PERKIRAAN produksi beras tahun ini menunjukkan suatu rekor baru
akan terjadi. Awal tahun ini Bulog memroyeksikan produksi beras
akan mencapai 18,5 juta ton. Setengah tahun kemudian proyeksi
tersebut direvisi menjadi 19,6 juta ton. Berarti produksi akan
mencapai 10% lebih tinggi dari tahun lalu.
Musim yang cukup bagus, menghilangnya wereng dan cara penggunaan
pupuk yang lebih baik merupakan sebab lebih berhasilnya panen
tahun ini dibanding panen sebelumnya. Panen raya yang hampir
mencapai 20 juta ton itu, di samping merupakan hasil yang memang
dikehendaki, juga menimbulkan masalah baru bagi Bulog Pembelian
beras dalam negeri akan mencapai rekor 1,2 juta ton.
Jumlah ini tidak akan tertampung seluruhnya oleh sekitar 300
gudang milik Bulog, dengan akibat sebagian beras miliknya akan
harus disimpan di luar gudang dengan segala risikonya. Daya
tampung gudang Bulog kini hanya untuk 1,1 juta ton. Maka
pemerintah memutuskan untuk menambah pembangunan gudang-gudang
baru yang akan meningkatkan daya tampungnya menjadi 2 juta ton.
Ketua Bulog Bustanil Arifin minggu lalu sudah menginstruksikan
agar setiap Depot Logistik dengan semua sub-Dolognya tidak
menolak penjualan gabah dan beras oleh KUD. "Pokoknya tidak ada
alasan untuk tidak membeli karena gudang penuh dan karung goni
kurang," katanya. Dan Menteri Muda Urusan Produksi Pangan Ir.
Achmad Affandi dalam kesempatan yang sama ketika membuka Rapat
Koordinasi Pangan ke V di Jakarta Jumat lalu itu, juga
mempertegas keterangan Ka Bulog," selama gabah dan beras yang
dijual oleh petani itu memenuhi syarat-syarat standar."
Sekalipun produksi beras mengalami kenaikan tiap tahun, dalam
jangka panjang kenaikan konsumsi akan terus mengungguli
kapasitas produksi. Baik sumber maupun teknik produksi yang
sekarang ini dipakai makin tak mampu mengejar pertambahan
konsumsi. Tahun lalu Indonesia mengimpor 2,7 juta ton beras, dan
tahun ini masih harus diimpor 1,9 juta ton lagi.
Pasaran beras di luar negeri makin ketat, karena negara produsen
utama beras makin mengurangi ekspornya dan lebih banyak
menggunakan berasnya untuk keperluan dalam negeri. Sebagai
pembeli beras terbesar di dunia, Indonesia bisa sedikit
terpepet. Alternatif lain harus ditemukan dalam memperbesar
kapasitas produksi sendiri di dalam negeri.
Program transmirasi memang sudah dikaitkan dengan program
peningkatan produksi beras. Tiap transmigran kini mendapat 2
hektar qanah begitu dia sampai di tempat pemukimannya yang baru
ditambah dengan beherapa prasarana untuk produksi Untuk jangka
pendek, tambahan produksi dari program ini belum bisa memadai.
Makan Waktu
Kini nampaknya pemerintah agak serius memikirkan satu alternatif
lain yang selama ini sudah menjadi pemikiran tapi masih macet
pelaksanaannya: Pendirian perkebunan padi. Penanaman modaMInuk
perkebunan padi sudah mendapat tempat prioritas dalam Daftar
Skala Prioritas (DSP)-nya Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM. Namun sampai saat ini belum satu investor pun yang
tergerak untuk mencoba peruntungannya di bidang ini. Sebabnya,
seperti dikemukakan oleh Pejabat sementara Ketua BKPM Ismail
Saleh di depan Komisi VI DPR baru-baru ini adalah karena,
"perkebunan padi memerlukan modal yang sangat besar, sedangkan
waktu yang diperlukan untuk kembali modal pokok dan
keuntungannya bisa makan waktu bertahun-tahun."
Kurang menguntungkannya ini juga disebabkan karena setiap
pengusaha perkebunan padi akan tertumbuk pada masalah harga
maksimal yang masih ditetapkan pemerintah. Artinya, harga jual
heras hasil produksi perkebunan padi misalnya untuk sekarang ini
tidak boleh lebih dari Rp 175 per kilo. Dibandingkan dengan
investasi yang diperlukan sebesar Rp 4,5 juta per hektar, harga
jual yang diperbolehkan memang kurang memadai.
Pemerintah sendiri tidak akan melakukan investasi pada
perkebunan padi. Seperti dikatakan Menteri Muda Achmad Affandi,
"investasi sebesar itu sama dengan biaya memindahkan seorang
transmigran lengkap dengan tanah dan prasarananya."
Hal lain yang kurang menarik investor untuk menanam modalnya di
perkebunan padi adalah adanya keharusan bagi mereka untuk
membangun semua prasarana yang diperlukan. Pemerintah kini
berpikir untuk mengubah keharusan ini. Yang diharuskan mungkin
nantinya adalah perkebunan padi ini akan berfungsi sebagai
perkebunan inti. Si penanam modal diharuskan memberi penyuluhan
kepada petani sekitarnya. Sedang untuk pembangunan prasarana,
pemerintah mungkin akan bersedia membantunya sebagian.
Bagaimana pemikiran selanjutnya mengenai hal ini baru akan
diketahui Agustus nanti, ketika DSP yang baru dari BKPM
diharapkan selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini