sebelah timur Padang, hanya 3 km dari kompleks pabrik semen Indarung. Di atas tanah seluas 100 ha itu "sudah kami investasikan sekitar Rp 300 juta," ujar rektor UNAND, Drs. Mawardi Yunus. Jumlah itu belum termasuk biaya pembebasan tanah sebesar Rp 4 juta. Sementara itu terbetik berita bahwa Bank Dunia menyediakan bantuan bagi UNAND sebesar Rp 50 milyar, asalkan kampusnya minimum seluas 150 ha. Ini tidak sulit karena di Ulu Gadut masih ada kemungkinan untuk menambah areal tanah. Persoalannya rupanya tidak gampang. UNAND diminta supaya mencari lokasi kampus yang lain. "Bank Dunia khawatir peralatan laboratorium akan rusak, sebab Ulu Gadut berada dalam jangkauan siraman debu PT Semen Indarung," jelas Mawardi pekan lalu kepada TEMPO. Juga dikhawatirkan pengaruh debu itu terhadap kesehatan para mahasiswa kelak. Sejauh apa sebetulnya polusi udara oleh pabrik semen itu? "Ini memang sulit karena belum pernah diukur," ujar Siddik SH, Direktur komersial PT Semen Indarung. "Sejauh ini belum ada korban akibat polusi udara itu." Namun diakuinya bahwa polusi udara memang terjadi. Atap gedung dan rumah penduduk sekitar pabrik itu semua memutih akibat debu yang membumi. Semula Rektor NAND bersama Gubernur Sum-Bar dan Kepala Direktorat Agraria berusaha meyakinkan Bank Dunia bahwa bahaya yang dibayangkan itu tidak beralasan. "Tapi Bank Dunia tetap khawatir dan menanggap perlu diadakan suatu penelitian terhadap kualitas udara," ujar Mawardi. Hal itu tidak bisa dilakukan tergesagesa "Paling tidak membutuhkan waktu satu tahun," jelas seorang anggota direksi PT Semen Indarung. Sedang di New York mulai pekan ini diadakan suatu pertemuan teknis oleh Bank Dunia mengenai proyek UNAND itu. Secara resmi Bank Dunia belum lagi membatalkan rencana bantuannya. "Tapi ada kesan, jika kami bersikeras, bantuan itu bisa batal," ucap Mawardi lagi. UNAND mengajukan 3 alternatif lokasi baru. Pertama di Limau Manis, 20 km dari pabrik Indarung, kemudian Tunggul Hitam, 12 km sebelah utara Padang dan terakhir di Kandang Empat, 70 km sebelah utara Padang. Di ke-3 tempat itu masing-masing tersedia areal tanah seluas 500 ha. Tapi ketiga alternatif itu juga ada celanya. Limau Manis masih terjangkau siraman debu Indarung. Tunggul Hitam diduga akan bising, karena hanya 1 km jaraknya dari Lapangan Terbang Tabing. Sedang Kandang Empat agaknya terlalu jauh dari Padang. "Pendeknya terserah Bank Dunia, mana yang mereka pilih," ujar Mawardi. Ketika Ulu Gadut direncanakan dulu, tidak begitu dipersoalkan polusi udara itu. "Kami hanya memperhitungkan pola angin yang berlaku di daerah ini,' Jelas Ir. Ismet Darwis, Staf Pengajar yang merangkap Sekretaris Proyek Bantuan Bank Dunia di lingkungan UNAND. Angin di daerah pantai itu siang hari bertiup ke arah timur dan malam hari kearah barat. Karena Ulu Gadut, bila dilihat dari atas, terletak lebih ke arah utara dari pabrik Indarung, diduga ia tidak terkena siraman debu itu. Bagaimana kenyataannya? "Debu memang sampai juga di sini," ujar seorang penduduk sekitar Ulu Gadut sambil menunjuk atap rumahnya yang memang memutih juga. Dibiarkan Saja Sumber debu utama adalah Indarung I, pabrik tua yang sudah beroperasi sejak tahun 1913. Lima dapurnya menghasilkan bersama 330 ribu ton semen per tahun. Sistem pengolahan basah yang dipakainya menghasilkan uap air yang jenuh dengan partikel debu. Dua dapur yang belakangan dibangun, sejak 3 tahun lalu, sudah memakai peralatan penangkap debu. Namun 3 dapur lainnya yang paling tua belum memakainya. Inilah yang menyemburkan berton-ton uap air jenuh dengan debu ke udara cerah sekitar Padang. Peralatan penangkap debu untuk 3 dapur itu mahal sekali. Tiap alat berharga US$ 10-15 juta (Rp 6,3-9,4 milyar). Maka debu dari Indarung dibiarkan saja beterbangan. Indarung II tidak terlalu membahayakan sebab tidak menghasilkan uap air seperti halnya di Indarung I. Semua dapurnya dilengkapi pula dengan peralatan penangkap debu. Meskipun dari Indarung II yang menghasilkan 600 ribu ton semen per tahun ada juga debu yang lolos, jumlahnya sangat minim. "Kurang dari 250 miligram setiap m3 udara," jelas Zulkifli Z. dari Humas PT Semen Indarung. Ini berarti masih di bawah tingkat debu jalan raya yang diaspal licin. Tapi aspal yang licin sekitar pabrik itu sudah lama tertutup lapisan debu. Dan setiap hari lebih 50 truk perusahaan pengangkut bahan baku hilir mudik, menerbangkan kembali debu di jalan rayaitu. Namun penduduk agaknya belum terlalu menghiraukan soal debu itu. Hanya UNAND yang repot karenanya-itu pun karena Bank Dunia melihat ancaman polusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus