Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Memburu Pisau Tumpul

Suka duka tukang asah, mereka menjadi subur kalau menghadapi bulan puasa dan haji. penghasilan kecil, hidup monoton tapi ada yang mengaku betah.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI desa, kebanyakan penduduk menyimpan batu asah, untuk mengasah sendiri pisau, pacul, arit dan barangkali juga kelewang mereka. Di kota pekerjaan mengasah menjadi mata pencarian. Penghasilannya sangat kecil. Kecuali di bulan haji, yang bisa mencapai Rp 10 ribu sehari--menurut pengakuan seorang tukang asah bernama Imam Ruba'i. Imam (59 tahun) mengaku telah menjadi tukang asah di Surabaya sejak zaman Dai Nippon. "Saya dulu ikut mengasah bayonet Kenpetai," ujarnya mengenangkan. "Tapi waktu meletus Perang November di Surabaya, selain ikut berjuang saya bertugas mengasah pisau dan membuat bambu runcing." Bagi Imam hidup tukang asah bagaikan sebuah lagu keroncong yang nadanya monoton dari tahun ke tahun. Tapi ia tidak pernah merasa bosan. Penghasilannya setiap hari beranjak dari Rp 300 ke atas. Jumlah tersebut dianggap cukup. Karena untuk makan misalnya ia cukup dengan Rp 200. Kalau lagi segan masuk kampung keluar kampung, ia akan memilih sebuah pohon rindang, di Jalan Kertajaya, lalu menggelar pisau-pisaunya. Penduduk Surabaya yang padat itu, tidak hanya menyuruhnya mengasah, mereka Juga membeli pisau-pisau dari Imam. Tak Bisa Diandalkan Di bulan haji, selain mendadak "kaya", Imam seringkali juga dapat pekerjaan tambahan. "Yaitu menyembelih korban sekalian," ujarnya. Tetapi tentu saja tidak hanya kesenangan yang dikunyahnya. Sekali peristiwa ia makan batu. Ini terjadi 3 tahun lampau. Seorang tiba-tiba berdiri di depannya dan memaksanya untuk mengasah pedang. "Karena takut melihat tampangnya, segala perintah saya lakukan. Tapi begitu selesai dia 'nggak bayar, malah melaknat saya," kata Imam. Beberapa hari kemudian, ia mendengar di kampung seberang ada orang Madura berkelahi memakai pedang. "Bila teringat itu saya jadi merasa ikut berdosa," kata Imam dengan penuh sesal. Ahmad (35 tahun) berbeda dengan Imam. Pengasah asal desa Cisarua, Kabupaten Bandung, berpendapat: mengasah pisau atau gunting di Bandung sulit. Tidak banyak orang yang sudi. "Mungkin mereka mengasah sendiri atau beli yang baru, 'kan harga pisau murah," katanya. Benar juga. Mengasah pisau lama dengan beli yang baru harganya tidak bertaut banyak. Ia memasang tarif Rp 100 sampai Rp L50 untuk mengasah sebuah pisau dapur. Ahmad, yang harus menghidupi 5 orang anak ini, sebetulnya tergolong pengasah amatir. Pekerjaan pokoknya adalah buruh tani--menggarap kebun dan sawah orang lain. Bila musim tanam atau panen lewat, barulah ia muncul di kota dengan sepeda mencari-cari pisau tumpul. Pekerjaan ini dipilihnya setelah lebih dulu gagal menjadi buruh angkat dan bangkrut sebagai pedagang sayur. Terus terang Ahmad mengakui pekerjaan mengasah tidak bisa diandalkan. Hanya jadi selingan. Karena penghasilannya tak menentu. Adakalanya bisa merebut Rp 1500. Tapi lain waktu bisa sama sekali nol. Kalau sepedanya sudah tidak bisa dikayuh lagi, mungkin ia akan menghentikan usaha itu. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pekerjaan mengasah juga tidak terlalu populer, meskipun ada. Di antaranya dilakukan oleh Soewito (36 tahun) asal Desa Mlati. Ia bekerja paling banter 2 kali seminggu. Satu kali keliling biasanya ia bisa mengantungi RP 600. Soewito sebenarnya seorang tukang bangunan. Penghasilannya Rp 1000. "Kalau saja tiap ha hari dapat pekerjaan di bangunan, saya tak akan jadi tukang asah," katanya. Karena pendapatannya lebih besar? "Ya. Di samping itu kerja di bangunan tidak capek. Dapat minum pula. Kalau keliling mengasah harus berpikir seribu kali sebelum membeli makanan seharga Rp 100." Belum setahun Soewito jadi tukang asah. Modalnya hanya sebuah batu asah yang berharga Rp 750. Setiap langganan yang berminat dikenai Rp 25 untuk pisau, Rp 50 untuk gunting dan Rp 100 untuk pacul. Soewito hampir yakin, dialah satusatunya pengasah di Yogya. Pekerjaan tersebut dimulainya secara tak sengaja. Satu ketika ia melihat seorang pengasah di Pasar Prambanan. Lain waktu, karena kepepet betul, ia muncul di pasar dengan pisaunya sendiri dan mengasahnya untuk reklame. Ada bebcralla orang kemudian menyuruhnya nlenrasah dengan bayaran semangkuk kopi. "Ada juga yang menyangka saya pengemis, "katanya mengenangkan. Tapi pengalaman hit hari itu amat mengesankan. Akhirnya ia mencoba mengadu untung di Yogya. Ia menempuh jarak 7 kilometer. Di setiap warung atau rumah ia berteriak: "Asah pisau asah pisau Nyah!" adannya yang kekar jadi hitam dibakar matahari. Sementara penghasilan tidak memberikan jaminan yang layak untuk menghidupi kedua anaknya. Tapi ia tidak mau setiap hari mempergunakan kesempatan itu untuk mengasah pisau. "Kan pisau orang tak setiap hari tumpul," katanya dengan cerdik. Di Jakarta, meskipun tidak terlalu banyak, tukang asah lebih gampang ditemui, Umumnya pekerjaan ini dilakukan karena tidak ada kemungkinan berbisnis lain . "Yang bisa saya kerjakan daripada nganggur, memang mengasah pisau ini," kata Sair, seorang anak lelaki berusia 13 tahun, yang sering beroperasi di daerah Tebet dan Jatinegara. Sair masuk Jakarta setahun lalu dengan modal dengkul. Ia anak petani miskin di Desa Tangkil, Kecamatan Susukan, Cirebon. Tamatan SD tahun 1979 itu tinggal di daerah Manggarai bersama-sama dengan 15 orang rekannya dengan membayar sewa kamar Rp 50 semalam. Peralatan Sair, sebagaimana pengasah pisau lainnya di Jakarta, adalah gurinda. Mula-mula alat tersebut disewanya Rp 150 sehari dari seorang rekannya. Setelah 2 bulan Sair mampu beli gurinda sendiri dengan harga Rp 4500. Kini sedikitnya ia bisa mengantungi 1500 sehari. Setiap hari, pukul 7 pagi, Sair sudah mulai menjelajahi kampung demi kampung. Hampir seluruh kawasan Jakarta sudah dikenalnya. Menurut pengakuannya seluruh penghasilannya ditabung. Untuk apa? "Ya saya mau masuk SMP tahun depan ini," jawabnya. Dia bilang malu kalau tidak sekolah. "Kalau bodoh itu kayak orang angon," katanya lebih lanjut. Sair tak begitu rapat bergaul dengan kawan-kawan sepondokannya. Ia lebih sering tidur di surau. "Lebih tenang dan bisa tepat bangun subuh," katanya. Tapi ada alasan lain ia sengaja mengasingkan diri supaya jangan kena pengaruh ubah, "saya tidak inin jadi tukan asah sampai tua," katanya dengan ketus. Itulah sebabnya pula ia tak ingin bekerja dengan memakai sepeda--meskipun itu lebih praktis. "Pakai sepeda itu kalau akan selamanya jadi tukang asah." regas-tegas ia mengatakan pekerjaan sekarang hanya sementara. Belum Berubah Sair bekerja dengan memakai celana ranjang, baju sederhana, sebuah topi pandan dan tanpa alas kaki. Ia memikul seperangkat alat -- termasuk sebuah bangku kecil. Di samping mengasah ia juga menjual pisau-pisau tajam. Sebagaimana umumnya tukang asah di Jakarta, ia tidak berteriak-teriak--cukup memutar gurindanya yang akan berbunyi: "Srrrrrr, srrrrrr." "Kalau saya nanti sudah sekolah lagi, gurinda ini akan saya jual sama teman," katanya yakin. Apakah Sair akan berhasil ke SMP, kita tidak tahu. Kasmud (40 tahun) sudah 6 kali mengganti batu gurindanya, tapi nasibnya belum berubah. Jelasnya, sudab 15 tahun jadi tukang asah, tak ada perkembangan yang layak diperhitungkannya. Ia bukan tidak kepingin bertukar karya. "Habis mau apa lagi?" katanya dengan pasrah. "Nerusin sekolah 'nggak ada modalnya." Kasmud meninggalkan kampungnya, Kelurahan Jamblang, Kecamatan Paimanan di Cirebon, 1965, dengan alasan hidup sebagai buruh tani itu payah! Kini di Jakarta ia bisa merenggut antara Rp 2000 sampai Rp 2500 setiap hari. Ia tinggal di Gang Bangau IV bersama 40an orang rekannya seangkatan dari Cirebon. Sebagian ada yang mengambil profesi sama--menjadi pengasah. Istri Kasmud masih tinggal di kampung. "Seminggu sekali, kalau ada teman yang pulang kampung, saya kirim duit enam ribu perak, kadang lebih" kata lelaki itu. Dua atau tiga bulan sekali, ia sendiri pulang. Terutama di musim panen, ikut ambil bagian sebagai buruh pemetik padi. Di Jakarta Kasmud bekerja antara pukul 7 sampai pukul 4 sore. Bulan puasa adalah bulan panen. "Orang perlu pisau tajam --yang biasanya 'nggak suka masak terpaksa masak untuk sahur," kata Kasmud.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus