PERANGKAP TIKUS
Karya: Agatha Christie
Sutradara: Galeb Husin
Produksi: Yayasan Teater Nasional (eks Akademi Teater Nasional,
Indonesia).
BEBERAPA gedung teater yang mementaskan The Mousetrap atau
perangkap Tikus di London jalan terus ketika pengarangnya,
1976, meninggal. Sementara beberapa gedung yang lain, yang
mementaskan lakon lain, tutul. Meski berbeda, kedua cara itu
sama-sama untuk menghormati yang meninggal: Agatha Christie.
Tapi mungkin pula karena lakon Prangkap Tikus, ditulis hampir
30 tahun yang lalu dan tetap dimainkan sampai kini di London
hampir setiap malam, memang begitu memikat. Yayasan Teater
Nasional (YTN) pun menganggap lakon ini penting, meski "kurang
bobot sastranya" tapi "telah dipertunjukkan sekitar 15 ribu
kali."
Maka pementasan tiga malam, 9-11 Juli lalu di Bali Room Hotel
Indonesia, dengan menampilkan nama-nama populer seperti Rahayu
Effendy, Deddy Sutomo, Agust Melaz memang siap menghibur publik.
Cobalah anda lihat di malam terakhir. Ada bisik-bisik dari
penonton: "Itu Rahayu Effendy. Itu Deddy Sutomo," bisik seorang
gadis kepada temannya menonton. "Iho, yang mana Agut Melaz? O,
itu."
Ini adalah pementasan YTN yang ketiga-- YTN berdiri 1976.
Scbelumnya. di Taman Ismail Maruki telah ditampilkannya
Montserrat (1977) dan Jangan Kirimi Aku Bunga (1978).
Dengan tata pangung yang elok rapi, daya pikat pernentasan
Perangkap tikus rupanya terletak pada cerita yang tegang, penuh
teka-teki--hal yang biasa pada cerita Agatha Christie. Para
penonton, di hadapan tokoh cerita (orang), dipaksa membuat
macam-macam dugaan.
Kisah ini kisah pembunuhan balas dendam seorang pemuda, yang
mempunyai masa kecil suram dan menyedihkan. Tapi pembunuhan
terakhir yang hendak dilakukannya keburu dipergoki kakak
perempuannya. Dan kembalilah pemuda ini menjadi setengah
sinting, berlaku kekanak-kanakan. Sejak kecil, ia memang sangat
patuh kepada kakaknya itu.
Dengan cerita semacam ini, sebuah grup yang didirikan oleh bekas
keluarga Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), yang bertekad
membina kehidupan teater profesional. Memang belum sampai pada
cita-citanya. "Program pementasan dua kali setahun saja, masih
sulit," kata Sutopo HS, Sekretaris YTN. Juga latihan rutin,
pembinaan kader, belum bisa berjalan. Untuk pementasan ini, 3
bulan latihan terpaksa masih pinjam tempat di Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta.
Yayasan Jantung
Modal mmang belum ada. Pada pementasan Montserrat, disponsori
Dewan Kesenian Jakarta, honorarium habis dibagi. Pementasan
kedua, ditangani sendiri, menurut Sutopo ada sisa uang sedikit.
Kini memang dia mengharap ada uang masuk untuk modal. Meski
honorarium yang dibayarkan bagi mereka vang bekerja untuk
pementasan kali ini lumayan. Minimal Rp 75 ribu, maksimal RP
150 ribu.
Malam pertama dan kedua sudah ada ang memborong Yayasan Jantung
Kartika dan LPKJ. Untuk tiap malam YTN hanya tahu terima duit Rp
1,5 juta. Karcis masuk hendak dijual berapa, terserah. Baru
malam ketiga karcis masuk dijual YTN sendiri, rata-rata Rp 5
ribu -- 5 kali lebih mahal dari karcis teater di TIM.
Itulah mengapa mereka memilih pentas di HI. "Penjualan karcis
lebih gampang," kata Sutopo pula. Lagipula, memang ada korting
sewa Bali Room. Juga pajak penjualan karcis mendapat keringanan
dari Pemda DKI.
Kini tak semua adalah anggota bekas keluarga ATNI (yang bubar di
akhir tahun 60-an). Untuk membina grup dan membina penonton
itulah, agaknya YTN mementaskan hanya naskah yang "konvensional"
saja. Dalam pengertian Barat, "linear". Tapi dengan niat yang
sungguh-sungguh dan pengelolaan yang baik, mungkin saja mereka
menjadi satu kelompok yang punya ciri sendiri. Apalagi melihat
orang-orang yang terlibat di dalamnya, seperti Pramana
Padmadarmaya, Wahab Abdi, Sukarno M. Noor, D. Djajakusuma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini