KAMPUS Universitas Andalas (UNAND) di Jalan Jati, Padang,
sudah terlalu sempit. Bahkan beberapa fakultasnya berpencaran di
sekitar ibukota Sumatera Rarat itu. Tapi ada rencananya
membangun kampus baru di Ulu Gadut, 10 km sebelah timur Padang,
hanya 3 km dari kompleks pabrik semen Indarung.
Di atas tanah seluas 100 ha itu "sudah kami investasikan
sekitar Rp 300 juta," ujar rektor UNAND, Drs. Mawardi Yunus.
Jumlah itu belum termasuk biaya pembebasan tanah sebesar Rp 4
juta.
Sementara itu terbetik berita bahwa Bank Dunia menyediakan
bantuan bagi UNAND sebesar Rp 50 milyar, asalkan kampusnya
minimum seluas 150 ha. Ini tidak sulit karena di Ulu Gadut masih
ada kemungkinan untuk menambah areal tanah.
Persoalannya rupanya tidak gampang. UNAND diminta supaya mencari
lokasi kampus yang lain. "Bank Dunia khawatir peralatan
laboratorium akan rusak, sebab Ulu Gadut berada dalam jangkauan
siraman debu PT Semen Indarung," jelas Mawardi pekan lalu kepada
TEMPO. Juga dikhawatirkan pengaruh debu itu terhadap kesehatan
para mahasiswa kelak.
Sejauh apa sebetulnya polusi udara oleh pabrik semen itu? "Ini
memang sulit karena belum pernah diukur," ujar Siddik SH,
Direktur komersial PT Semen Indarung. "Sejauh ini belum ada
korban akibat polusi udara itu." Namun diakuinya bahwa polusi
udara memang terjadi. Atap gedung dan rumah penduduk sekitar
pabrik itu semua memutih akibat debu yang membumi.
Semula Rektor NAND bersama Gubernur Sum-Bar dan Kepala
Direktorat Agraria berusaha meyakinkan Bank Dunia bahwa bahaya
yang dibayangkan itu tidak beralasan. "Tapi Bank Dunia tetap
khawatir dan menanggap perlu diadakan suatu penelitian
terhadap kualitas udara," ujar Mawardi.
Hal itu tidak bisa dilakukan tergesagesa "Paling tidak
membutuhkan waktu satu tahun," jelas seorang anggota direksi PT
Semen Indarung. Sedang di New York mulai pekan ini diadakan
suatu pertemuan teknis oleh Bank Dunia mengenai proyek UNAND
itu.
Secara resmi Bank Dunia belum lagi membatalkan rencana
bantuannya. "Tapi ada kesan, jika kami bersikeras, bantuan itu
bisa batal," ucap Mawardi lagi.
UNAND mengajukan 3 alternatif lokasi baru. Pertama di Limau
Manis, 20 km dari pabrik Indarung, kemudian Tunggul Hitam, 12 km
sebelah utara Padang dan terakhir di Kandang Empat, 70 km
sebelah utara Padang. Di ke-3 tempat itu masing-masing tersedia
areal tanah seluas 500 ha.
Tapi ketiga alternatif itu juga ada celanya. Limau Manis masih
terjangkau siraman debu Indarung. Tunggul Hitam diduga akan
bising, karena hanya 1 km jaraknya dari Lapangan Terbang Tabing.
Sedang Kandang Empat agaknya terlalu jauh dari Padang.
"Pendeknya terserah Bank Dunia, mana yang mereka pilih," ujar
Mawardi.
Ketika Ulu Gadut direncanakan dulu, tidak begitu dipersoalkan
polusi udara itu. "Kami hanya memperhitungkan pola angin yang
berlaku di daerah ini,' Jelas Ir. Ismet Darwis, Staf Pengajar
yang merangkap Sekretaris Proyek Bantuan Bank Dunia di
lingkungan UNAND.
Angin di daerah pantai itu siang hari bertiup ke arah timur dan
malam hari kearah barat. Karena Ulu Gadut, bila dilihat dari
atas, terletak lebih ke arah utara dari pabrik Indarung, diduga
ia tidak terkena siraman debu itu.
Bagaimana kenyataannya? "Debu memang sampai juga di sini," ujar
seorang penduduk sekitar Ulu Gadut sambil menunjuk atap
rumahnya yang memang memutih juga.
Dibiarkan Saja
Sumber debu utama adalah Indarung I, pabrik tua yang sudah
beroperasi sejak tahun 1913. Lima dapurnya menghasilkan bersama
330 ribu ton semen per tahun. Sistem pengolahan basah yang
dipakainya menghasilkan uap air yang jenuh dengan partikel debu.
Dua dapur yang belakangan dibangun, sejak 3 tahun lalu, sudah
memakai peralatan penangkap debu. Namun 3 dapur lainnya yang
paling tua belum memakainya. Inilah yang menyemburkan berton-ton
uap air jenuh dengan debu ke udara cerah sekitar Padang.
Peralatan penangkap debu untuk 3 dapur itu mahal sekali. Tiap
alat berharga US$ 10-15 juta (Rp 6,3-9,4 milyar). Maka debu dari
Indarung dibiarkan saja beterbangan.
Indarung II tidak terlalu membahayakan sebab tidak menghasilkan
uap air seperti halnya di Indarung I. Semua dapurnya dilengkapi
pula dengan peralatan penangkap debu. Meskipun dari Indarung II
yang menghasilkan 600 ribu ton semen per tahun ada juga debu
yang lolos, jumlahnya sangat minim. "Kurang dari 250 miligram
setiap m3 udara," jelas Zulkifli Z. dari Humas PT Semen
Indarung. Ini berarti masih di bawah tingkat debu jalan raya
yang diaspal licin.
Tapi aspal yang licin sekitar pabrik itu sudah lama tertutup
lapisan debu. Dan setiap hari lebih 50 truk perusahaan
pengangkut bahan baku hilir mudik, menerbangkan kembali debu di
jalan rayaitu. Namun penduduk agaknya belum terlalu menghiraukan
soal debu itu. Hanya UNAND yang repot karenanya-itu pun karena
Bank Dunia melihat ancaman polusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini