DI desa, kebanyakan penduduk menyimpan batu asah, untuk mengasah
sendiri pisau, pacul, arit dan barangkali juga kelewang mereka.
Di kota pekerjaan mengasah menjadi mata pencarian.
Penghasilannya sangat kecil. Kecuali di bulan haji, yang bisa
mencapai Rp 10 ribu sehari--menurut pengakuan seorang tukang
asah bernama Imam Ruba'i.
Imam (59 tahun) mengaku telah menjadi tukang asah di Surabaya
sejak zaman Dai Nippon. "Saya dulu ikut mengasah bayonet
Kenpetai," ujarnya mengenangkan. "Tapi waktu meletus Perang
November di Surabaya, selain ikut berjuang saya bertugas
mengasah pisau dan membuat bambu runcing."
Bagi Imam hidup tukang asah bagaikan sebuah lagu keroncong yang
nadanya monoton dari tahun ke tahun. Tapi ia tidak pernah merasa
bosan. Penghasilannya setiap hari beranjak dari Rp 300 ke atas.
Jumlah tersebut dianggap cukup. Karena untuk makan misalnya ia
cukup dengan Rp 200. Kalau lagi segan masuk kampung keluar
kampung, ia akan memilih sebuah pohon rindang, di Jalan
Kertajaya, lalu menggelar pisau-pisaunya. Penduduk Surabaya yang
padat itu, tidak hanya menyuruhnya mengasah, mereka Juga membeli
pisau-pisau dari Imam.
Tak Bisa Diandalkan
Di bulan haji, selain mendadak "kaya", Imam seringkali juga
dapat pekerjaan tambahan. "Yaitu menyembelih korban sekalian,"
ujarnya. Tetapi tentu saja tidak hanya kesenangan yang
dikunyahnya. Sekali peristiwa ia makan batu. Ini terjadi 3 tahun
lampau. Seorang tiba-tiba berdiri di depannya dan memaksanya
untuk mengasah pedang. "Karena takut melihat tampangnya, segala
perintah saya lakukan. Tapi begitu selesai dia 'nggak bayar,
malah melaknat saya," kata Imam.
Beberapa hari kemudian, ia mendengar di kampung seberang ada
orang Madura berkelahi memakai pedang. "Bila teringat itu saya
jadi merasa ikut berdosa," kata Imam dengan penuh sesal.
Ahmad (35 tahun) berbeda dengan Imam. Pengasah asal desa
Cisarua, Kabupaten Bandung, berpendapat: mengasah pisau atau
gunting di Bandung sulit. Tidak banyak orang yang sudi.
"Mungkin mereka mengasah sendiri atau beli yang baru, 'kan
harga pisau murah," katanya. Benar juga. Mengasah pisau lama
dengan beli yang baru harganya tidak bertaut banyak. Ia memasang
tarif Rp 100 sampai Rp L50 untuk mengasah sebuah pisau dapur.
Ahmad, yang harus menghidupi 5 orang anak ini, sebetulnya
tergolong pengasah amatir. Pekerjaan pokoknya adalah buruh
tani--menggarap kebun dan sawah orang lain. Bila musim tanam
atau panen lewat, barulah ia muncul di kota dengan sepeda
mencari-cari pisau tumpul. Pekerjaan ini dipilihnya setelah
lebih dulu gagal menjadi buruh angkat dan bangkrut sebagai
pedagang sayur.
Terus terang Ahmad mengakui pekerjaan mengasah tidak bisa
diandalkan. Hanya jadi selingan. Karena penghasilannya tak
menentu. Adakalanya bisa merebut Rp 1500. Tapi lain waktu bisa
sama sekali nol. Kalau sepedanya sudah tidak bisa dikayuh lagi,
mungkin ia akan menghentikan usaha itu.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pekerjaan mengasah juga tidak
terlalu populer, meskipun ada. Di antaranya dilakukan oleh
Soewito (36 tahun) asal Desa Mlati. Ia bekerja paling banter 2
kali seminggu. Satu kali keliling biasanya ia bisa mengantungi
RP 600.
Soewito sebenarnya seorang tukang bangunan. Penghasilannya Rp
1000. "Kalau saja tiap ha hari dapat pekerjaan di bangunan, saya
tak akan jadi tukang asah," katanya. Karena pendapatannya lebih
besar? "Ya. Di samping itu kerja di bangunan tidak capek. Dapat
minum pula. Kalau keliling mengasah harus berpikir seribu kali
sebelum membeli makanan seharga Rp 100."
Belum setahun Soewito jadi tukang asah. Modalnya hanya sebuah
batu asah yang berharga Rp 750. Setiap langganan yang berminat
dikenai Rp 25 untuk pisau, Rp 50 untuk gunting dan Rp 100 untuk
pacul.
Soewito hampir yakin, dialah satusatunya pengasah di Yogya.
Pekerjaan tersebut dimulainya secara tak sengaja. Satu ketika ia
melihat seorang pengasah di Pasar Prambanan. Lain waktu, karena
kepepet betul, ia muncul di pasar dengan pisaunya sendiri dan
mengasahnya untuk reklame. Ada bebcralla orang kemudian
menyuruhnya nlenrasah dengan bayaran semangkuk kopi. "Ada juga
yang menyangka saya pengemis, "katanya mengenangkan. Tapi
pengalaman hit hari itu amat mengesankan. Akhirnya ia mencoba
mengadu untung di Yogya.
Ia menempuh jarak 7 kilometer. Di setiap warung atau rumah ia
berteriak: "Asah pisau asah pisau Nyah!" adannya yang kekar
jadi hitam dibakar matahari. Sementara penghasilan tidak
memberikan jaminan yang layak untuk menghidupi kedua anaknya.
Tapi ia tidak mau setiap hari mempergunakan kesempatan itu
untuk mengasah pisau. "Kan pisau orang tak setiap hari tumpul,"
katanya dengan cerdik.
Di Jakarta, meskipun tidak terlalu banyak, tukang asah lebih
gampang ditemui, Umumnya pekerjaan ini dilakukan karena tidak
ada kemungkinan berbisnis lain . "Yang bisa saya kerjakan
daripada nganggur, memang mengasah pisau ini," kata Sair,
seorang anak lelaki berusia 13 tahun, yang sering beroperasi di
daerah Tebet dan Jatinegara.
Sair masuk Jakarta setahun lalu dengan modal dengkul. Ia anak
petani miskin di Desa Tangkil, Kecamatan Susukan, Cirebon.
Tamatan SD tahun 1979 itu tinggal di daerah Manggarai
bersama-sama dengan 15 orang rekannya dengan membayar sewa kamar
Rp 50 semalam.
Peralatan Sair, sebagaimana pengasah pisau lainnya di Jakarta,
adalah gurinda. Mula-mula alat tersebut disewanya Rp 150 sehari
dari seorang rekannya. Setelah 2 bulan Sair mampu beli gurinda
sendiri dengan harga Rp 4500. Kini sedikitnya ia bisa
mengantungi 1500 sehari.
Setiap hari, pukul 7 pagi, Sair sudah mulai menjelajahi kampung
demi kampung. Hampir seluruh kawasan Jakarta sudah dikenalnya.
Menurut pengakuannya seluruh penghasilannya ditabung. Untuk apa?
"Ya saya mau masuk SMP tahun depan ini," jawabnya. Dia bilang
malu kalau tidak sekolah. "Kalau bodoh itu kayak orang angon,"
katanya lebih lanjut.
Sair tak begitu rapat bergaul dengan kawan-kawan sepondokannya.
Ia lebih sering tidur di surau. "Lebih tenang dan bisa tepat
bangun subuh," katanya. Tapi ada alasan lain ia sengaja
mengasingkan diri supaya jangan kena pengaruh ubah, "saya tidak
inin jadi tukan asah sampai tua," katanya dengan ketus. Itulah
sebabnya pula ia tak ingin bekerja dengan memakai
sepeda--meskipun itu lebih praktis. "Pakai sepeda itu kalau akan
selamanya jadi tukang asah." regas-tegas ia mengatakan
pekerjaan sekarang hanya sementara.
Belum Berubah
Sair bekerja dengan memakai celana ranjang, baju sederhana,
sebuah topi pandan dan tanpa alas kaki. Ia memikul seperangkat
alat -- termasuk sebuah bangku kecil. Di samping mengasah ia
juga menjual pisau-pisau tajam. Sebagaimana umumnya tukang asah
di Jakarta, ia tidak berteriak-teriak--cukup memutar gurindanya
yang akan berbunyi: "Srrrrrr, srrrrrr." "Kalau saya nanti sudah
sekolah lagi, gurinda ini akan saya jual sama teman," katanya
yakin.
Apakah Sair akan berhasil ke SMP, kita tidak tahu. Kasmud (40
tahun) sudah 6 kali mengganti batu gurindanya, tapi nasibnya
belum berubah. Jelasnya, sudab 15 tahun jadi tukang asah, tak
ada perkembangan yang layak diperhitungkannya. Ia bukan tidak
kepingin bertukar karya. "Habis mau apa lagi?" katanya dengan
pasrah. "Nerusin sekolah 'nggak ada modalnya."
Kasmud meninggalkan kampungnya, Kelurahan Jamblang, Kecamatan
Paimanan di Cirebon, 1965, dengan alasan hidup sebagai buruh
tani itu payah! Kini di Jakarta ia bisa merenggut antara Rp 2000
sampai Rp 2500 setiap hari. Ia tinggal di Gang Bangau IV bersama
40an orang rekannya seangkatan dari Cirebon. Sebagian ada yang
mengambil profesi sama--menjadi pengasah.
Istri Kasmud masih tinggal di kampung. "Seminggu sekali, kalau
ada teman yang pulang kampung, saya kirim duit enam ribu perak,
kadang lebih" kata lelaki itu. Dua atau tiga bulan sekali, ia
sendiri pulang. Terutama di musim panen, ikut ambil bagian
sebagai buruh pemetik padi.
Di Jakarta Kasmud bekerja antara pukul 7 sampai pukul 4 sore.
Bulan puasa adalah bulan panen. "Orang perlu pisau tajam --yang
biasanya 'nggak suka masak terpaksa masak untuk sahur," kata
Kasmud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini