Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Indonesia Bisa Terpepet

Kenaikan produksi beras setiap tahun tak akan mampu mengejar kenaikan konsumsi, sedangkan pasaran beras di luar negeri semakin ketat. bulog ngebut mau bikin gudang-gudang baru.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKIRAAN produksi beras tahun ini menunjukkan suatu rekor baru akan terjadi. Awal tahun ini Bulog memroyeksikan produksi beras akan mencapai 18,5 juta ton. Setengah tahun kemudian proyeksi tersebut direvisi menjadi 19,6 juta ton. Berarti produksi akan mencapai 10% lebih tinggi dari tahun lalu. Musim yang cukup bagus, menghilangnya wereng dan cara penggunaan pupuk yang lebih baik merupakan sebab lebih berhasilnya panen tahun ini dibanding panen sebelumnya. Panen raya yang hampir mencapai 20 juta ton itu, di samping merupakan hasil yang memang dikehendaki, juga menimbulkan masalah baru bagi Bulog Pembelian beras dalam negeri akan mencapai rekor 1,2 juta ton. Jumlah ini tidak akan tertampung seluruhnya oleh sekitar 300 gudang milik Bulog, dengan akibat sebagian beras miliknya akan harus disimpan di luar gudang dengan segala risikonya. Daya tampung gudang Bulog kini hanya untuk 1,1 juta ton. Maka pemerintah memutuskan untuk menambah pembangunan gudang-gudang baru yang akan meningkatkan daya tampungnya menjadi 2 juta ton. Ketua Bulog Bustanil Arifin minggu lalu sudah menginstruksikan agar setiap Depot Logistik dengan semua sub-Dolognya tidak menolak penjualan gabah dan beras oleh KUD. "Pokoknya tidak ada alasan untuk tidak membeli karena gudang penuh dan karung goni kurang," katanya. Dan Menteri Muda Urusan Produksi Pangan Ir. Achmad Affandi dalam kesempatan yang sama ketika membuka Rapat Koordinasi Pangan ke V di Jakarta Jumat lalu itu, juga mempertegas keterangan Ka Bulog," selama gabah dan beras yang dijual oleh petani itu memenuhi syarat-syarat standar." Sekalipun produksi beras mengalami kenaikan tiap tahun, dalam jangka panjang kenaikan konsumsi akan terus mengungguli kapasitas produksi. Baik sumber maupun teknik produksi yang sekarang ini dipakai makin tak mampu mengejar pertambahan konsumsi. Tahun lalu Indonesia mengimpor 2,7 juta ton beras, dan tahun ini masih harus diimpor 1,9 juta ton lagi. Pasaran beras di luar negeri makin ketat, karena negara produsen utama beras makin mengurangi ekspornya dan lebih banyak menggunakan berasnya untuk keperluan dalam negeri. Sebagai pembeli beras terbesar di dunia, Indonesia bisa sedikit terpepet. Alternatif lain harus ditemukan dalam memperbesar kapasitas produksi sendiri di dalam negeri. Program transmirasi memang sudah dikaitkan dengan program peningkatan produksi beras. Tiap transmigran kini mendapat 2 hektar qanah begitu dia sampai di tempat pemukimannya yang baru ditambah dengan beherapa prasarana untuk produksi Untuk jangka pendek, tambahan produksi dari program ini belum bisa memadai. Makan Waktu Kini nampaknya pemerintah agak serius memikirkan satu alternatif lain yang selama ini sudah menjadi pemikiran tapi masih macet pelaksanaannya: Pendirian perkebunan padi. Penanaman modaMInuk perkebunan padi sudah mendapat tempat prioritas dalam Daftar Skala Prioritas (DSP)-nya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM. Namun sampai saat ini belum satu investor pun yang tergerak untuk mencoba peruntungannya di bidang ini. Sebabnya, seperti dikemukakan oleh Pejabat sementara Ketua BKPM Ismail Saleh di depan Komisi VI DPR baru-baru ini adalah karena, "perkebunan padi memerlukan modal yang sangat besar, sedangkan waktu yang diperlukan untuk kembali modal pokok dan keuntungannya bisa makan waktu bertahun-tahun." Kurang menguntungkannya ini juga disebabkan karena setiap pengusaha perkebunan padi akan tertumbuk pada masalah harga maksimal yang masih ditetapkan pemerintah. Artinya, harga jual heras hasil produksi perkebunan padi misalnya untuk sekarang ini tidak boleh lebih dari Rp 175 per kilo. Dibandingkan dengan investasi yang diperlukan sebesar Rp 4,5 juta per hektar, harga jual yang diperbolehkan memang kurang memadai. Pemerintah sendiri tidak akan melakukan investasi pada perkebunan padi. Seperti dikatakan Menteri Muda Achmad Affandi, "investasi sebesar itu sama dengan biaya memindahkan seorang transmigran lengkap dengan tanah dan prasarananya." Hal lain yang kurang menarik investor untuk menanam modalnya di perkebunan padi adalah adanya keharusan bagi mereka untuk membangun semua prasarana yang diperlukan. Pemerintah kini berpikir untuk mengubah keharusan ini. Yang diharuskan mungkin nantinya adalah perkebunan padi ini akan berfungsi sebagai perkebunan inti. Si penanam modal diharuskan memberi penyuluhan kepada petani sekitarnya. Sedang untuk pembangunan prasarana, pemerintah mungkin akan bersedia membantunya sebagian. Bagaimana pemikiran selanjutnya mengenai hal ini baru akan diketahui Agustus nanti, ketika DSP yang baru dari BKPM diharapkan selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus